Pendidikan Berkemajuan; Menuju Pendidikan Muhammadiyah yang Adaptif, Humanis, dan Relevan
Penulis: Dr. Hasbullah, M.Pd.I., Dosen Universitas Muhammadiyah Pringsewu, Wakil Ketua Majelis Dikdasmen PNF PWM Lampung
Selama puluhan tahun, dunia pendidikan kita terjebak dalam dikotomi yang kaku yaitu sekolah unggulan dan sekolah pinggiran. Keunggulan sering kali dikuantifikasi melalui megahnya gedung, mahalnya biaya masuk, serta deretan piala olimpiade sains yang dipajang di etalase lobi sekolah. Namun, jika kita mengamati fenomena sosiologis akhir-akhir ini, ada sesuatu yang sedang bergeser secara fundamental di benak masyarakat kita.
Apa yang kita saksikan hari ini bukanlah hilangnya dominasi sekolah-sekolah yang selama ini dianggap "mapan." Yang sesungguhnya terjadi adalah sebuah pergeseran paradigma dalam cara masyarakat memaknai apa itu sekolah yang berkualitas. Masyarakat kelas menengah baru, yang lebih terliterasi secara digital dan sadar akan kesehatan mental, mulai meninggalkan kriteria-kriteria lama. Mereka tidak lagi hanya mencari label "favorit" atau "unggulan," melainkan mencari ekosistem yang mampu menjawab kecemasan masa depan anak-anak mereka.
Bagi Muhammadiyah, pergeseran ini adalah sebuah peluang sekaligus tantangan tajdid (pembaruan). Jika kita hanya terpaku pada kejayaan masa lalu sebagai pionir pendidikan modern di Indonesia tanpa melakukan reorientasi makna keunggulan, maka kita berisiko kehilangan relevansi di hadapan zaman yang berlari kencang.
Dahulu, sekolah dianggap unggul jika mampu mencetak lulusan yang hafal rumus dan tembus ke perguruan tinggi negeri favorit. Kurikulumnya kaku, berorientasi pada hasil ujian, dan sering kali mengabaikan keunikan individu. Sekolah-sekolah ini mendominasi karena akses informasi yang terbatas membuat masyarakat percaya bahwa "ketat dan kaku" adalah sinonim dari "berkualitas."
Namun, di era disrupsi, rumus-rumus yang dihafalkan di kelas sering kali menjadi kedaluwarsa sebelum siswa tersebut lulus. IPK tinggi bagi mahasiswa atau label sekolah ternama tidak lagi menjadi jaminan tunggal dalam dunia kerja yang kini lebih menghargai kemampuan adaptasi, kolaborasi, dan kreativitas. Masyarakat mulai menyadari bahwa sekolah yang hanya mengejar angka-angka kognitif tanpa menyentuh aspek psikologis dan karakter sesungguhnya sedang mempersiapkan anak didik untuk menjadi "robot" yang akan segera digantikan oleh kecerdasan buatan AI (Artificial Intelligence).
Adaptivitas, Kelenturan sebagai Kekuatan
Garis besar pertama dari pergeseran makna ini adalah Adaptivitas. Sekolah yang unggul di masa depan bukan lagi sekolah yang paling "mapan" secara infrastruktur, melainkan sekolah yang paling lincah dalam merespons perubahan.
Dunia berubah dalam hitungan detik. Teknologi AI, perubahan iklim, hingga dinamika ekonomi global menuntut kurikulum yang bernapas kurikulum yang tidak kaku. Sekolah Muhammadiyah harus menjadi institusi yang adaptif. Adaptif berarti guru-gurunya tidak lagi merasa sebagai satu-satunya sumber ilmu, melainkan sebagai fasilitator yang membantu siswa menavigasi lautan informasi.
Sekolah yang adaptif mampu mengintegrasikan teknologi bukan sekadar sebagai alat (seperti mengganti papan tulis dengan proyektor), melainkan sebagai cara berpikir serta berperilaku. Mereka memberikan ruang bagi literasi digital, pengkodean (coding), namun tetap berpijak pada nilai-nilai profetik. Inilah esensi dari pendidikan berkemajuan. Pendikan yang dijalankan dengan tidak gagap teknologi, namun tidak kehilangan jati diri kemanusiaan.
Pergeseran kedua, yang mungkin paling mendasar, adalah kebutuhan akan pendidikan yang Humanis. Di tengah dunia yang semakin transaksional dan terfragmentasi, orang tua kini lebih menghargai sekolah yang memperlakukan anak mereka sebagai manusia seutuhnya, bukan sekadar angka dalam absensi atau statistik prestasi.
Pendidikan humanis lebih menekankan pada kesejahteraan psikologis (well-being) siswa. Keunggulan kini dimaknai sebagai kemampuan sekolah dalam menciptakan lingkungan yang aman secara emosional, di mana setiap anak diberi banyak ruang untuk bicara, merasa didengar, dihargai, dan dibantu untuk menemukan potensi dan kelebihan uniknya. Dalam konteks Muhammadiyah, ini adalah pengejawantahan dari nilai Ihsan.
