Masa Kecil di Kauman
Cerpen Affan Safani Adham
Masa kecil saya memang lebih banyak bermain-main di Kauman. Di kampung ini sekarang sudah padat dengan rumah-rumah. Dulu, karena banyak pohon-pohon dan tempat yang masih kosong, anak-anak mempunyai banyak kebebasan untuk bermain-main.
Waktu itu, salah satu kegiatan malam bagi anak-anak adalah mengaji di tempatnya Pak Hermas. Anak-anak selalu diintip oleh Mbah Ainun dari belakang rumah, yang kemudian akan selalu mengoreksi, menegur, kalau perlu berteriak kepada anak-anak yang selalu bergurau di belakang.
Mbah Ainun adalah kakaknya Pak Hermas. Mbah Ainun, wanita tua yang selalu berdandan rapi dan wangi berbau melati. Ia penguasa rumah Pak Hermas setelah bapak mereka Mbah Dullah meninggal. Mbah Dullah, seorang kiai punggawa Keraton Yogyakarta.
Nah, setelah acara mengaji, ada kegiatan lain. Terutama kalau musim buah-buahan di Kauman sudah mulai. Malam itu ada kegiatan nyolong buah-buahan. Biasanya yang jadi sasaran adalah pohon-pohon yang dipunyai oleh Lurah Sahid. Kalau kita ketahuan menjarah pohonnya, Lurah Sahid akan marah-marah.
Malam itu, anak-anak terdiri dari Najib, Syafiq dan Gito mulai menjarah atau nyolong jambu di tempatnya Lurah Sahid. Kebetulan, pohon jambu air yang sedang berbuah ada di dekat gubuk reotnya Pak Kasimin, yang disuruh menunggu pohon jambu itu. Rumahnya tepat di samping dua pohon jambu yang dicolong.
Sebelumnya, Najib meyakinkan dulu bahwa keadaan aman dan bisa langsung memanjat pohon. Najib akhirnya memanjat pohon diikuti teman lainnya. Jambu yang dipetik itu kemudian dilempar ke bawah dan diterima Syafiq yang sudah menebarkan sarungnya untuk menampung jambu hasil jarahan.
Tiba-tiba terdengar suara Pak Kasimin yang bangun dan berteriak-teriak. Karuan saja Syafiq yang ada di bawah pohon lari tunggang langgang. Najib yang sedang di atas pohon tidak sempat berlari. Akhirnya Najib memutuskan untuk tidak turun ke bawah, tapi tetap di pohon. Selama di atas pohon tetap diam tak bergerak sambil berdebar-debar menunggu nasib.
Pak Kasimin akhirnya keluar dan mengomel. Seterusnya dia berdiri di bawah pohon jambu sambil terus mengomel. Kemudian dia duduk dibangku tepat di bawah pohon jambu. Gemetar rasanya aku yang masih di atas pohon. Tapi aku dan Syafiq berusaha untuk tetap diam dan berharap tidak terlihat karena malam yang cukup gelap dan pekat.
Sekitar sepuluh menit Pak Kasimin mengomel terus. Namun kami yang ada di pohon sudah tak dapat mendengar lagi apa yang diomelkan. Kami terus gemetaran membayangkan akan diapakan nantinya kalau ketangkap oleh Pak Kasimin, yang meskipun tua dan satu matanya sudah buta, tapi berotot kekar. Bersyukur, Pak Kasimin lantas kembali masuk ke rumahnya dan terus mengomel akan memburu kita semua.
*
Dengan cepat namun nyaris tak membuat suara, aku dan Najib turun pelan-pelan meninggalkan halaman rumah Mbah Sahid. Dan kami sempat mendengarkan apa yang diomelkan Pak Min di gubuknya. Barulah kemudian aku dan Najib sadar bahwa sebetulnya Pak Kasimin memang ngomel begitu terus karena Pak Kasimin itu miring otaknya alias tidak waras. Ia sama sekali tak berniat untuk keluar dari rumah dan mengejar anak-anak yang mencuri jambunya Mbah Sahid, majikannya.
“Oooalah, nggak tahunya kita ditungguin oleh orang yang memang gila alias tidak waras,” kataku pada mereka. Kami semua sudah ketakutan sekali.
“Satu nol untuk Mbah Sahid karena sudah menyuruh orang tidak waras untuk menunggu pohon-pohonnya. Awas, nanti! Rahasia sudah terbongkar,” kata Najib.
