YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Suasana bulan suci Ramadhan semakin semarak di Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Pada kajian menjelang berbuka puasa yang ke-10, Senin (10/3), RDK UAD 1446 H menghadirkan Sartini Wardiwiyono, Ph.D., Ak., C.A., Ketua Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UAD, sebagai pemateri dengan tema “Pajak dan Zakat dalam Islam”.
Dalam pembukaan kajiannya, Sartini mengajak para jamaah untuk melihat bagaimana zakat dan pajak berperan dalam kehidupan masyarakat. “Apa yang terlintas di benak Bapak Ibu sekalian jika kita membahas tentang zakat dan pajak? Pasti kaitannya dengan harta, dengan kesejahteraan umat,” ujarnya.
Ia kemudian menggambarkan suasana masjid menjelang akhir Ramadhan, ketika para jamaah dengan penuh suka cita datang untuk membayar zakat fitrah dan zakat mal, sementara para takmir masjid dengan penuh semangat mendistribusikannya kepada yang berhak.
“Masjid-masjid menjadi makmur, masyarakat sekitar tersantuni, dan semuanya dilakukan dengan sukarela. Bahkan, tanpa iming-iming duniawi, para muzakki tetap bersemangat menunaikan kewajibannya. Ini karena mereka yakin bahwa zakat adalah bentuk penyucian harta, dan jiwa yang akan menjadi kunci keberkahan rezeki untuk satu tahun ke depan,” jelasnya.
Namun, ketika membahas pajak, ia mengajak para jamaah untuk merenungkan perbedaan persepsi masyarakat terhadap pajak dibandingkan dengan zakat. Ia menceritakan pengalamannya di lingkungan tempat tinggalnya, ketika kedatangan petugas pajak langsung menimbulkan berbagai spekulasi di kalangan warga.
“Tiba-tiba muncul kasak-kusuk, ‘Kenapa ya ada petugas pajak di sini? Siapa yang nunggak pajak?’ Kontras sekali dengan saat petugas takmir masjid datang menagih zakat. Kenapa bisa seperti itu?” tanyanya.
Sartini kemudian mengaitkan hal ini dengan berbagai kasus yang pernah mencuat, seperti gaya hidup mewah beberapa oknum pegawai pajak yang menjadi sorotan masyarakat.
“Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama sudah jelas menyatakan bahwa membayar pajak adalah kewajiban, sebagai bentuk kepatuhan kepada ulil amri. Tapi mengapa masyarakat masih memiliki ketidakpercayaan?” Lanjutnya.
Ia juga menyinggung kasus seorang pengusaha susu di Boyolali yang memilih menutup usahanya karena kesulitan membayar pajak yang dianggap memberatkan. Hal-hal seperti ini, menurutnya, turut mempengaruhi citra pajak di mata masyarakat.
Sebagai dosen Akuntansi, Sartini juga memberikan pesan kepada mahasiswa yang kelak akan menjadi bagian dari sistem perpajakan di Indonesia.
“Di pundak kalian, ada tugas berat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pajak. Pajak itu tetap penting agar negara bisa berjalan,” ujarnya.
“Pajak digunakan untuk membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintah dalam melayani masyarakat, berbeda dengan zakat yang tidak bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur seperti gedung, jalan, atau jembatan,” tambah Sartini.
Ia menekankan bahwa dana pembangunan infrastruktur negara umumnya berasal dari pajak, salah satu instrumen utama penerimaan negara.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pemerintah sebenarnya memiliki berbagai sumber penerimaan selain pajak, seperti pengelolaan sumber daya alam. Sebagai contoh, Brunei Darussalam yang memiliki cadangan minyak besar tidak menerapkan sistem perpajakan bagi warganya. Namun, perbandingan antara Indonesia dan Brunei kurang relevan mengingat luas wilayah dan kondisi ekonominya yang berbeda jauh.
Mengenai sejarah zakat dan pajak, Santini menjelaskan bahwa mayoritas ulama sepakat bahwa zakat disyariatkan pada tahun kedua setelah Rasulullah hijrah. Perintah zakat disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti dalam surat Al-Baqarah, At-Taubah, dan Al-An’am. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim juga menegaskan bahwa zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam.
Di sisi lain, pajak tidak memiliki dasar syariat secara langsung dalam Al-Qur’an maupun hadis, tetapi praktik pemungutan pajak sudah ada sejak masa Khalifah Umar bin Khattab. Sebelumnya, pada masa Rasulullah, pernah dilakukan pemungutan nawaib, yakni pengambilan harta dari orang kaya untuk kepentingan negara, terutama dalam pembiayaan perang.
Adapun jenis-jenis zakat meliputi zakat fitrah dan zakat harta. Zakat fitrah wajib dibayarkan menjelang Idul Fitri sebanyak 2,7 kg makanan pokok per orang. Sedangkan zakat harta mencakup zakat perniagaan, zakat pertanian, zakat ternak, dan zakat penghasilan. Zakat penghasilan, misalnya, menurut ketetapan Muhammadiyah dikenakan bagi mereka yang berpenghasilan di atas enam juta rupiah per bulan dengan tarif 2,5 persen.
Sartini menekankan pentingnya menyalurkan zakat melalui lembaga resmi seperti Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) agar lebih efektif dan efisien dalam pendistribusiannya.
Dalam Islam, selain zakat, terdapat beberapa jenis pajak yang diberlakukan, seperti jizyah (pajak perlindungan bagi non-Muslim), kharaj (pajak tanah), dan usyr (cukai perdagangan). Pajak-pajak ini telah diterapkan sejak zaman kekhalifahan untuk mendukung keberlangsungan negara.
Persamaan antara zakat dan pajak adalah keduanya bersifat mengikat atas harta dan memiliki sanksi bagi yang lalai membayarnya. Namun, perbedaannya terletak pada tujuan dan penggunaannya. Zakat secara spesifik digunakan untuk delapan golongan penerima (asnaf), sedangkan pajak digunakan untuk kepentingan umum. Oleh karena itu, mayoritas ulama sepakat bahwa pajak diperbolehkan dalam Islam selama memenuhi syarat keadilan, transparansi, dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Sartini juga mengungkapkan bahwa di Indonesia, pajak dikelola oleh Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak, sedangkan zakat berada di bawah Kementerian Agama. Dalam sistem perpajakan Indonesia, zakat yang telah dibayarkan dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak, sehingga dapat mengurangi beban pajak individu. Sementara itu, di Malaysia, zakat diakui sebagai tax rebate atau kredit pajak, sehingga jumlah pajak yang harus dibayar dapat dikurangi secara langsung dengan jumlah zakat yang telah disetorkan.
Ia menekankan pentingnya optimalisasi pajak untuk kepentingan umat dan perlunya pengawasan terhadap pengelolaannya agar tidak terjadi pemborosan. Dengan demikian, pajak dan zakat dapat berfungsi secara harmonis dalam mendukung kesejahteraan masyarakat. (Giti/m)