JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia (Mendikdasmen RI), Prof. Dr. Abdul Mu’ti, mengingatkan peran pemuda sebagai kekuatan pemersatu dalam menghadapi tantangan polarisasi di era digital. Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 telah menjadi bukti sejarah akan lahirnya semangat keindonesiaan, meskipun saat itu Indonesia belum berdiri sebagai negara dan masih terpecah berdasarkan suku, ras, agama, dan bahasa.
“Momentum peringatan Sumpah Pemuda menjadi bagian penting dari penegasan tentang peranan kaum muda dalam memajukan bangsa dan negaranya, dan betapa pentingnya peranan kaum muda sebagai kekuatan pemersatu,” kata Mendikdasmen dalam Webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) dalam rangka Hari Sumpah Pemuda yang diadakan oleh Maarif Institute dan Institut Leimena bertajuk “Peran Pemuda di Era Digital dalam Memperkuat Kerja Sama Lintas Agama dan Budaya di Dunia yang Terpolarisasi”, Jumat (25/10/2024) malam.
Abdul Mu’ti yang baru dilantik sebagai Mendikdasmen dalam Kabinet Merah Putih, menyampaikan sambutan kunci dalam webinar tadi malam dari lokasi retreat para menteri di Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah. Webinar Internasional LKLB juga diisi sambutan dari Direktur Maarif Institute, Andar Nubowo, dan Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho.
“Pertama-tama, saya mohon maaf tidak bisa hadir di awal (webinar), baru saja selesai acara dengan Presiden Prabowo Subianto di Magelang, di komplek Akademi Militer. Ini masih di tengah acara retreat dengan para menteri Kabinet Merah Putih dan para pejabat tinggi negara setingkat menteri,” ujarnya kepada lebih dari 2.200 peserta webinar dari berbagai negara.
Abdul Mu’ti, yang masih menjabat sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengatakan Sumpah Pemuda yang akan diperingati tanggal 28 Oktober nanti, adalah tonggak sejarah penting dalam rangkaian menuju kemerdekaan Indonesia. Sumpah Pemuda menjadi tonggak bagi lahirnya kedaulatan Indonesia dalam hal kedaulatan budaya (cultural sovereignty), kedaulatan politik (political sovereignty), dan kedaulatan wilayah (territorial sovereignty).
Kedaulatan budaya terwujud dalam kesepakatan para pemuda dari berbagai organisasi keagamaan dan kedaerahan untuk bersama-sama menyatakan bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia. Abdul Mu’ti mengatakan belum ada dalam catatan sebuah negara seperti Indonesia yang memiliki lebih dari 700 bahasa daerah, lebih dari 300 suku bangsa, dan ribuan pulau baik besar maupun kecil.
Kedaulatan politik artinya Sumpah Pemuda menjadi momentum Indonesia secara politik menyatakan kemerdekaan. Sedangkan, kedaulatan wilayah ditandai dengan pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan setelah perjuangan panjang mantan perdana menteri, Ir. Djuanda Kartawidjaja, dalam berbagai lobi politik internasional.
“Dalam konteks sejarah, menurut saya Sumpah Pemuda merupakan capaian politik yang tidak mudah karena Indonesia saat itu masih terdiri dari banyak sekali Kerajaan dan banyak sekali budaya dan bahasa,” ujarnya.
Tantangan Era Digital
Mendikdasmen mengatakan Sumpah Pemuda menghadapi tantangan karena munculnya sejumlah kecenderungan dalam era digital saat ini. Di satu sisi, era digital memudahkan orang berinteraksi dengan siapa, kapan, dan dimana saja, namun di sisi lain cenderung menjebak dalam kedangkalan berpikir. Orang tidak berpikir secara utuh dan mendalam, sebaliknya jumping to conclusion, sehingga menyebabkan pengambilan sikap yang keliru.
Era digital juga membuat kecenderungan konformitas yaitu orang-orang merasa nyaman berhimpun dengan mereka yang sepaham atau kelompoknnya sendiri. Ditambah, kecenderungan seseorang mengakses berbagai macam informasi digital bukan demi mencari kebenaran, namun demi mencari pembenaran.
“Ini menjadi persoalan serius sehingga teknologi digital kadang menimbulkan bukan masyarakat semakin dekat, tapi bisa berdampak kepada pembelahan sosial, divided atau exclusive society,” tandas Abdul Mu’ti.
Itu sebabnya, Mendikdasmen menyatakan pemuda perlu bersikap terbuka terhadap perbedaan sebagaimana teladan para pemuda masa lalu saat mengikrarkan Sumpah Pemuda. Para pemuda masa itu membangun sebuah entitas baru bernama Indonesia, tanpa meninggalkan identitas kultural mereka antara lain sebagai Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, Jong Celebes, atau Jong Islamieten Bond.
“Generasi muda, generasi milenial, atau generasi Y dan Z, memang perlu berinteraksi lebih terbuka dengan yang lain dan perlu disediakan ruang-ruang perjumpaan lebih banyak,” ujar Abdul Mu’ti.
Webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya ini menghadirkan lima panelis yaitu Kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan Masjid Istiqlal, Dr. Farid F. Saenong, Ketua Umum Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Riandy Prawita, Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho, Kepala Biro Beijing Antara News, Desca Lidya Natalia, dan Senior Fellow Comparative Religion di Jackson School of International Studies, University of Washington, Dr. Chris Seiple.