Sekolah yang humanis tidak menyeragamkan bakat. Jika seorang anak lemah di matematika namun gemilang di bidang seni atau organisasi, sekolah tidak memberinya label "gagal." Justru, sekolah menjadi laboratorium persemaian bakat. Masyarakat kini lebih percaya pada sekolah yang mampu mendidik anak mereka menjadi pribadi yang beradab, memiliki empati sosial, dan memiliki kesehatan mental yang stabil, daripada sekolah yang "dingin" dan hanya mengejar ambisi akademik yang kompetitif secara destruktif.
Relevansi, Menjawab Tantangan Zaman
Ketiga adalah Relevansi. Banyak sekolah yang masih mengajarkan keterampilan abad ke-20 untuk tantangan abad ke-21. Inilah yang menyebabkan terjadinya mismatch antara dunia pendidikan dan realitas kehidupan. Setiap sekolah harus berani melakukan perubahan, yang radikal agar tidak tertinggal oleh tantangan zaman.
Harus dipahami oleh pimpinan sekolah hari ini, bahwa keunggulan masa kini diukur dari sejauh mana ilmu yang didapat di kelas dapat diterapkan untuk memecahkan masalah nyata (problem-solving). Sekolah yang relevan adalah sekolah yang membuka dinding-dinding kelasnya untuk berinteraksi dengan komunitas, industri, dan lingkungan sosial. Mereka mengajarkan anak cara berpikir kritis, cara berkomunikasi yang efektif, dan cara berkolaborasi dalam tim yang beragam.
Masyarakat hari ini bertanya, “Setelah lulus, anak saya mampu apa?” bukan sekadar “Anak saya lulus dari mana?”. Maka, sekolah dan guru Muhammadiyah harus mampu membuktikan bahwa nilai-nilai Islam yang diajarkan bukan sekadar hafalan teologis dan ritual ibadah saja, melainkan instrumen untuk menjadi bagian problem solver di tengah masyarakat. Dalam konsep Muhammadiyah inilah makna sejati dari Khairu Ummah.
Sebagai organisasi yang memiliki jaringan pendidikan terbesar di dunia, Muhammadiyah memiliki modal sosial yang luar biasa. Namun, kuantitas tidak boleh melenakan kita dari kejaran kualitas yang kini maknanya telah bergeser.
Kita harus berani melakukan audit internal terhadap sekolah-sekolah kita. Apakah sekolah kita masih terjebak pada romantisasi “Label Muhammadiyah” atau sudah benar-benar menjadi sekolah yang dipercaya karena adaptivitas dan humanismenya? Kepercayaan masyarakat tidak bisa dibeli dengan iklan atau gedung yang mentereng; kepercayaan tumbuh dari pengalaman otentik orang tua dan siswa terhadap proses pendidikan yang mereka jalani.
Ada beberapa langkah strategis yang bisa diambil oleh para pengelola pendidikan Muhammadiyah. Pertama. Redefinisasi Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Jangan hanya terpaku pada nilai akademik. Masukkan poin-poin seperti ketangguhan (resilience), kemandirian belajar, dan kepekaan sosial sebagai indikator utama kelulusan. Kedua. Transformasi Peran Guru. Guru Muhammadiyah harus menjadi pembelajar sepanjang hayat dan siap dengan segala bentuk perubahan. Sehingga semua program yang bertujuan untuk peningkatan kapasitas guru tidak boleh hanya bersifat administratif, tetapi harus menyentuh aspek pedagogi modern dan literasi psikologi anak.
Ketiga. Penguatan Budaya Sekolah (School Culture). Semua pimpinan sekolah harus membangun atmosfer sekolah yang inklusif dan menyenangkan. Sebisa mungkin menjadikan sekolah sebagai “rumah kedua” yang dirindukan oleh setiap murid, tempat di mana nilai-nilai Al-Ma'un dan Al-Asr dipraktikkan secara nyata melalui aksi sosial, kepedulian sesama, saling mengingatkan dan saling menguatkan.
Maka kita perlu merenungkan kembali bahwa pendidikan adalah investasi peradaban dunia. Dominasi sekolah unggulan lama mungkin memudar, namun kebutuhan akan pendidikan berkualitas tidak pernah hilang, ia hanya berganti rupa begitu juga dengan bentu tantangannya.
Sekolah yang akan memenangkan hati masyarakat di masa depan adalah sekolah yang mampu berdiri di atas dua kaki. Kaki pertama adalah nilai spiritual yang kokoh, dan kaki kedua adalah relevansi terhadap kebutuhan zaman. Siapa pun merknya, apa pun latar belakang organisasinya, jika ia mampu hadir sebagai institusi yang adaptif, humanis, dan relevan, maka dialah yang akan dipilih dan dipercaya.
Bagi Muhammadiyah, inilah saatnya kita membuktikan bahwa jargon “Pendidikan Berkemajuan” bukan sekadar slogan di papan nama sekolah, melainkan sebuah realitas yang dirasakan oleh setiap siswa yang masuk ke gerbang sekolah kita. Mari kita geser cara pandang kita, dari mengejar kemegahan fisik menuju penguatan esensi manusia. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan tentang mencetak lulusan yang hebat dan pintar di atas kertas, melainkan manusia yang cerdas dan bermanfaat bagi semesta alam.

