Seperti biasa memasuki fase pesta demokrasi, akan banyak hal yang tidak terduga terjadi. Pro dan kontra konstelasi politik pun mewarnai keseharian masyarakat di media sosial. Masing-masing pendukung paslon menjual kebaikan dan menggoreng isu untuk menjatuhkan lawan. Hal yang sejatinya bertolak belakang dengan nilai dan butir sila-sila Pancasila, namun mungkin dirasakan sah-sah saja karena telah menjadi bagian kemeriahan memasuki tahun politik. Masyarakat pun sepertinya telah terbiasa dan tidak begitu mempersoalkan, hanya saja memang harus terus selalu dijaga ritme kebebasan berekspresi agar tidak kebablasan.
Terlepas dari pro dan kontra tersebut, masyarakat republik ini terkhusus generasi muda faktanya banyak yang belum memahami bahwa Pemilihan umum (Pemilu) setiap lima tahun fundamental untuk menjaga dan merawat keutuhan NKRI. Melindungi hak penerus bangsa, serta bagian kedewasaan berpolitik para wakil rakyat yang duduk di pemerintahan. Maka wajib sebagai masyarakat kita memilih figur pemimpin amanah yang siap membawa dan memberikan banyak perubahan baik, pemimpin yang mampu mengayomi, bervisi membangun dan mensejahterakan rakyat Indonesia tanpa mempersoalkan warna. Selain itu rasanya tepat dan wajar jika indikator untuk memilih pemimpin bangsa sebab memiliki rekam jejak memimpin dengan kategori berhasil, diterima semua kalangan dan dianggap mampu membawa nama Indonesia ke kancah internasional.
Pemilu Berkeadaban
Pemilu Berkeadaban adalah tujuan, ia hanya akan menjadi jargon dan mimpi jika semua bagian republik ini acuh tak acuh pada keutuhan bangsa dan lebih mengutamakan kelompoknya saja. Sila ketiga Pancasila dengan tegas menjelaskan pentingnya persatuan agar Indonesia tetap utuh, dan Pemilu adalah moment pembuktian seluruh rakyat Indonesia khususnya wakil rakyat yang akan duduk di parlemen. Rakyat berharap kehidupan lebih tentram, aman, sejahtera.
Lantas bagaimana mewujudkan pemilu berkeadaban ?. Jawaban ini mungkin agak sulit dijabarkan jika dianggap atau dipandang kurang penting, yakni saat tujuan berkuasa adalah harapan dengan menghalalkan segala daya upaya. Namun tidak terlalu sulit jika ia bertujuan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Berkeadaban adalah tantangan tersendiri saat diwujudkan dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenapa disebut tantangan dan mungkin juga mimpi karena, siapapun yang ikut dalam perhelatan tersebut (partai besar khususnya) harus ikhlash melepaskan atribut dan kepentingan partai demi persatuan kesatuan bangsa. Sesuatu yang faktanya tidak semudah teori dan harapan. Situasi sosial hari ini menjelang perhelatan akbar 14 februari 2024, berbagai isu berkembang, salah satunya politik/kekuasaan dinasti, isu yang lebih parah dari KKN, karena menjadi musuh suksesnya pembangunan.
Pemilu sebagai pesta demokrasi harus dapat berdiri tegak sesuai konstitusi yang berlaku, berlangsung jujur adil dan pada akhirnya melahirkan sosok pemimpin yang siap serta tangguh memimpin bangsa serta seluruh tumpah darah Indonesia.
Penulis berkeyakinan berkeadaban bukan mimpi, tetapi harus menjadi identitas yang diwariskan ke generasi. Bagaimana ia akan jadi peninggalan kebaikan jika republik ini tidak sedang baik-baik saja. Di media sosial, media online dan media cetak tanah air sejak diumumkannya bakal calon presiden dan wakil presiden isu panas bak bola liar yang tidak bisa dibendung. Tidak lagi bisa dicegah bahkan diprediksi kemana langkah akan berputar. Yang kebingungan dan terprovokasi adalah masyarakat bahkan mereka "bertengkar" dan saling memperolok satu sama lain di kolom komentar. Nah, jika sudah saling adu kekuatan argumentasi, netizen Indonesia mungkin dapat terkategori jago tanpa memperdulikan situasi (etika dan adab). Walau dirasa bagian integral dari pelaksanaan demokrasi, tetap saja berkomentar atau berpendapat harus sesuai koridor, tidak kebablasan namun tetap berprinsip menjaga keutuhan NKRI.
Akhirnya selamat menuju pesta demokrasi saudaraku, ingat bahwa pilihan kita menentukan nasib anak cucu kita kelak. Pilihan yang akan kita pertanggung jawabkan di hadapan Allah SwT.
Amalia Irfani, Kandidat Doktor Sosiologi UMM