JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Saat eksploitasi menggerus ruang hidup, masyarakat Karst Pracimantoro mengingatkan bahwa keberlanjutan tidak lahir dari teknologi semata, tetapi dari relasi manusia dan alam yang setara.
Eco Bhinneka Muhammadiyah Regional Yogyakarta menyelenggarakan diseminasi hasil kajian advokasi melalui diskusi publik bertajuk “Ecofeminisme dalam Perspektif Komunitas dan Keimanan: Pengalaman Riset dari Kawasan Karst Pracimantoro”. Acara berlangsung pada Rabu, 26 November 2025, di Aula Lantai 6 Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat, serta disiarkan secara daring melalui ZOOM. Kegiatan ini dihadiri oleh 50 orang perwakilan organisasi pemuda lintas iman, pegiat isu ecofeminisme, difabel, dan lingkungan, serta media.
Masyarakat Karst Pracimantoro—yang menghuni kawasan formasi Gunung Sewu—memiliki pengetahuan lokal yang kuat dalam pengelolaan lahan, manajemen pertanian, dan pengaturan air sebagai bagian dari pengelolaan ekosistem. Namun, pengetahuan ekologis yang bernilai ini masih kurang dikenal dan belum mendapatkan rekognisi dari publik luas maupun para pemangku kebijakan.
Diskusi ini merupakan bagian dari implementasi Program SMILE (Strengthening Youth Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism) Eco Bhinneka Muhammadiyah di Yogyakarta. Dengan dukungan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, tim SMILE Yogyakarta memimpin upaya advokasi dan kampanye, termasuk pendokumentasian pengetahuan lokal masyarakat untuk menjadi bahan advokasi kepada para pengambil kebijakan.
Acara ini menghadirkan sejumlah pembicara kunci, antara lain Staf Khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bidang Perempuan & Politik Nia Sjarifudin, Ketua PP Muhammadiyah Prof. Syafiq A. Mughni, serta Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah Hening Parlan. Hadir pula sebagai penanggap Romo Suyadi (Tokoh Agama Katolik) dan Dewi Candraningrum, peneliti gender, ekofeminisme, pedagogi, dan aktivisme seni untuk keadilan sosial-ekologis dari Universitas Muhammadiyah Surakarta. Yayum Kumai dan Tasya Danela mempresentasikan hasil kajian advokasi.
Yayum Kumai, Focal Point Eco Bhinneka Muhammadiyah Yogyakarta, menjelaskan bahwa kajian ini berfokus pada pengetahuan lokal dari sisi budaya dan sosial. “Kami ingin mengamplifikasi bagaimana masyarakat Pracimantoro memiliki pengetahuan yang selaras dengan alam. Mereka menjunjung diversitas, mengambil secukupnya dari alam, dan memastikan ada yang dikembalikan,” ujarnya. Ia juga menyoroti peran perempuan Pracimantoro dalam menjaga keberlanjutan pangan keluarga melalui pangan lokal seperti umbi-umbian dan sumber protein dari serangga.
Romo Suyadi menanggapi dengan merujuk seruan Paus Fransiskus dalam Laudato Si yang mengkritik konsumerisme dan eksploitasi lingkungan. “Anak muda perlu memberi solusi alternatif, salah satunya lewat ecosociopreneurship,” tuturnya.
Sementara itu, Dewi Candraningrum menekankan pentingnya merekognisi tradisi lisan bukan sebagai folklor namun sebagai sains. Lebih jauh, kajian yang sudah berjalan di kawasan calon tapak tambang ini dapat berkembang sampai pada analisa terhadap rantai pasok politik global. "Kita bisa memulihkan otoritas pengetahuan lokal dan melakukan dekolonialisasi pengetahuan,” ujarnya.
Ketua PP Muhammadiyah Prof. Syafiq A. Mughni mengapresiasi penyelenggaraan diskusi ini. “Sebagai orang beriman, perlu melawan segala bentuk fasad—kerusakan yang merusak kehidupan,” katanya. Ia berharap gerakan seperti ini dapat mengubah cara pandang publik dan membawa kemaslahatan.
Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah, Hening Parlan, menegaskan bahwa ecofeminisme merupakan pendekatan yang kuat bila digunakan secara tepat. “Ecofeminisme adalah alat untuk mencapai keadilan iklim, ruang untuk membedah pengalaman perempuan,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa pendekatan ini membuka ruang dialog lintas kalangan dan mendorong empati terhadap alam.
Tentang SMILE Eco Bhinneka Muhammadiyah
Program SMILE (Strengthening Youth Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism) mendorong kepemimpinan pemuda lintas iman untuk keadilan iklim melalui perspektif ecofeminisme. Program ini menggunakan pendekatan eco-literacy, eco-sociopreneurship, serta advokasi dan kampanye. Didukung oleh Ford Foundation dan Kementerian Dalam Negeri, program ini berlangsung di delapan lokasi: Pontianak, Halmahera Selatan, Surakarta, Banyuwangi, Gowa, Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.