Suatu hari teman lainnya yang sudah gede, ngasih ide mau makan rujak ramai-ramai. Wah, kami yang masih kecil ini kebagian untuk nyolong kelapanya. Disepakati, malam itu untuk nyolong di tempatnya Lik Saroh yang mempunyai pohon kelapa gading di halaman rumahnya.
Lagi asyik-asyiknya memanjat pohon kelapa, rupa-rupanya Lik Saroh bangun sambil teriak-teriak lari menengok pohon kelapanya. Tanggung! Aku yang sudah ada di pucuk pohon, merosot saja. Tidak berani loncat dari pohon. Namun kemudian terjatuh karena kawat jemuran yang diikatkan ke pohon kelapa tadi. Beruntung, aku dan teman-teman masih sempat lari. Aku sendiri langsung lari ngibrit ke rumah Mbah Wafi. Langsung tiduran di lantai sambil terengah-engah.
Dan ternyata, dadaku merah berdarah karena tergores batang pohon kelapa pada waktu merosot ke bawah. Terpaksa, baju aku buka. Dan Mbah Wafi pun harus melihat. Akhirnya aku terpaksa mengaku. Dan tentu saja dimarahi. Malu juga mestinya Mbah Wafi karena cucu kesayangannya terluka karena nyolong kelapa. Selanjutnya, yang kita dengar, Lik Saroh terpaksa harus melayani perlawanan Zifai dan teman-temannya yang akhirnya harus membela kami yang masih kecil, yang disuruhnya nyolong kelapa.
“Bukannya takut malah ngelawan,” batinku.
*
Kauman yang dulu, berbeda dengan keadaan sekarang. Kauman tempat aku main-main waktu kecil, sekarang sudah berubah. Antara lain dengan makin padatnya oleh rumah-rumah. Namun secara keseluruhan masih tidak berubah. Ada rumahnya Amrozi temanku yang bertingkat dua dan besar sekali, yang separoh dari tingkat atasnya kosong tidak dihuni orang.
Bapaknya Amrozi orangnya tinggi-besar seperti Sean Connery. Dia ini pemilik sebuah toko di kawasan Ngabean. Walau kecil, tokonya komplit. Di tokonya itu dijual pula buku-buku yang selalu aku baca selepas pulang sekolah.
Oh ya, bapaknya Amrozi ini, termasuk orang yang galak di Kauman. Tentu saja kepada anak-anak kecil. Kami semua akan takut kalau dia marah. Terganggu tidurnya barangkali karena berisiknya anak-anak bermain di halaman rumahnya.
Namun yang paling ditakuti oleh anak-anak di Kauman, tentu saja Mbah Sahid. Ia dikenal sebagai Lurah di Kauman. Anak-anak tidak tahu kenapa beliau ini disebut lurah. Barangkali ia adalah punggawa Keraton Yogyakarta dengan pangkat lurah. Rumah tinggalnya besar. Sepertinya, seluruh tanah di Kauman kala itu kepunyaan atau di bawah kekuasaan lurahnya.
Tanah milik mbah Sahid sangat luas dengan banyak pohon. Ada sawo, kira-kira ada tiga pohon. Satu pohon nangka dengan buah yang besar besar dan cukup lebat serta beberapa pohon jambu air. Ada pula pohon jambu dersono dan pohon jambu kluthuk.
Anak-anak Kauman biasanya bermain-main di halaman depan rumah Mbah Sahid dan Narto, untuk bermain sepak bola. Halaman itu di atasnya lapangan tanah pasir, yang tidak luas tentunya. Dan, berisiknya bukan main. Atau, main kejar-kejaran yang dimulai dari Masjid Gedhe dan berlanjut sampai sejauh ke Alun-alun Lor. Semacam kejar-kejaran dengan memberikan tanda-tanda berupa panah dari kapur sebagai petunjuk bagi yang mengejar.
Dan, masih banyak permainan yang kami lakukan sebagai anak Kauman walau orang tua sering melarang kami untuk melakukannya. Yah, terutama karena ini akan membikin marah besar Lurah Sahid. Kegiatan itu, yang sering kali tidak bisa kami tahan adalah mencuri buah-buahan dari pohon di Kauman. Nyolong jambu di antaranya!•