YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw menjadi momentum penting bagi umat Islam. Hal ini sebagai ruang untuk meneguhkan cinta sekaligus meneladani ajaran dan akhlak Rasulullah.
“Dalam sejarah hidup beliau, kita mendapati sosok Nabi bukan hanya sebagai rasul pembawa wahyu, tetapi juga sebagai pribadi yang menghadirkan perdamaian, persaudaraan, dan persatuan di tengah masyarakat yang penuh konflik,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, Sabtu (6/9) di Yogyakarta.
Menurut Haedar, Rasulullah selalu menegakkan nilai-nilai perdamaian di atas pertimbangan ego pribadi maupun kepentingan kelompok. Dan ini melekat dalam denyut nadi perjalanan dakwah semasa hidupnya yang benar-benar menginspirasi banyak orang.
“Piagam Madinah menjadi bukti nyata, bagaimana beliau membangun tatanan sosial-politik yang adil dan damai. Nabi tidak membangun peradaban dengan permusuhan, melainkan dengan perjanjian, pengakuan hak, dan penghargaan terhadap keberagaman,” terangnya.
Seperti Perjanjian Hudaibiyah, merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang mengandung banyak hikmah. Pada pandangan pertama, isi perjanjian itu tampak merugikan kaum Muslimin. Nabi dan para sahabat yang berniat suci menunaikan umrah harus menahan diri dan kembali ke Madinah tanpa memasuki Makkah. Namun, Nabi menerimanya dengan penuh kebijaksanaan.
“Beliau lebih memilih jalan damai ketimbang mengikuti emosi sesaat dan situasi konflik. Kesabaran Nabi saat itu mengajarkan bahwa perdamaian bukanlah tanda kelemahan, melainkan strategi mulia yang membuka jalan kemenangan lebih besar. Perjanjian Hudaibiyah adalah bukti nyata bahwa manfaat terbesar lahir dari pilihan damai, bukan dari pertikaian,” tegas Haedar.
Peristiwa lain yang perlu menjadi perenungan dari teladan Nabi Muhammad yakni ketika masyarakat Quraisy berselisih tentang siapa yang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad pada tempatnya setelah renovasi Ka‘bah.
Perselisihan itu hampir menimbulkan pertumpahan darah antarsuku Arab yang merasa memiliki kehormatan lebih tinggi. Namun, dengan kebijaksanaan dan kearifan, Nabi Muhammad menawarkan solusi sederhana: batu suci itu diletakkan di atas bentangan kain, lalu setiap pemimpin suku bersama-sama mengangkatnya.
“Beliau sendiri yang akhirnya meletakkan Hajar Aswad di tempatnya. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana Rasulullah menjadi sosok penengah yang mampu meredam konflik, menghadirkan rasa keadilan, dan menyatukan hati banyak pihak,” ujarnya.
Nilai besar dari teladan Rasulullah tersebut, sambung Haedar, sangat relevan untuk kehidupan kita saat ini. Indonesia sebagai bangsa yang majemuk sering kali dihadapkan pada ketegangan politik, pertarungan kepentingan, dan godaan sektarianisme. “Dalam dinamika sosial dan politik kita, masih sering kita saksikan bagaimana perbedaan justru dipertajam menjadi alasan untuk saling merendahkan, bahkan memecah belah,” tegasnya.
Haedar berpesan agar para pemimpin bangsa, baik tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun pejabat publik, seharusnya bercermin pada keteladanan Nabi Muhammad. Rasulullah mengajarkan bahwa kepemimpinan bukanlah alat untuk meneguhkan kepentingan pribadi atau golongan, tetapi amanah untuk menghadirkan maslahat, keadilan, dan persatuan.
“Ketika pemimpin mengedepankan perdamaian, menumbuhkan kepercayaan, dan merangkul semua pihak, maka bangsa ini akan semakin kokoh,” tandasnya. (Cris)