BALIKPAPAN, Suara Muhammadiyah - Setelah sebulan lamanya kita berpuasa Ramadhan, sekarang tibalah saatnya kita tumpahkan rasa senang dan rasa haru. Kita ungkapkan sepenuh hati rasa gembira dan rasa syahdu, sembari mengagungkan Nama Allah Azza wa Jalla.
Betapa harunya kita karena Allah Swt., telah menciptakan bulan Ramadan khusus untuk kita umatnya Nabi Muhammad Saw. Di dalamnya ada satu malam, yakni malam Lailatul Qadar, yang lebih utama daripada 1.000 bulan. Kita melakukan ibadah sunah juga dicatat pahalanya seperti mengerjakan ibadah fardhu.
Pengantar diatas menjadi awal pembukaan penyampaian Drs. H. Muhammad Jafron M.Si Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Timur dalam khutbah Idul Fitri 1445 Hijriyah, rabu 10 April 2024 di halaman masjid KHA. Dahlan yang diselenggarakan Pimpinan Cabang Muhammadiyah Balikpapan Timur.
Rasa haru timbul karena diberikan kesempatan langka untuk menghirup dan bernafas di bulan yang suci, sekalipun sepenuh hati kita mengakui, bahwa kita belum bisa manfaatkan waktu siang dan malam bulan Ramadan secara maksimal. Kita tetaplah harus mengharapkan puasa kita, qiyamul lail kita, bacaan Al-Qur’an kita, sedekah dan zakat kita, yang tak seberapa, dapat menebus dosa kita.
Muhammad Jafron juga menyampaikan pesan tentang kedekatan diri seorang hamba dengan Sang Maha Pencipta. Kehadiran dalam shalat Idul Fitri secara berjamaah merupakan munajat untuk mengetuk bilik-bilik rahmat-Nya.
Sebagaimana di diterangkan di dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 186, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.”
Khatib menekankan pula dalam ajaran Islam telah diatur bahwa menjalin hubungan baik “Hablum minan-naas” sama pentingnya dengan “Hablum minallah”.
Sebagai manusia yang tak luput dari salah dan lupa, baik kesalahan kita disengaja maupun tidak disengaja. Maka, momentum Idul Fitri menjadi ruang saling memperbaiki diri dengan bermaaf-maafan, baik sebagaimana perintah Allah SWT., dalam surat An-Nur ayat 22, “Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Dengan gamblang disampaikan pula contoh perilaku Ketika ada seorang wanita ahli ibadah, rajin shalat malam, gemar berpuasa, banyak bersedekah dan beramal, tapi lidahnya selalu membawa rasa sakit bagi tetangganya.
Rasulullah mengatakan, “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk ahli neraka.” Artinya, amal ibadah yang tidak berbanding lurus dengan perilaku sosial yang baik, ibadah tersebut akan kekurangan makna.
Di samping itu disampaikan pula satu hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasannya Nabi Muhammad SAW pernah ditanya oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ada seorang perempuan yang rajin qiyamullail di malam hari, rajin puasa di siang harinya, rajin mengerjakan kebaikan dan bersedekah, akan tetapi dirinya menyakiti tetangganya dengan tutur katanya?
”Rasulullah SAW menjawab, “Tidak ada kebaikan padanya dan dia termasuk penghuni neraka.
Kita semua tahu Allah itu Al-Tawwab (Maha Penerima Taubat). Kasih sayang-Nya mengalahkan murka-Nya. Rahmat-Nya jauh lebih luas dari azab-Nya. Selama seorang hamba memohon ampun kepadaNya, Allah akan mengampuninya.
Namun, manusia tidak seluas itu kasih sayangnya. Manusia tidak sedalam itu kewajarannya. Bisa dibilang manusia adalah mahluk yang paling susah meminta maaf dan memaafkan.
Karena itu, Rasulullah mengajari umatnya untuk menahan diri. Jangan mudah mengumbar kata, jangan gampang menyebar berita, jangan sering menghardik sesamanya.
Karena Rasulullah tahu, ruang maaf manusia terbatas, tidak seluas dan sedalam Tuhannya. Mendapatkan maaf manusia jauh lebih berat dan susah. Belum lagi jika kita tidak merasa bersalah, tapi orang lain memendam kesal kepada kita. Mengetahui diri kita salah saja, kita masih enggan meminta maaf, apalagi tak merasa bersalah sama sekali.
Hal ini berarti Allah menghendaki hamba-hambanya membangun dunia yang harmonis, menciptakan lingkungan yang sehat dari kebencian, membiasakan kepedulian, membudayakan sayang-menyayangi, mengembangkan “saling asah” dan “asuh”, serta hal-hal positif lainnya.
Khatib dalam penutup khutbahnya menyimpulkan secara prinsip dengan merayakan Idul Fitri kita bersama-sama diajarkan untuk kembali kepada jati diri manusia.
Manusia adalah makhluk yang sangat lemah, sehingga membutuhkan Allah untuk bersandar di mana saja dan kapan saja. Begitu Mulia-Nya Allah SWT memperlakukan kita, maka sewajarnya kita patuh dan taat beribadah kepada Allah.
Sebagai makhluk sosial, kita juga sangat butuh kerjasama dan bantuan sesama manusia, khususnya orang-orang terdekat kita.
Dengan berhari raya seharusnya menghadirkan kelapangan dada kita agar kita semua menjadi golongan orang-orang yang kembali fitri dan menjadi orang-orang yang hidupnya bahagia.