BATU, Suara Muhammadiyah - Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah memiliki proyeksi terhadap dakwah Muhammadiyah. Salah satunya, membahas konsep strategis “Risalah Dakwah dan Tabligh Berkelanjutan 2045."
Fathur menerangkan, konsep ini menjadi panduan gerakan dakwah Muhammadiyah dalam menghadapi tantangan zaman hingga Indonesia merayakan usia 100 tahun kemerdekaannya dan Muhammadiyah memasuki abad kedua.
"Risalah ini mengadopsi prinsip keberlanjutan berdasarkan perspektif global seperti Sustainable Development Goals (SDGs / Ahdār Uthāmīyah al-Mustadamah), agar dakwah tidak hanya menjadi kegiatan seremonial, tapi menjadi sistem nilai hidup yang dinamis dan adaptif," ujarnya saat Rapat Kerja Nasional Rakernas II Majelis Tabligh PP Muhammadiyah di Kusuma Agrowisata Resort & Convention Batu-Malang, Jawa Timur, Sabtu (24/10).
Menurut Fathur, tahun 2045 dipandang sebagai titik strategis bagi Indonesia dan Muhammadiyah. Karenanya, dokumen ini menjadi draft yang akan disempurnakan.
"Panduan strategis gerakan dakwah Muhammadiyah untuk menegakkan Islam dengan atribut kemajuan, yang menebar rahmat bagi semesta alam dan selaras dengan dinamika zamannya," tegasnya.
Meninjau tujuannya, konsep ini hendak menetapkan agenda dakwah berkelanjutan yang meliputi regenerasi kader, perkembangan sistem karya, "dan relevansi dakwah terhadap tantangan era seperti digitalisasi, krisis moral-spiritual, disrupsi teknologi, dan perubahan sosial global," terangnya.
Fathur mengetengahkan, konsep tersebut masih belum final. "Ini semacam draft yang nantinya harus membentuk tim perumus untuk menyempurnakannya," bebernya. Di satu sisi, ada dua aspek utama dari konsep tersebut.
Pertama, adalah konsep itu sendiri. Kedua, konsekuensi logis darinya, yaitu bagaimana kita meregenerasi kader yang dapat diproyeksikan hingga 2045, bagaimana sistem karya mereka.
"Kita harus berani berbicara tentang sistem karya para dai ke depan. Apakah profesi yang ada hari ini masih akan eksis 20 tahun mendatang?" ulas Fathur.
Bersamaan dengan itu, Fathur menambahkan, urgensi Risalah Dakwah dan Tabligh Berkelanjutan 2045 setidaknya ada beberapa hal. Pertama, bonus demografi. Menurut Fathur, bonus demografi dalam dua dekade ke depan (2030-2040) adalah momen krusial.
"Jika Muhammadiyah dan Indonesia gagal mengelolanya, yang terjadi bukanlah bonus, melainkan bencana demografi (demographic burden), berupa tekanan kependudukan yang berujung pada berbagai kerusakan," ulasnya, yang menyoroti Generasi hari ini belum sepenuhnya disiapkan untuk menghadapi dinamika sezamannya.
"Muhammadiyah punya potensi masalah baru yang dapat merusak kehidupan modern jika tidak diantisipasi. Ini adalah tantangan pertama yang diangkat sejak Muktamar 2015," jelasnya.
Kedua, terkait Indonesia Emas 2045. Dalam konteks bangsa, negara kita juga memiliki visi Indonesia Emas 2045. Bahkan, dunia internasional pun memiliki proyeksi untuk tahun tersebut. "Angka 2045 ini menjadi angka yang cukup signifikan bagi para ilmuwan sosial," urainya.
Ketiga, kita perlu menjawab krisis moral dan spiritual di era modern. Muhammadiyah telah berbicara tentang ini sejak 2005. Mengapa isu krisis ini berulang?
"Karena jangan sekali-kali meminta Muhammadiyah berhenti membacanya. Isu ini sangat penting. Mengapa angka bunuh diri, depresi, dan kecemasan semakin tinggi?", tanya Fathur. "Ini turut menyebabkan degradasi moral dan disorientasi spiritual," tegasnya.
Keempat, kita perlu mengarahkan dakwah pada isu-isu global yang berkelanjutan. Seorang mubaligh harus berani berbicara tentang kemiskinan, kesetaraan gender, kemiskinan struktural, transformasi digital, dan lain-lain. Inilah peta dakwah kontemporer yang futuristik.
"Gedung-gedung dakwah kita pun harus didesain dengan arsitektur yang futuristik, enak dipandang, dan fungsional," pintanya.
Kelima, membangun ketahanan umat dan kemandirian bangsa melalui jaringan amal usaha. Sejak Muktamar tahun 2000, Muhammadiyah diharapkan dapat menjadi ekosistem sosial-ekonomi umat yang tangguh. Sebagai contoh, dalam konteks ketahanan pangan, beberapa masjid dapat disiapkan sebagai retail publik atau public store. Misalnya, masjid tidak hanya bergerak di sektor keuangan seperti Baitul Mal, tetapi juga di ritel.
"Kita menyediakan tempat, pihak lain membiayai operasionalnya, dengan bagi hasil 30% untuk masjid dan 70% untuk pengembangan umat. Alhamdulillah, semalam telah ada diskusi dengan Menteri Koperasi dan UKM yang arahnya sejalan, yaitu mendorong gerakan di sektor ritel," sebutnya.
Keenam, mengarahkan regulasi dan kaderisasi 5.0. "Ini adalah satu lagi urgensi dalam konteks ini," pungkasnya. (Cris)


