YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Lembaga Penelitian dan Pengembangan 'Aisyiyah (LPPA) PP ’Aisyiyah gelar Madrasah Politik Perempuan (MPP) dengan tema “Serial Kepemimpinan Perempuan di Kelembagaan Publik” pada Jumat (5/12) secara daring.
Ketua LPPA PP ’Aisyiyah, Siti Syamsiyatun, dalam sambutan pembuka menyampaikan keprihatinan mendalam atas bencana banjir bandang di Sumatera yang menewaskan ratusan orang. Ia menegaskan bahwa upaya memperkuat kapasitas perempuan dalam kepemimpinan publik merupakan bagian dari kontribusi untuk memperbaiki sistem kenegaraan.
“Kita tahu bahwa posisi strategis negara, baik legislatif, eksekutif maupun lembaga independen, sangat menentukan arah kebijakan. Jika proses seleksi tidak dijalankan dengan baik, kita bisa mendapatkan pimpinan yang tidak kompeten,” ujarnya. Ia menekankan bahwa Madrasah Politik Perempuan menjadi ruang penguatan mental dan pengetahuan bagi perempuan yang akan berkiprah di ranah publik.
Menurutnya, hasil survei peserta pada seri sebelumnya menunjukkan minat terbesar perempuan untuk berkecimpung di lembaga publik seperti KPU/KPUD, KPI, Komnas Perempuan, dan KPAI. Karena itu, seri kali ini menghadirkan narasumber ahli.
Program tiga hari ini dirancang untuk memperkuat kesiapan mental dan pemahaman peserta terhadap proses seleksi lembaga publik. Peserta yang mengikuti rangkaian pelatihan hingga tuntas akan memperoleh sertifikat sebagai bentuk penguatan kepercayaan diri dan rekam jejak kompetensi.
Sementara itu, Ketua Umum PP ’Aisyiyah, Salmah Orbayinah, menegaskan pentingnya peningkatan kapasitas perempuan dalam bidang politik untuk mendorong keterwakilan yang lebih setara. Ia menyoroti masih adanya kendala internal seperti kurangnya kepercayaan diri, serta hambatan eksternal berupa budaya patriarki yang membatasi ruang perempuan.
“Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan hampir sama. Mestinya keterwakilan perempuan di politik juga sebanding. Namun masih banyak kendala, baik internal maupun eksternal,” ujarnya.
Salmah menilai MPP menjadi langkah strategis untuk meningkatkan literasi politik perempuan sekaligus membekali mereka dengan keterampilan dasar seperti kepemimpinan, komunikasi, dan manajemen konflik—kemampuan yang dibutuhkan untuk berkiprah dalam lembaga publik.
Ia berharap pelatihan berseri ini dapat mendorong lahirnya lebih banyak perempuan ’Aisyiyah yang tangguh, kompeten, dan siap membangun bangsa. “Pelatihan ini memperluas cakupan pendidikan politik bagi perempuan, baik di kota maupun desa, dan mendorong kesadaran bahwa perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara,” ujarnya.
Madrasah Politik Perempuan dijadwalkan berlanjut pada Sabtu (6/12) dan Sabtu (13/12) secara daring dengan menghadirkan sejumlah narasumber ahli di bidang politik dan lembaga publik. Hari pertama, Jum'at (5/12) menghadirkan Alimatul Qibtiyah dan Titi Anggraini. Pada Sabtu (6/12) menghadirkan Pramono Ubaid Tanthowi, Fahd Pahdevi, Dati Fatimah, dan Elli Nur Hayati.
Sesi terakhir pada Sabtu (13/12) diawali dengan pengantar dari Sekretaris Umum PP 'Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah dan menghadirkan narasumber Diyah Puspitarini, Endang Sulastri, dan Khoirunnisa Nur Agustyati. Program ini diharapkan menjadi upaya berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas dan keterwakilan perempuan dalam ruang-ruang strategis pembangunan bangsa. (Suri)


