Membaca al-Jawbarī: Menajamkan Nalar, Melucuti Kesaktian
Oleh: A.R. Bahry Al Farizi, Koordinator JIMM Kota Yogyakarta, Editor in chief PUNDI Yogyakarta, Pegiat Sastra Arab
Mengapa Membaca Klasik?
Abdelfattah Kilito (lahir 1945), kritikus sastra kenamaan asal Maroko, dalam karyanya Fī jaw min an-nadm al-fīkrī (2020) menulis esai reflektif mengenai urgensi membaca sastra Arab klasik, “Lihādā naqraʾ al-ʾadab al-klāsīkī.” Ia membuka esai itu dengan satir:
ما الفائدة من قراءة القدماء؟ إنهم ليسوا من عالمنا، ينامون بسلام ولا يريدون منا أن نوقظهم…. والغريب أننا على الرغم من كوننا لا نقروهم، نتصرف كأننا قرأناهم وندعي معرفة إنتاجهم….
Kilito mengajukan pertanyaan menggelitik: apa manfaat membaca sastra klasik? Mereka hidup dan berkarya dalam dunia yang berbeda dari kita. Anehnya, kita sering mengklaim telah betul-betul “memahami” mereka, seakan-akan seruan “tinggalkan masa lalu agar bisa melaju ke masa depan” hadir dengan sendirinya.
Esai Kilito lahir sebagai tanggapan terhadap arus modernitas dalam sastra Arab yang berupaya melepaskan pijakannya dari tradisi. Kilito tidak menyoal modernitas, sebab ia adalah keniscayaan dalam diskursus kesusastraan di mana pun. Yang ia persoalkan adalah klaim modernitas yang seolah lahir dari ruang kosong, tanpa campur tangan para pendahulu.. Pelepasan dari masa lalu sama halnya dengan kehilangan identitas. Karena itu, di akhir esai, Kilito menasihati:
من واجبنا أن نعتني بمن سبقونا، بأسلافنا. لا يليق بنا أن نتجراً عليهم ونستفزهم، وإنما أن تتعايش معهم في ونام. أكبر احترام لهم ألا تنساهم وأن نستمر في الحديث إليهم…..
Telah menjadi kewajiban kita, kata Kilito, menaruh hormat kepada para pendahulu (para sastrawan Arab klasik). Tidak pantas kita mengklaim pengetahuan yang melampaui mereka, apalagi menyamakan “klasik” dengan “kuno”.
Belajar dari kasus Faris al-Shidyaq yang berupaya keluar dari kekangan gaya sajaʿ (sajak retoris berirama) ala Zamakhsyari dan Hariri, Kilito menyatakan: pembaruan terjadi ketika penyair menentang suatu gaya, tradisi, atau mazhab. Apakah gejala ini hanya milik abad ke-19? Tidak. Abu Nawas, Abu Tammam, dan khususnya Abu al-Aʿlā al-Maʿarrī bukan hanya menentang pendahulunya, melainkan juga melampaui dirinya sendiri. Dalam Luzūm mā lā yalzam, al-Maʿarrī menolak tegas gaya puisinya sendiri dalam Saqṭ al-Zand. Artinya, sastra amat dinamis. Dikotomi klasik–modern menjadi kurang relevan bila kita menangkap esensi pencerahan yang hadir pada setiap penyair di setiap zaman. Karena itu, sastra klasik selalu layak dibaca; isu-isunya kerap masih mendera masyarakat modern. Dari sastra Arab klasik, kita belajar kebijaksanaan dan kerendahan hati.
Memposisikan al-Mukhtār fī Kashf al-Asrār
Berangkat dari latar itu, tulisan ini membahas salah satu mahakarya abad ke-13: Kitāb al-Mukhtār fī Kashf al-Asrār karya Jamāluddīn ʿAbd al-Raḥīm al-Jawbarī. Perlu diingat, dalam tradisi kesusastraan Arab, definisi “sastra” sangatlah luas: buku-buku filsafat, sosial-humaniora, dan cabang ilmu lain turut termasuk. Karena itu, karya seperti al-Mukhtār, meski bergerak dalam diskursus yang kerap ilmiah, diklasifikasikan sebagai prosa sastra.
Nama lengkap al-Jawbarī adalah Jamāl al-Dīn ʿAbd al-Raḥīm ibn ʿUmar ibn Abī Bakr al-Dimashqī al-Jawbarī. Ia berasal dari al-Jawbar, saat itu sebuah desa di kawasan Ghouta (kebun beririgasi yang mengelilingi Damaskus) yang kini menjadi daerah pinggiran kota. Berdasarkan bukti terbatas, tanggal lahir dan wafatnya tak dapat dipastikan, tetapi peristiwa yang disebut sebagai sezaman dengannya jatuh antara 613/1216–17 hingga 646/1248.