Berpikir Tingkat Tinggi
Tantangan di era digital semakin besar karena informasi sangat mudah disebarluaskan dan diterima sebagai sebuah kebenaran. Itulah sebabnya, pemuda sebagai agen-agen perubahan, perlu memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi (high-order thinking) yaitu kemampuan berpikir analitis, evaluatif, bahkan kreatif.
“Tantangannya di era digital sekarang semakin besar, karena begitu mudahnya melontarkan dan menelan berita bohong, hoaks, bahkan fitnahan, yang dapat memecah belah bangsa dan menimbulkan kebencian terhadap sesama manusia. Hanya modal jempol, tanpa menggunakan akal sehat, apalagi nalar kritis,” kata Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho dalam Webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya dalam rangka Hari Sumpah Pemuda yang diadakan Institut Leimena bekerja sama dengan Maarif Institute, Jumat (25/10/2024) malam.
Dalam webinar yang mengangkat tema “Peran Pemuda di Era Digital dalam Memperkuat Kerja Sama Lintas Agama dan Budaya di Dunia yang Terpolarisasi dan dihadiri pembicara kunci Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti tersebut, Matius mengatakan para pemuda tahun 1928 menunjukkan kemampuan berpikir tingkat tinggi luar biasa karena mereka mampu menganalisa, hingga menghasilkan sebuah gagasan cemerlang yang dirumuskan dalam Sumpah Pemuda.
Peristiwa Sumpah Pemuda menjadi tonggak penting bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang selama itu mudah terpecah belah dan diadu domba. Melalui Keputusan Kongres Pemuda, para pemuda dan pemudi dari lintas suku, agama, dan kepercayaan sepakat menjadi bangsa yang satu, tanah air yang satu, dan satu bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.
“Apakah setelah hampir seratus tahun, kita semakin baik dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi ini? Atau justru semakin menurun, serta mudah dihasut dan diadu domba? Atau malah ikut-ikutan menyebar hoaks dan menebar kebencian?” kata Matius.
Matius menegaskan peran pendidikan menjadi sangat penting dalam membentuk kemampuan berpikir tingkat tinggi. Institut Leimena bersama Maarif Institute, dan 30 lembaga lainnya, telah mengadakan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang memprioritaskan para guru dan pendidik lainnya untuk memperkuat kompetensi mereka sehingga diharapkan bisa meningkatkan kemampuan berpikir guru yang analitis, evaluatif, dan kreatif.
Program Literasi Keagamaan Lintas Budaya menekankan pada pengembangan kompetensi agar kita mampu mengatasi masalah prasangka dan stereotip negatif kita terhadap orang yang berbeda agama, kepercayaan, atau bahkan berbeda budaya dari kita. Pada akhirnya, kita berani dan mampu membangun kerja sama dengan orang-orang yang berbeda tersebut, tanpa khawatir kita akan kehilangan identitas kita masing-masing yang unik.
“Inilah Bhinneka Tunggal Ika yang sesungguhnya. Berbeda tetapi tetap satu. Satu tetapi tetap berbeda,” kata Matius.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Maarif Institute, Andar Nubowo, mengatakan teladan Sumpah Pemuda tetap relevan untuk terus digelorakan dan diwujudkan dalam dunia yang terpolarisasi. Invansi digital dan teknologi internet menjadi kendaraan bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan ujaran kebencian, kabar palsu, dan berita bohong untuk memecah belah rasa kebangsaan dan kemanusiaan.
Andar menegaskan kemerdekaan Indonesia tidak akan pernah terwujud jika sesama anak bangsa Indonesia terjebak pada identitas primordial dan kultural masing-masing. Sumpah Pemuda menjadi konsensus pertama dalam sejarah bangsa Indonesia untuk bersatu dan bekerja sama membangun dan mewujudkan imajinasi kemerdekaan dan kebangsaan Indonesia.
“Untungnya, keragaman bangsa Indonesia itu tidak menghambat kolaborasi dan sinergi, tetapi justru menjadi modal intelektual, sosial, dan politik untuk membina-bangun dan mewujudkan cita-cita bersama, yakni Indonesia merdeka, adil, makmur dan aman sentosa,” kata Andar.
Andar menambahkan peristiwa yang terjadi hampir 1 abad silam memberikan keteladanan luhur bagi semua pihak, putra-putri bangsa Indonesia dan juga masyarakat global, bahwa persatuan dan kebersamaan dapat menggerakan inisiatif baik untuk menghalau persoalan kemanusiaan.
“Dunia digital perlu diisi dan direbut oleh energi dan inisiatif baik, seperti pada webinar kita malam ini, yang dihadiri lebih dari 2.200 orang dari berbagai negara, untuk terus menyuarakan dan mempromosikan sinergi dan kolaborasi dalam mempromosikan literasi keagamaan lintas budaya,” kata Andar.
Kerja sama program Literasi Keagamaan Lintas Budaya antara Institut Leimena dan Maarif Institute telah diadakan sejak Oktober 2021, sebagai kelas perdana Literasi Keagamaan Lintas Budaya yaitu program internasional peningkatan kapasitas guru-guru madrasah dan sekolah. Sampai Oktober 2024, kelas pelatihan LKLB telah dilaksanakan 58 kali dengan total alumni yang lulus sebanyak 9.160 guru dan pendidik lainnya dari 37 provinsi di Indonesia dari kalangan Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan sebelum tahun ini berakhir akan dilaksanakan kelas perdana untuk guru-guru agama beragama Konghucu.