MEDAN, Suara Muhammadiyah - Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (MHH dan LBH-AP) PW Muhammadiyah menggelar webinar Diskusi Publik dengan Tema: "Pemilu Beradab: Tolak Politik Uang", Senin (5/2/2024).
Hadir sebagai pembicara dalam webinar ini Dr. Sulidar, MA (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Utara), Dr. Farid Wajdi, S.H.,M.Hum. (Ketua MHH PW Muhammadiyah Sumatera Utara), Ismail Lubis, S.H.,M.H. (Ketua LBH-AP PW Muhammadiyah Sumatera Utara), Andryan, SH, MH (Akademisi UMSU) dan Rafdinal S. Sos, MAP (aktivis sosial). Adapun Rahmat Ramadhani, SH, MH (Sekretaris MHH PW Muhammadiyah Sumatera Utara) didaulat sebagai moderator pada webinar yang diikuti puluhan orang peserta tersebut.
Para pembicara memberi pemahaman politik uang adalah sebuah upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Menjanjikan sesuatu kepada pihak tertentu agar mempengaruhi pemilih agar berbuat atau tidak berbuat itu juga politik uang. Praktik ini akhirnya memunculkan para pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat yang memilihnya. Dia merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya untuk mengembalikan modal yang keluar dalam kampanye. Akhirnya setelah menjabat, dia akan melakukan berbagai kecurangan, menerima suap, gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk. Tidak heran jika politik uang disebut sebagai "mother of corruption" atau induknya korupsi.
Selain itu, para pembicara bersepakat, jika politik uang ialah pangkal dari korupsi. Politik uang ialah masalah laten yang terus menjadi ancaman bagi pesta demokrasi hingga kini. Yang tak mungkin diragukan, praktiknya justru kian telanjang, terang-terangan, seakan tiada lagi yang ditakutkan! Tak ada lagi malu dan bahkan pamer sedekah uang dianggap sebagai kekayaan/aset kandidat yang tak dimiliki orang lain? Pastinya politik transaksional menghina akal sehat dan merusak demokrasi yang bersusah payah dibangun.
Modus politik uang juga beragam. Salah satunya, ya itu tadi, dengan menjadikan sedekah sebagai kedok, sebagai tameng. Beriringan dengan itu, muncullah istilah sedekah politik. Kalau sedekah murni untuk mendapatkan pahala, sedekah politik berharap suara. Jika sedekah urusannya dengan Tuhan, lain halnya dengan risywah, politik uang, sedekah politik. Selain haram menurut hukum agama, ia juga dilarang hukum negara.
Selama ini politik berbiaya mahal karena sebagian besar untuk membeli suara, vote buying. Ada yang namanya 'serangan fajar', kadang juga disebut 'serangan dhuha'. Pemilih akan dikawal betul agar suaranya benar-benar digunakan untuk memilih seseorang." Perlu sikap konsistensi dalam menolak politik uang, karena perbuatan baik akan menjadi akhlak/adab publik, moral bersama sehingganya pemilu yang berintegritas dan berkualitas dapat menjadi fakta sosial. Jika masyarakat permisif dengan politik uang dampaknya bukan hanya terhadap pribadi, akan tetapi dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara terstruktur, sistematis dan masif.
Apapun alasannya atau siapapun pelakunya atau berapapun ongkos politik uang yang ditebarkan, praktik politik uang pasti berdampak Pemilu berbiaya tinggi, sehingga wajah partai politik dan parlemen didominasi oleh penguasa dan oligarki. Yang berkualitas tidak mendapat tempat, yang culas berkuasa tanpa batas. Eksesnya tentu tidak keliru jika banyak pejabat, anggota legislatif yang terjerat kubangan atau belitan masalah hukum.
Secara faktual praktik politik uang biasanya semakin massif jelang pencoblosan. Para calon pemimpin nekat melakukan tindakan apapun karena dibutakan mimpi kekuasaan. Publik perlu disadarkan agar praktik culas semacam ini tidak menjadi budaya dan harus segera dihentikan. (Syaifulh/Riz)