PURWOKERTO, Suara Muhammadiyah - Aula A.K. Anshori Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Senin (6/10/2025), menjadi ruang perjumpaan lintas iman yang hangat. Ratusan peserta dari berbagai kalangan pelajar, mahasiswa, aktivis, dan tokoh agama berkumpul dalam Seminar Nasional Moderasi Beragama bertema “Merawat Bumi dengan Spirit Moderasi Beragama: Harmoni antara Iman dan Lingkungan.”
Kegiatan yang diinisiasi Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Banyumas bekerja sama dengan Kementerian Agama Kabupaten Banyumas dan Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) ini menghadirkan tiga narasumber utama dengan latar belakang berbeda: Widodo Hermanto (aktivis lingkungan dan kader Pemuda Muhammadiyah), Drs. FA Agus Wahyudi, M.Si. (Dewan Pastoral Keuskupan Purwokerto), dan Dr. Elly Hasan Sadeli (Dekan FKIP UMP).
Acara dibuka dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh Azam Nuril Rezkia dan Din Khoerussyifa dari SMK Muhammadiyah 1 Purwokerto, diikuti menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars Muhammadiyah. Dalam sambutannya, Ketua PDPM Banyumas, Subhan P. Aji, S.IP., M.A., mengingatkan bahwa moderasi beragama harus membumi dalam tindakan sosial. “Kita perlu menghadirkan dakwah yang ramah bumi, bukan hanya ramah manusia,” katanya.
Sementara itu, Kepala Kementerian Agama Kabupaten Banyumas, Dr. H. Ibnu Asaddudin, S.Ag., M.Pd., menekankan pentingnya aksi nyata dalam menjaga keseimbangan ekologi. “Sudah saatnya Pemuda Muhammadiyah bukan hanya ndalil saja, tapi mengaplikasikan dalil itu untuk kemaslahatan umat,” ujarnya. Sebagai simbol komitmen ekologis, dilakukan penyerahan bibit pohon Salam oleh PDPM Banyumas kepada perwakilan organisasi pemuda keagamaan. Aksi sederhana itu menjadi pengingat bahwa kepedulian terhadap bumi adalah bahasa universal semua agama.
Narasumber pertama, Widodo Hermanto, membuka sesi diskusi dengan gagasan tentang “Sedekah Bumi: Upaya Menggembirakan Semesta.” Ia memperkenalkan konsep BATARA LESTARI singkatan dari Bawa, Tanam, Rawat, Alam Akan Lestari sebagai gerakan kecil dari masyarakat untuk menghidupkan kembali keseimbangan ekologis. “Sedekah bumi bukan sekadar ritual, tapi gerakan kultural untuk mengembalikan relasi manusia dengan alam,” ujarnya. Menurut Widodo, umat beragama perlu menjadikan menanam pohon sebagai tindakan spiritual, bukan seremonial.
Dari perspektif Katolik, Drs. FA Agus Wahyudi, M.Si. menegaskan bahwa moderasi beragama harus diwujudkan dalam semangat kemanusiaan dan solidaritas ekologis. Ia menjelaskan sembilan pilar moderasi dalam ajaran Gereja, di antaranya kebaikan bersama, anti kekerasan, dan penghormatan terhadap ciptaan. Agus menyinggung ensiklik Laudato Si’ dari Paus Fransiskus yang menyerukan pertobatan ekologis global sebuah kesadaran bahwa manusia bukan pusat semesta, melainkan bagian dari ciptaan. “Merawat bumi adalah bentuk doa paling sunyi yang bisa dilakukan oleh manusia beriman,” ujarnya. Ia mencontohkan langkah-langkah ekologis yang dijalankan komunitas Katolik di Keuskupan Purwokerto: mengurangi plastik, membawa tumbler, hingga menanam pohon.
Sesi terakhir diisi oleh Dr. Elly Hasan Sadeli, yang menyoroti hubungan antara pendidikan karakter dan kesadaran ekologis. Menurutnya, krisis lingkungan sejatinya berakar pada krisis karakter manusia. “Pendidikan bukan sekadar pewarisan pengetahuan, tapi pembentukan jiwa merdeka jiwa yang peduli pada sesama dan alam,” katanya. Dr. Elly menegaskan bahwa karakter bangsa Indonesia sejatinya gotong royong dan cinta tanah air. Nilai itu harus ditanamkan dalam sistem pendidikan untuk menumbuhkan tanggung jawab sosial dan ekologis.
Seminar turut dihadiri Assoc. Prof. Saefurrohman, Ph.D., mewakili Rektor UMP, yang menegaskan perlunya keseimbangan antara sains dan spiritualitas. “Kita butuh iman yang ilmiah dan ilmu yang beriman,” ujarnya. Acara ditutup dengan doa bersama dan refleksi yang dipandu moderator Ricky Giantoro. Para peserta meninggalkan aula dengan membawa pesan yang sama: bumi bukan sekadar ruang hidup, tetapi juga rumah iman yang harus dijaga bersama.
“Bumi bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu. Maka, merawatnya adalah bagian dari iman karena iman sejati selalu berakar pada cinta terhadap kehidupan.” (Faiz Fauzi)