YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Pergantian tahun 2023 tinggal menghitung hari. Sepanjang tahun 2023 telah banyak kasus hukum yang menyita perhatian publik. Mulai dari disahkannya Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara, kejahatan oleh aparat keamanan, kejahatan lingkungan, pelanggaran HAM, perjudian, hingga terorisme yang semakin memperlihatkan mundurnya tata kelola bidang hukum di negeri ini.
Menyikapi hal tersebut Pusat Kajian Hukum Pidana dan Kriminologi (PUSKAHPI) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FH UMY) menggelar Refleksi Hukum Akhir Tahun 2023 dengan tema “Runtuhnya Marwah Hukum di Negara Demokrasi”. Kegiatan ini berlangsung di ruang laboratorium FH UMY Gedung Ki Bagus Hadikusumo E1 lantai 2, Rabu (20/12).
Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum, Pakar Hukum Pidana dan Kriminologi UMY mengatakan bahwa Refleksi Hukum akhir tahun ini adalah acara tahunan yang sudah ada sejak tahun 2013. Menurutnya, kegiatan ini merupakan satu hal yang penting, karena menyangkut masalah hukum dan demokrasi yang semakin lama semakin perlu adanya perbaikan-perbaikan.
Dalam refleksi akhir tahun ini, setidaknya ada 8 catatan penting yang disoroti PUSKAHPI UMY. Pertama, menyangkut UU KUHP. Tahun 2023, menjadi awal disahkannya UU KUHP. Meskipun UU tersebut akan berlaku pada tahun 2026, namun dianggap penting karena belum adanya perubahan UU hukum acara pidana (UU No 8 Tahun 1981 tentang kitab UU Hukum Acara Pidana). Selain itu, mengenai pelaksanaan pidana (UU No, 22 Tahun 2022 tentang pemasyarakatan) juga diperlukan adanya kajian mendalam.
“Ini baru diubah memang. Tapi meskipun sudah disesuaikan dengan perubahan kitab UU hukum pidana, tapi menurut hemat saya tetap perlu adanya kajian mendalam apakah ekuivalen dengan perubahan yang ada, maka ini menjadi penting untuk dilakukan perubahan,” ucapnya.
Kedua, berkaitan dengan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang menempatkan ketua KPK dan mantan wakil Menteri Hukum dan HAM, menyusul dua Hakim Agung, mantan Menteri Kominfo, dan mantan Menteri Pertanian. Dimana, penetapan ini menambah panjang deretan para pejabat negara dalam kasus pidana korupsi terutama di era kepemiminan Presiden Joko Widodo.
Menurut Trisno, untuk pertama kalinya sejak KPK dibentuk terdapat suatu perkara korupsi yang dilakukan oleh pimpinan tinggi dan kasus ini terjadi justru pada era setelah pembaruan UU KPK di tahun 2019. Sehingga, pembaharuan UU ini harus segera dilakukan ulang untuk memperkuat KPK.
“Kita tidak membayangkan bahwa upaya-upaya untuk memperbaiki KPK sangat jauh dari harapan, dulu didengung-dengungkan oleh DPR bahwa upaya pembaharuan ini agar korupsi itu ditangani sejak tingkat awal yaitu pencegahan. Ternyata malah sangat marak, kalau di jumlahkan secara keseluruhan, periode pak jokowi ini memecahkan rekornya pak SBY,” ungkapnya.
Ketiga, kejahatan yang dilakukan oleh aparat keamanan, baik militer maupun kepolisian pada tahun 2023. Hal ini menunjukkan adanya ketidaktaatan hukum yang mestinya tidak dilakukan oleh mereka yang dididik untuk menaati peraturan hukum dan menegakkan aturan hukum. Sehingga dalam menyikapi hal ini PUSKAHPI FH UMY memandang kitab UU hukum pidana yang akan berlaku di 2026 perlu memberikan sanksi seberat-beratnya.
“Kita tahu ada Paspampres yang dianggap melakukan tindakan pidana pada warga Aceh. Belum lagi persoalan yang lain, ada tabrak lari, jenazahnya dibuang, dilakukan oleh anggota tentara. Kemudian ada terkait kasasi yang dimintakan oleh Sambo, sebagai salah satu petinggi yang melakukan tindak pidana, dan itu dikabulkan oleh MA. Karena itu kitab UU hukum pidana yang akan berlaku di 2026 perlu memberikan sanksi seberat-beratnya terhadap kasus-kasus semacam ini,” imbuhnya.
