YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Di tengah krisis moral dan etika yang mengkhawatirkan di dunia pendidikan, Guru Besar Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof. Dr. Halim Purnomo, M.Pd.I menegaskan pentingnya membangun paradigma baru pendidikan yang berpijak pada nilai-nilai profetik. Pendidikan tidak cukup hanya berorientasi pada kecerdasan kognitif dan kemampuan teknis, tetapi juga harus memiliki etika, tanggung jawab moral, serta spiritualitas yang mencerahkan.
Dalam orasi ilmiahnya Rabu (15/10) di Gedung Ar Fachrudin A UMY, Prof. Halim menguraikan pendidikan profetik itu tujuannya bukan hanya mencetak peserta didik yang cerdas secara intelektual, tetapi juga membentuk pribadi yang kritis, adil, dan beradab. Adapun konsep pendidikan profetik mencakup tiga hal utama, yakni humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (iman kepada Allah SWT).
“Ketiga pilar ini sejalan dengan misi kenabian sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dan hal tersebut pun tertuang dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 21,” terang Prof. Halim.
Menurut Dosen Prodi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Studi Islam dan Peradaban (FSIP) UMY ini, humanisasi berarti pendidikan harus benar-benar memanusiakan manusia, menumbuhkan empati, kepekaan sosial, dan sikap saling menghargai. Sementara itu, liberasi dimaknai sebagai upaya pendidikan untuk membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial.
“Lebih dari itu, pendidikan pun tidak dapat dipisahkan dari iman dan spiritualitas yang juga disebut dengan transendensi. Pendidikan yang tidak berlandaskan nilai ketuhanan hanya akan melahirkan manusia yang cerdas tetapi kehilangan arah moral,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa nilai etis dan moral harus menjadi fondasi utama dalam pendidikan modern. Sebab nilai akademik tinggi tanpa moral dan tanggung jawab tidak berarti apa-apa. Dengan begitu pendidikan mampu melahirkan manusia yang berpikir kritis, beretika, dan menebar keadilan.
Terlebih tantangan era digital saat ini memunculkan fenomena yang disebut “Era Anomalistik”. Di mana dunia dihadapkan dengan perubahan yang sangat cepat, disrupsi teknologi (seperti AI), dan pergeseran nilai yang massif sehingga menciptakan banyak anomali atau penyimpangan dari norma-norma yang mapan. Dalam kondisi yang serba tidak terduga ini, peran pendidikan tidak cukup hanya mentransfer pengetahuan, tetapi harus fokus pada pembentukan karakter
Dalam pandangannya, guru memiliki peran sentral dalam mewujudkan pendidikan profetik. Guru bukan sekadar pengajar yang mentransfer pengetahuan, tetapi juga pembentuk jiwa dan penuntun moral. Prof. Halim bahkan menyebut guru sebagai “nabi-nabi kecil” yang memiliki tugas profetik untuk menyalakan cahaya akhlak dan kecerdasan hati di tengah kegelapan zaman.
“Ia harus menjadi teladan kejujuran, keberanian berpikir, dan keadilan. Tanpa keteladanan, semua teori pendidikan hanya akan menjadi slogan kosong. Pendidikan sejati harus menggagas kesadaran, bukan sekadar menanamkan aturan,” tambah Prof. Halim
Oleh sebab itu, Prof. Halim menilai pendidikan profetik merupakan solusi mendasar bagi pembaruan sistem pendidikan Indonesia yang selama ini terlalu fokus pada aspek kognitif dan mengabaikan pembentukan karakter. (NF)