YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah Dr KH Tafsir, MAg mengatakan purifikasi sebagai hasil keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah, Muktamar ke-46 di Yogyakarta tahun 2010. Istilah purifikasi bermaksud untuk mencari dan memahami agama Islam secara murni yang terbebas dari cengkeraman takhayul, bid'ah, dan khurafat (TBC). Demikian disampaikan saat Pengajian Ramadan 1445 H Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta di SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta, Ahad (17/3).
Tafsir melanjutkan bahwa purifikasi kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah termaktub secara eksplisit di dalam dokumen-dokumen ideologi Muhammadiyah. Tetapi, Tafsir berpandangan purifikasi yang dilakukan Muhammadiyah memang tidak harus tekstualisasi, tetapi berada dalam situasi tertentu yaitu kontekstualisasi.
"Purifikasi yang dilakukan Muhammadiyah bukan purifikasi radikal, tetapi purifikasi kultural sesuai dengan keseimbangan kebenaran syariah dan kearifan lokal," katanya.
Dan yang pasti lagi, sambung Tafsir, pemahaman purifikasi yang ada selama ini telah menimbulkan dilema bagi ruang gerak Muhammadiyah di tengah dinamika sosial yang terjadi. Dilema antara Muhammadiyah yang ingin membangun faham Islam yang berkemajuan, membangun semangat tajdid dan ijtihad di satu pihak, dengan ingin menegakkan Islam yang asli dan murni tanpa tambahan dan perubahan dari manusia di pihak lain.
Maka, Tafsir mendorong agar perlu kiranya dikonstruksi rumusan-rumusan yang jelas terkait dengan konteks purifikasi tersebut. "Muhammadiyah perlu melakukan dekonstruksi terhadap pemahaman tentang purifikasi. Setidaknya membuat rumusan yang jelas, komprehensif, dan aplikatif tentang purifikasi. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat banyak hal yang paradoks dalam pemahaman dan pelaksanaan purifikasi, baik pada level konsep maupun implementasi," ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, Tafsir juga menjelaskan jika dengan purifikasi, Muhammadiyah sesungguhnya kembali kepada Al-Qur'an dan As-sunah yang selanjutnya dikenal istilah gerakan tajdid. Muhammadiyah berupaya menyelaraskan kondisi zaman yang terus mengalami transformasi. Dalam konteks kekinian, Tafsir menyoroti kecenderungan masyarakat yang menilai jika Muhammadiyah anti seni dan budaya. Padahal, sejak awal Muhammadiyah lekat dengan seni dan budaya.
"Muhammadiyah sangat mengapresiasi dengan kebudayaan. Muhammadiyah tidak akan menghapus budaya dari gerakan dakwahnya," ujarnya.
Sekalipun Muhammadiyah menyandarkan paham keagamaan dengan bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, sekali lagi ditegaskan Tafsir Muhammadiyah tetap mengapresiasi terhadap budaya, termasuk di dalamnya seni.
"Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam Muhammadiyah purifikasi budaya adalah rasionalisasi, desakralisasi, dan festivalisasi bukan penghilangan budaya (dekulturusisasi). Bahkan purifikasi tidak identik dengan tekstualisasi, tetapi lebih tepatnya dimaknai sebagai otentikasi," tandasnya. (Cris)