Al-Jawbarī tidak menyebut guru, sehingga kemungkinan besar ia belajar secara otodidak. Jika klaimnya yang menyatakan telah mempelajari lebih dari tiga ratus buku adalah benar, maka bacaan yang ia kuasai terbilang luar biasa untuk zamannya. Rujukannya membentang dari para Nabi (Adam dan Sulaiman) hingga penulis sezaman, mencakup ilmu gaib maupun sains. Ia sesekali merujuk puisi al-Ḥallāj (w. 309/922) serta tokoh sastra seperti al-Ḥarīrī (w. 516/1122) dan al-Jāḥiẓ; namun ia bukan produk kurikulum sastra-keagamaan klasik yang khas dengan gaya bahasa yang sangat serius dan lazim bagi kaum terpelajar. Gaya kepenulisan Al-Jawbarī lebih santai dan humoris, walaupun banyak kritikus sastra menyatakan ketakjubannya pada obsesi Al-Jawbarī soal detail-detail kecil di setiap peristiwa yang ditulisnya.
Menurut kesaksiannya, al-Mukhtār fī Kashf al-Asrār ditulis atas permintaan penguasa Artuqid Turkmen, al-Malik al-Masʿūd Rukn al-Dīn Mawdūd (berkuasa 619–29/1222–32). Dalam muqaddimah, al-Jawbarī bercerita: di sebuah ruang pertemuan istana, percakapan beralih kepada Fī kashf al-dakk wa-īḍāḥ al-shakk karya Ibn Shuhayd (w. 426/1035). Setelah naskah itu didatangkan dan mengesankan sang penguasa, Rukn al-Dīn meminta pendapat al-Jawbarī, lalu menugaskannya menulis karya baru mengikuti garis besar Ibn Shuhayd, tetapi lebih singkat dan mudah dipahami.
Kendati sempat menolak, al-Jawbarī akhirnya menerima dan berikrar menuliskan rahasia-rahasia yang, menurutnya, belum pernah diungkap siapa pun. Besar kemungkinan penugasan terjadi saat al-Malik al-Masʿūd masih berkuasa (619/1222–629/1232). Karya ini kini tersedia dalam terjemahan Inggris The Book of Charlatans (Humphrey Davies, 2021; Library of Arabic Literature, NYU).
Dari Klaim Sakti ke Tata Panggung
Fenomena mistis memang menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat Indonesia; konten horor tak pernah sepi peminat. Masalah muncul ketika konten mistis dipakai untuk membodohi publik: orang-orang mengaku bisa berkomunikasi dengan yang gaib, lalu mengomersialkannya. Inilah konteks al-Mukhtār fī Kashf al-Asrār: para “charlatans” lihai memamerkan “kesaktian”, dan al-Jawbarī lebih lihai lagi membongkar tipu daya mereka. Para “charlatans” ini terdiri dari orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai Nabi, orang-orang suci, mistikus, pesulap jalanan, peramal, dukun, pedagang, hingga ahli kimia.
Saya membaca al-Mukhtār bukan untuk mencari sensasi “dunia bawah” abad pertengahan, melainkan untuk mencari bagaimana sebuah pertunjukan bisa terasa suci, ilmiah, atau ajaib, padahal berdiri di atas alat dan trik sederhana. Dari halaman ke halaman, al-Jawbarī menuntun pembaca keluar dari rasa takjub menuju pertanyaan yang lebih sederhana: ini dibuat dari apa, dengan alat apa, dan untuk keuntungan siapa. Ia menulis sebagai pengelana yang pernah “masuk” ke lingkaran para penipu dan keluar dengan satu pesan pendek berulang: فافهم وكن فطنا (waspadalah! cerdaskan diri!).
Yang segera tampak adalah metodenya: al-Jawbarī memulai dari gambaran umum, lalu menyodorkan contoh yang mudah dipahami, yaitu dari klaim sakti menuju cara memoles panggung. Tentang kelompok yang ia sebut Banū Sāsān, ia tidak mendeskripsikan lewat stereotip, melainkan praktik: memalsukan kebutaan dengan campuran darah kutu dan gum Arab (gummi arabicum/gum acaciae), “membuat” lepra dengan ramuan pewarna kulit, hingga koreografi para pengkhotbah berapi-api yang ia tempatkan di puncak hierarki penipuan. Ajakan yang sama berulang: pahami langkahnya, karena dari sedikit contoh, pembaca cermat dapat menyimpulkan pola yang lebih luas.
Beberapa bagian terasa dekat dengan zaman kita: lihat bagaimana “kesucian” dipentaskan. Al-Jawbarī mencatat orang berkeliling Anatolia membawa “alas kaki Nabi” dalam peti berhias, mengganti identitas mazhab sesuai audiens; di tempat lain, cawan berisi kain wangi dipasarkan sebagai jubah keluarga Nabi. Cerita-cerita ini tak berhenti pada celaan moral; ia menutupnya dengan tujuan terang bahwa semua “seni” itu ia pelajari agar publik tak mudah dipermainkan. Di sini kita belajar membedakan iman dari komodifikasi sakralitas: yang pertama menuntut kejujuran, yang kedua hidup dari panggung dan air mata.
