YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr KH Haedar Nashir, MSi menyebut relasi antara keislaman-kebangsaan memiliki sifat mujmal (umum). Merujuk QS al-Hujurat [49]: 13, di mana manusia memiliki keragaman latar belakang, baik agama, suku bangsa, ras, maupun golongan. Redaksi ayat ini, menjadi titik temu persatuan yang sangat kohesif dalam menemukan sedimentasi nilai-nilai kehidupan yang esensial.
“Dalam konteks relasi, di mana manusia dalam keragaman, orientasi, dan latar belakang jatuhnya satu-kesatuan untuk terus saling mengenal dalam makna yang substantif, tidak sekadar mengenal secara lahiriah,” ujarnya dalam Kuliah Umum Keislaman dan Kebangsaan di Auditorium Lantai 4 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Kamis (7/9).
Di sisi lain, pada konteks relasi antarumat dengan segala keragamannya oleh agama diajarkan untuk bisa toleran terhadap sesama. QS al-Maidah [5]: 2, misalnya merepresentasikan pantulan ajaran toleransi khususnya dalam konteks ta’awun dan kerja sama kepada sesama umat. Tidak boleh saling mendiskriminasikan hatta terhadap yang berbeda keyakinan dalam beragama.
“Ini relasional yang sangat luar biasa dari Islam,” tegasnya.
Penempatan ajaran ini memiliki relasi kuat dalam bingkai kehidupan keumatan dan kebangsaan. Di mana manusia hadir sebagai umat terbaik (khayra ummah), umat tengahan (ummatan wasatha). Yakni reaktualisasinya dengan menyemai kemaslahatan untuk kehidupan yang lebih baik kini maupun di masa mendatang.
“Nilai-nilai dasar Islam itu sejatinya telah memberikan kerangka dasar yang penting, tetapi bersifat umum dan bagaimana setiap muslim itu dia hidup dalam kesamaan maupun keragaman berbasis pada nilai-nilai adil, amanah, ta’aruf, tasamuh, tawasuth, dan berbagai nilai lainnya. Ini menjadi kerangka nilai,” jelasnya.
Guru Besar Sosiologi UMY ini menyebut kesamaan dan keragaman memiliki dialektika dan dinamika. Di sini pentingnya peletakan ijtihad dalam pandangan keislaman mengenai kehidupan yang bersifat muamalah-dunyawiyah seperti relasi dan aspek ekomomi, politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan aspek keduniawian lainnya.
“Muamalah-dunyawiyah termasuk dalam politik berbangsa dan bernegara sepenuhnya adalah wilayah ijtihad. Bahkan sistem politik Islam sebenarnya sepenuhnya wilayah ijtihad,” ucapnya.
Karena itu tidak dapat dinafikan dunia Islam sangat beragam sistem politiknya, memang dikarenakan berada dalam wilayah ijtihad. Al-Qur’an dan hadis tidak memastikan sebuah sistem yang tunggal. Buktinya di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya ada yang memakai sistem malakah (kerajaan), emirat (keamiran), sulthaniyyah (kesultanan), jumhuriyyah (repbulik), dan sebagainya.
Dalam tata kelola politik, ketatanegaraan, dan pemerintahan di Indonesia, para tokoh Islam dari seluruh aliran dan golongan telah berkonsensus menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang tidak dapat diubah lagi. Sementara, agama tetap hidup dan dijamin oleh konstitusi.
“Pancasila sejalan dengan Islam, tentu bagi agama lain juga sejalan dengan agama lain. Dan umat Islam sangat berkontribusi untuk berkompromi lahirnya Pancasila. Komprominya tidak sesuatu yang hilang, karena dari syariat ke akidah, sementara soal syariat menjadi hak setiap umat beragama untuk menjalankannya dan dijamin dalam Pasal 29. Jadi tidak ada yang kehilangan dalam kompromi, tetapi dinamika politik memerlukan sikap arif dan musyawarah,” jelasnya. (Cris)