Yogyakarta, Suara Muhammamdiyah - Pusat Data Penelitian Pengembangan dan Jurnal Suara Muhammadiyah menggelar Public Lecture #3 dengan tajuk “Menemukan Jejak Toleransi dalam Sejarah Muhammadiyah,” Ahad, 22 Oktober pukul 08.00-11.00 di Aula Grha Suara Muhammadiyah. Peserta 25 mahasiswa terpilih dari berbagai universitas di Indonesia. Program jelajah situs-situs bersejarah di Yogyakarta ini dimulai dengan kunjungan ke Masjid Gede, SD Muhammadiyah Kauman, Mushalla ‘Aisyiyah, Langgar Kidul, dan Kraton. Puncak acara berupa refleksi historis disampaikan oleh Mu’arif dari Pusdalitbang di Grha Suara Muhammadiyah untuk menemukan jejak-jejak toleransi dalam sejarah Muhammadiyah.
Masjid Gede adalah saksi sejarah berdirinya Muhammadiyah. Sang pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, adalah Khatib Amin—jabatan fungsional di Kepenghuluan sebagai khatib. Karena pandangan keagamaan Khatib Amin berbeda dengan pihak kraton—terkait penentuan hilal/awal Hari Raya, ia pernah dipanggil oleh sultan untuk menyampaikan argumentasinya tentang paham keagamaan yang diikuti oleh Muhammadiyah. Sri Sultan Hamengkubuwono VII menerima Khatib Amin di sebuah ruangan gelap gulita (tanpa lampu), padahal seluruh pangeran dan pejabat kraton hadir di ruangan tersebut. Namun, dengan suasana gelap gulita, Khatib Amin dengan mudah tanpa grogi menyampaikan pandangan keagamaannya yang berbeda dengan tradisi kraton. Setelah itu, lampu dinyalakan dan Khatib Amin baru sadar jika seluruh pangeran dan pejabat kraton hadir di ruangan tersebut. “Berlebaranlah kamu sesuai pendapat dan keyakinanmu, dan kami (pihak kraton) akan tetap bertahan sesuai tradisi warisan leluhur,” kurang lebih begitulah pesan penuh toleransi dari HB VII kepada K.H. Ahmad Dahlan, Khatib Amin Masjid Gede, yang tidak lain adalah ketua (president) Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah waktu itu.
Dari Masjid Gede menuju SD Muhammadiyah Kauman yang merupakan SD tertua (pertama) di Muhammadiyah. Dilanjutkan menuju Mushalla ‘Aisyiyah yang merupakan monument toleransi dan sekaligus emansipasi wanita Islam pertama di Yogyakarta, bahkan mungkin di Indonesia. Peserta banyak yang kaget mendengar informasi keberadaan Masjid Perempuan yang fungsinya sama seperti masjid pada umumnya tetapi dikelola dan dipakai khusus oleh kaum perempuan.
Dari Mushalla ‘Aisyiyah menuju Langgar Kidul, pusat penyebaran paham Islam modernis pertama di Yogyakarta yang kemudian menjelma menjadi Persyarikatan Muhammadiyah. Di samping Langgar Kidul adalah kediaman K.H. Ahmad Dahlan yang kini ditempati oleh salah seorang cicit beliau. Tim Pusdalitbang SM menyampaikan banyak terima kasih kepada Mas Ahmad Nafi’an yang sudah berkenan mengizinkan peserta untuk melihat-lihat situs bersejarah tersebut. Terutama bangunan bekas Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (didirikan 1911) yang menjadi eksperimen pertama pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan.
Setelah itu, peserta diarahkan langsung menuju Kraton untuk melihat-lihat situs bersejarah. Tepat pukul 11.00 WIB peserta sampai di Grha Suara Muhammadiyah untuk mengikuti refleksi historis tentang “Jejak toleransi dalam sejarah Muhammadiyah.” Dalam kesempatan tersebut, peserta mendapat informasi tentang sejarah penerbitan Majalah Suara Muhammadiyah sebagai media resmi persyarikatan Muhammadiyah. Seorang mahasiswi dari Universitas Mataram (NTB) bertanya, “apa nilai historis dari majalah Suara Muhammadiyah?” Pertanyaan yang cukup bagus ini dijawab bahwa majalah Suara Muhammadiyah yang terbit sejak 1915 dan hingga kini masih eksis tanpa terputus penerbitannya, telah mendapat pengakuan dari berbagai lembaga/badan nasional. Hampir semua media yang terbit sezaman dengan Suara Muhammadiyah kini telah berakhir di musium. Namun Suara Muhammadiyah ternyata mampu bertahan sampai saat ini sehingga Musium Rekor Indonesia (MURI) memberikan anugrah kepada Suara Muhammadiyah sebagai media Islam tertua yang masih eksis hingga kini. Mendengar penjelasan tersebut, seluruh peserta riuh bertepuk tangan tanda kagum atas capaian yang luar biasa dari Suara Muhammadiyah.
Tidak hanya itu. Suara Muhammadiyah sebagai media massa persyarikatan merekam dinamika keagamaan, sosial, budaya, dan politik di tanah air dari sebelum adanya Indonesia hingga memasuki Indonesia Merdeka, bahkan sampai memasuki pasca Reformasi. Tidak hanya menampung pemikiran dan berita tentang internal Muhammadiyah, majalah ini juga banyak diikuti dan diisi oleh tokoh-tokoh nasional di luar organisasi Muhammadiyah. Itu artinya bahwa majalah ini juga mewadahi dan sekaligus mengusung semangat toleransi yang tinggi membersamai perjalanan dan dinamika keagamaan, sosial, budaya, dan politik di tanah air. Bukan hanya sejak pasca Reformasi, tapi jauh sebelum Indonesia hadir (masa kolonial).
Di akhir sesi tanya jawab, mewakili Tim Pusdalitbang SM, Mu’arif menutup dengan pernyataan sebagai berikut: “Jika demikian, maka sebenarnya keliru orang-orang yang tidak paham Muhammadiyah atau ormas-ormas yang baru tumbuh belakangan malah mau mengajari apa itu toleransi kepada Muhammadiyah. Karena sejarah Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai “sejarah toleransi” itu sendiri.” [Arf]