Ia juga mengurai “mukjizat api” yang lahir dari prosedur sederhana. Upacara berjalan di atas bara, dalam catatannya, bertumpu pada salep lemak katak yang dicampur tawas, atau talek yang diolah dan dioleskan ke kulit. Upacara Zoroaster yang agung dibaca ulang sebagai pengelolaan panas dan bahan perintang, dan jelas bahwa itu bukanlah kesaktian yang tak tersentuh. Membaca bagian ini, saya teringat tontonan modern yang menjual “uji nyali” atau “kebal” sebagai konten; al-Jawbarī mengajak kita kembali menanyakan bahan, cara kerja, dan persiapan.
Di wilayah ekonomi, fokus diarahkan ke perangkat yang dipakai para charlatans. Bab tentang penukar uang memaparkan timbangan berlengan berisi raksa, teknik memodifikasi beban kuantitas yang asli dengan timah lalu disamarkan cat, sampai trik biji karob (dari pohon karob, tanaman asal Mediterania dan Asia Barat) yang dikosongkan lalu diisi bahan penambah berat. Terlihat di sini betapa detailnya teknis yang dipersiapkan hingga cukup untuk menggeser fokus dari “siapa menipu siapa” ke “dengan alat apa penipuan dibuat”. Pergeseran ini krusial di zaman buzzer, visual viral, dan jargon teknis: perangkat adalah separuh persuasi.
Ada pula contoh ketika “ilmu” dijadikan kosmetik otoritas. Membahas kimia, nada al-Jawbarī tegas: andai ada orang sungguh tahu cara mengubah logam biasa menjadi emas, ia tak butuh sekutu dan tak akan membuka rahasianya. Di balik jargon “ruh”, “jasad”, atau “pemanasan X hari”, yang tampak adalah sirkuit uang alias modal kecil diputar untuk memancing dana yang lebih besar. Yang ia tawarkan bukan amarah, melainkan kebiasaan bertanya: kalau ini benar ilmu, mengapa jalannya selalu melalui kata-kata berbunga dan janji keuntungan cepat?
Ada juga mesin “air mata” yang sangat kontemporer rasanya. Di sebuah biara, al-Jawbarī menemukan patung yang “menangis seperti hujan” dan “mengangguk” pada waktunya. Dalangnya: kepala dan badan berongga, pemanas air kecil dengan keran yang meneteskan air ke mata. Sisanya tinggal narasi: patung tersenyum yang berarti kabar kemenangan; patung menangis berarti tanda murka. Tujuh hari pesta, tujuh hari pemasukan. Seperti cetak biru konten emosional hari ini. Yang berbeda hanya medium.
Sesekali, al-Jawbarī menaruh simpati pada pesulap jalanan: publik tahu “keajaiban” mereka hanyalah kelincahan tangan, dan sisanya kemurahan hati penonton. Tetapi bahkan di sini ia menulis seperti teknisi: cangkir berlapis, kantong tiga lapis, kotak produksi enam kompartemen. Kita diajak membedakan hiburan yang menerangkan alatnya dari tipu-daya yang tiba-tiba menyerupai wahyu. Keterampilan menganalisis perangkat ini, menurut saya, adalah literasi yang dibutuhkan siapa pun di era efek visual AI.
Naikkan Standar Nalar
Semua ini relevan bukan untuk memindahkan cerita abad ke-13 bulat-bulat ke media sosial hari ini, melainkan karena pola pikir yang ditawarkan masih bekerja: baca dengan telaten, cari polanya, dan jangan berhenti pada nama besar, air mata, atau jargon. Di akhir beberapa bagian, al-Jawbarī menegaskan tujuannya: ia menulis “sejauh yang perlu” agar publik bisa meneruskan deduksi, dan karena ia telah “mempelajari seni mereka tanpa tersisa” demi mencegah orang-orang kembali ditipu. Caranya sederhana tetapi perlu dilatih: dari sedikit contoh, tarik kaidah; dari satu alat, tebak sistemnya.
Membaca karya klasik seperti ini bukan perkara nostalgia. Al-Mukhtār fī Kashf al-Asrār mengingatkan bahwa praktik yang kita saksikan hari ini mulai dari komodifikasi sakral, “ilmu” yang tinggal bahasa, hingga tontonan yang menjual takjub bukanlah hal baru. Yang lebih penting, cara membongkarnya juga sudah lama tersedia, jika kita bersedia membaca pelan-pelan, memeriksa alatnya, dan bertanya: “bagaimana ini dioperasikan?” Di situ al-Jawbarī berdiri bersama kita, bukan sebagai hakim yang mengamuk, melainkan sebagai pembaca ulung yang mengajak: naikkan standar nalar, dan jangan biarkan panggung mengambil alih cara kita percaya.