Keempat, mengenai kejahatan terhadap lingkungan dan kriminalisasi terhadap pembela lingkungan. Trisno melihat Indonesia masih jauh dari harapan. Upaya perlindungan lingkungan dan menjaga kawasan konservasi yang dilindungi, kalah oleh perilaku melawan hukum berupa pertambangan illegal yang justru didorong oleh pemerintah sejak 2022 dengan alasan perpajakan. Namun, pemerintah tidak membuat cetak biru bagaimana untuk penanganan kerusakan lingkungannya.
“Indonesia ini selalu dibilang paru-paru dunia, tapi paru-paru dunia yang sakit-sakitan. Jadi repot kalau tidak kita dukung agar perlindungan lingkungan itu terjadi. Banyak kasus tentang penambangan yang tidak menunjukkan arah bagaimana melakukan pengelolaan lingkungan itu dengan baik,” ujarnya.
Catatan penting lainnya adalah masih belum dilindunginya para pembela hukum lingkungan sehingga dengan mudah menjadi pesakitan oleh penegak hukum pidana. Kasus Fatia dan Haris Ashar maupun Budi Pego di Banyuwangi adalah contoh terkait kebijakan ini meski telah mendapatkan surat perlindungan dari Komnas HAM. Menurut Trisno, pembelaan dari Komnas HAM tersebut masih jauh dari apa yang ada.
Kelima, berkenaan dengan pelanggara HAM. Trisno mengatakan bahwa memang ada persoalan besar yang bisa diselesaikan tetapi harus dilanjutkan dengan permintaan maaf dari pelaku.
“Sebenarnya dulu kita punya UU KKR, sayangnya dibatalkan oleh MK. Maka kami melihat perlu ada tindak lanjut. Ada permhonan maaf. Misalnya yang dilakukan oleh mantan wakil presiden, Tri Sutrisno, pada kasus Tanjung Priok, ia menyampaikan permohonan maaf, memberikan ganti rugi. Bagi saya itu adalah hal yang menunjukkan keseriusan dalam menyelesaikan pelanggaran HAM dan itu harus disusun dengan baik,” jelasnya.
Keenam, menyangkut Perjudian. Terutama judi online yang menjadi polemik besar yang mesti ditindak oleh penegak hukum. Mirisnya, ada ususlan untuk melegalkan judi online oleh menteri karena pajaknya yang cukup besar. Padahal kasus judi online telah membawa dampak kecanduan yang berakibat buruk. Hal ini menunjukkan bahwa Kominfo telah gagal total dalam mengatasi persoalan judi online.
“Ini perlu dipertimbangkan karena banyak sekali korbannya. Judi itu kan pelakunya korban sebenarnya, tapi dia korban atas perbuatannya sendiri melakukan perjudian, sampai berhutang, pinjol, melakukan penggelapan,” ungkapnya.
Ketujuh, berhubungan dengan kejahatan terorisme yang masih menjadi persoalan. Apalagi, muncul peringatan akan adanya aksi terorisme akibat dukungan terhadap warga Palestina oleh Kepala Kepolisian RI pada Apel kepala satuan wilayah Polri di JAKARTA 1 November 2023 lalu. Tentu kewaspadaan diperlukan namun menyampaikan informasi kepada publik harus dipertimbangkan.
“Menurut hemat saya itu harusnya internal kepolisian tidak sampai kepada public,” tuturnya.
Selanjutnya, PUSKAHPI FH UMY, sebagai lembaga yang berdomisili di Yogyakarta, memandang perlu untuk memberikan beberapa catatan terkait 3 kasus yang ada di Yogyakarta. Pertama tentang pelanggaran pemilu. Trisno memandang, pemilu ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh di dalam penegakan hukum pidananya.
“Berapa banyak pelanggaran yang sebenarnya sudah kelihatan dengan kasat mata dengan adanya pemasangan tanda peraga di fasilitas publik, misalnya di tiang telpon, tiang listrik, di jembatan, dan ini terus berulang. Ini harus ada penegakan hukumnya,” tandasnya.
Kemudian ia pun mengingatkan, jangan sampai terulang lagi kasus meninggalnya hampir 500 anggota KPPS. Jika hal ini terjadi lagi, maka harus ada pertanggung jawaban pidana.
“Ini perlu kami ingatkan, karena ini sudah pernah kami evaluasi. Harapannya ini tidak menjadi kelelahan yang besar karena selalu dikatakan bahwa ini adalah hanya kelelahan, padahal ini bukan karena kelelahan. Kalau kelelahan itu besar angkanya, menurut kami itu sudah kejahatan,” tegasnya.
“Meskipun sudah ada upaya untuk mengatasinya dengan baik, tetapi ada juga dorongan dari masyarakat untuk mengkaji kasus ini, sehingga harus ada upaya penangan yang sebaik-baiknya,” pungkasnya. (Mut)