JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Nama Muhadjir Effendy dikenal luas sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan serta menteri koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan. Bahkan kini ia memegang amanah sebagai penasihat presiden bidang haji di pemerintahan presiden Prabowo. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa saat belia, Muhadjir juga memiliki angan-angan menjadi tentara. Meski pada akhirnya tidak kesampaian, namun ide dan mimpinya tentang tentara dan TNI tertuang dalam bukunya berjudul "Profesionalisme Militer: Profesionalisasi TNI".
Adapun buku ini membahas bagaimana Tentara Nasional Indonesia (TNI) bertransformasi menuju institusi yang profesional, baik dari segi kompetensi teknis, kepemimpinan, maupun etika kemiliteran. Muhadjir mengulas bagaimana dinamika sosial, politik, dan sejarah Indonesia membentuk karakteristik unik profesionalisme TNI yang berbeda dari militer di negara lain.
Sejak awal kemerdekaan, profesionalisme TNI telah menjadi perdebatan. Buku ini menguraikan tiga elemen awal pembentuk TNI, yakni eks-Pembela Tanah Air (PETA), eks-KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger), dan satuan-satuan gerilya. Meskipun PETA dan KNIL memiliki visi profesionalisme yang berbeda, keduanya berperan penting dalam membangun fondasi militer Indonesia. Namun, selama pemerintahan Orde Baru, TNI mengadopsi peran ganda (dwifungsi), di mana mereka tidak hanya bertugas sebagai alat pertahanan negara, tetapi juga aktif dalam politik dan ekonomi.
Lebih lanjut, pria kelahiran Madiun itu menjelaskan dalam bukunya bahwa era reformasi 1998 membawa perubahan besar dalam tubuh TNI. Salah satunya mengembalikan militer ke fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara yang profesional dan netral secara politik. Salah satu momen penting adalah lahirnya Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang menegaskan bahwa TNI harus terlatih, terdidik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan tunduk pada supremasi sipil serta prinsip demokrasi.
Muhadjir Effendy menekankan bahwa profesionalisme TNI tidak hanya bergantung pada keterampilan teknis atau modernisasi alutsista, tetapi juga nilai-nilai moral, keprajuritan, dan kedisiplinan. Dalam buku ini, ia memperkenalkan Diagram Pentagonal Profesionalisme TNI, yang mencakup lima elemen utama. Di antaranya kemampuan, kepemimpinan, motivasi, kesempatan, dan knowledge (pengetahuan). Menurutnya, profesionalisasi TNI harus mencakup aspek-aspek ini agar tercipta militer yang tangguh, berintegritas, dan mampu menjalankan tugas pertahanan negara secara optimal.
Buku ini juga menyoroti tantangan yang dihadapi TNI dalam upaya profesionalisasi, seperti ketimpangan dalam sistem pendidikan militer, pengaruh politik, serta perubahan sosial yang memengaruhi persepsi masyarakat terhadap militer. Salah satu isu utama yang dibahas adalah bagaimana reformasi yang telah berjalan lebih dari dua dekade masih menghadapi hambatan dalam hal kontrol demokratis terhadap militer.
Selain itu, ia juga mengkritisi kebijakan yang sering kali inkonsisten, terutama terkait peran TNI dalam keamanan domestik. Meskipun TNI sudah tidak lagi memiliki hak politik dan bisnis, masih ada tantangan dalam memastikan bahwa mereka tetap fokus pada pertahanan negara dan tidak kembali terlibat dalam urusan sipil yang dapat mengganggu demokratisasi.
Secara keseluruhan, buku ini memberikan perspektif akademik yang mendalam tentang perjalanan TNI menuju profesionalisme. Dengan pendekatan historis dan teoretis, Muhadjir Effendy berhasil menggambarkan bagaimana TNI terus beradaptasi dengan tuntutan zaman. Buku ini menjadi referensi penting bagi akademisi, pengamat militer, serta siapa saja yang ingin memahami lebih dalam tentang dinamika hubungan sipil-militer di Indonesia. (diko)