MALANG, Suara Muhammadiyah - Webinar dalam rangka International Communication Competition (ICC) 2024 menarik untuk disimak. Dua pembicara, Nasrullah dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Mahda Nurdiawan dari Concertrix Malaysia Sdn Bhd, membahas topik “Applying AI in the Communication Industry”, Rabu (13/11/2024). Diskusi yang diikuti dosen dan mahasiswa dari Indonesia, Malaysia dan Filipina ini dipandu moderator Rahmana Santoso dari UMM.
Dalam paparannya, Nasrullah mengungkapkan tantangan penggunaan Artificial Intelligent (AI) di dunia jurnalistik. Industri pers atau media massa menghadapi persaingan antar media konvensional dengan media sosial, sedangkan jurnalisnya menghadapi majunya AI.
Dikatakannya, media konvensional menghadapi menurunnya minat pembaca, sehingga iklan malas memasangnya. “Perilaku pengakses berita sudah berubah, tidak lagi lewat media massa tapi media sosial. Di sisi lain semua orang bisa jadi jurnalis, tidak harus professional, karena bisa memanfaatkan AI untuk bikin berita,” tutur ketua Prodi Ilmu Komunikasi UMM ini.
Akibatnya, lanjut Nasrullah, industri pers mengalami problematika. Di satu sisi pers masih harus diandalkan sebagai salah satu kekuatan demokrasi, tapi di sisi lain secara bisnis sudah sulit bekembang.
Profesi jurnalis juga menghadapi tantangan tak kalah berat ketika autojournalism mulai berkembang pesat memanfaatkan teknologi AI. Autojournalism atau jurnalisme otomatis mengacu pada penggunaan teknologi berbasis AI untuk menghasilkan artikel berita atau konten media lainnya dengan minimal atau tanpa campur tangan manusia.
“Termasuk menghasilkan artikel, mengkurasi berita, dan bahkan memberikan komentar atau analisis berdasarkan kumpulan big data. Saat ini sudah banyak digunaan dalam pelaporan berita seperti olahraga, keuangan, dan cuaca, dapat dengan cepat dianalisis dan diubah menjadi konten,” jelasnya.
Namun, Nasrullah mengingatkan integrasi AI ke dalam jurnalisme membawa tantangan etis yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan profesional media, regulator, dan publik. Tantangan-tantangan ini meliputi isu-isu objektivitas, tanggung jawab, dan transparansi.
“Mahasiswa harus bisa bersaing dengan AI, dengan berfikiri kritis dan lebih kreatif. Itu tidak bisa dilakukan oleh AI. AI tidak mengenal kontek dan nuansa. Makanya mahasiswa harus lebih sensitif dan menambah pengetahuannya,” saran Nasrullah.
Sementara itu, pembicara dari Malaysia, Mahda membagikan pemikirannya tentang "Menerapkan AI dalam Industri Moderasi Konten". Ia mengungkapkan peran AI dalam merampingkan dan meningkatkan proses dalam moderasi konten.
“Secara tradisional, sejak dulu industri moderasi konten mengandalkan pendekatan berurutan: mengidentifikasi masalah inti, menganalisis tren, mengukur data, mengimplementasikan produk, dan akhirnya, mengevaluasi layanan. Proses manual dan linier ini sering menuntut waktu dan sumber daya manusia yang signifikan. Saat ini proses itu jauh lebih cepat dibantu oleh AI,” kata Mahda.
Lewat AI, kata Mahda, alur kerja telah bergeser ke arah otomatisasi dan efisiensi. Pengembangan berbasis AI dimulai dengan menghasilkan kumpulan big data, yang kemudian digunakan untuk mengidentifikasi trend dan wawasan dengan lebih cepat.
Mahda juga berbagi bagaimana AI diterapkan secara khusus dalam industri moderasi konten (CoMo). AI sekarang memungkinkan perusahaan untuk membuat konten yang menarik dari konsep, mendeteksi dan mempersonalisasi konten untuk audiens target, mengoptimalkan algoritma untuk meningkatkan akurasi moderasi, dan mengklasifikasikan konten di berbagai platform media sosial.
Meski AI begitu kuat mempengaruhi cara kerja industri komunikasi, kedua narasumber sapakat penggunaan critical thinking tetap diperlukan. Di sesi tanya jawab, keduanya mengemukakan bahwa manusia yang membuat alat, maka jangan sampai diperalat.
“Sangat penting untuk tetap siap menghadapi kemajuan dalam AI tetapi kita harus ingat bahwa sentuhan manusia tidak tergantikan, jangan lupa untuk menggunakan pemikiran kritis dan analitis karena AI hanyalah pendukung kehidupan kita sehari-hari, itu bukan "aktor utama" dalam hidup kita,” pungkas Mahda.
ICC merupakan kegiatan tahunan berskala internasional. Komunikasi UMM menjadi mitra kegiatan ini sejak diselenggarakan pada tahun pertama, yakni 2022. Inisiator kegiatan ini adalah Universitas Binus, Jakarta. Sedangkan mitra kerjasamanya, selain UMM, ada juga kampus UiTM Melaka Malaysia, dan Universitas Santo Tomas Filipina. Mulai tahun lalu mitranya bertambah dengan UIN Sunan Kalijaga Surabaya. Tahun ini, sebuah kampus dari Filipina juga ikut bergabung yakni Father Saturnino Urios University.
Selain Webinar, ICC juga menyelenggarakan kompetisi mahasiswa dari kampus-kampus mitra. UMM sendiri mengirim sembilan delegasi mahasiswa untuk bergabung dengan tim dari kampus-kampus lain. Mereka akan menyusun dan mempresentasikan proposal PR strategic terkait dengan penggunaan AI untuk produktivitas. Kegiatan sudah berlangsung sejak minggu lalu dan akan berakhir pada Jumat (15/11/2024). Kegiatan ini juga melibatkan dosen Komunikasi UMM lain. Novin Farid Styowibowo terdaftar sebagai juri, sedangkan M Fuad Nasfian sebagai mentor.
“Kita berharap mahasiswa UMM mampu mempertahankan prestasinya seperti tahun-tahun lalu,” harap Sekretaris Prodi Komunikasi UMM, Isnani Dzuhrina. (nsr)