BANDA ACEH, Suara Muhammadiyah - Revitalisasi sekolah di Aceh menjadi sorotan publik pada tahun 2025 karena adanya temuan dugaan pungutan liar (pungli) dan kekhawatiran bahwa proyek tersebut akan kembali mangkrak. Sejumlah pihak, termasuk tokoh masyarakat dan aktivis, menekankan pentingnya pengawasan agar anggaran yang besar tidak disalahgunakan dan proyek dapat selesai tepat waktu. Dalam wawancara eksklusif dengan Dr. H. Iskandar Hasibuan, M. Pd., Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh, terungkap bahwa akar masalah proyek mangkrak bukan sekadar dana, tetapi terletak pada sistem teknis dan manajemen mutu yang tidak terintegrasi.
Menurut Dr. Iskandar Hasibuan, kepastian bahwa proyek tidak akan mangkrak tidak boleh menjadi sekadar janji politik, melainkan harus berupa komitmen teknis yang terukur. Beliau menyampaikan perlunya tiga pilar utama yang harus berjalan bersamaan yaitu: “Desain Adaptif dan Tahan Gempa; Setiap bangunan harus melalui soil investigation sebelum desain dibuat. Kita tidak boleh lagi membangun sekolah dengan desain seragam untuk seluruh Aceh. Sekolah di Lhokseumawe tentu berbeda dengan di Simeulue. SNI 1726:2019 sudah mengatur ketahanan gempa; tinggal bagaimana kita disiplin menerapkannya. Pengawasan Mutu Tiga Lapis; Mulai dari self-check oleh kontraktor, supervision check mingguan, hingga independent audit bulanan. Jika sistem ini dijalankan konsisten, saya yakin tidak akan ada proyek yang mangkrak atau kualitasnya menurun. Sistem Pemeliharaan Pascakonstruksi; pemeliharaan berkala. Banyak yang lupa bahwa bangunan sekolah tidak selesai setelah diresmikan. Harus ada jadwal inspeksi setiap enam bulan—mulai dari atap, dinding, hingga pondasi. Itu bagian dari sistem manajemen siklus hidup bangunan (lifecycle maintenance),” ungkapnya.
Dr. Iskandar juga menyoroti masalah birokrasi dan koordinasi yang lemah sebagai penyebab proyek timpang. “Struktur bisa kuat, tetapi sistem bisa rapuh. Jika desain dan dokumen lelang disiapkan tergesa-gesa, maka konstruksi pun berjalan tanpa arah. Solusinya sederhana tetapi tegas: Detail Engineering Design (DED) dan RAB harus tuntas sebelum tahun anggaran berjalan. Jangan lagi “jalan dulu, gambar belakangan.” Selain itu, koordinasi antara Dinas Pendidikan dan Dinas PUPR harus diperjelas. Dinas Pendidikan memahami kebutuhan fungsional sekolah, sementara PUPR memahami aspek struktur dan mutu material. Jika dua entitas ini tidak duduk bersama sejak awal, proyek pasti timpang: bangunan mungkin selesai, tetapi tidak sesuai kebutuhan pengguna”, Ungkapnya.
Dalam upaya mengangkat program ini dari sekadar proyek regional menjadi model pembangunan pendidikan yang berkelanjutan dan akuntabel di mata nasional, Dr. Iskandar Hasibuan mengajukan serangkaian langkah praktis. Beliau meyakini bahwa kegagalan di masa lalu dapat diubah menjadi momentum pembelajaran jika diterapkan disiplin teknis dan manajemen yang modern. Empat rekomendasi praktis ini dirancang untuk memastikan bahwa setiap tahap revitalisasi—mulai dari perencanaan hingga pemeliharaan—dilakukan dengan tanggung jawab profesional dan orientasi hasil jangka panjang.
Oleh karena itu, Dr. Iskandar menekankan bahwa visi "tidak lagi mangkrak" harus diterjemahkan menjadi aksi konkret yang berbasis ilmu dan data. Ini memerlukan perubahan fundamental dalam pola kerja—dari yang bersifat reaktif dan seragam menjadi adaptif, terintegrasi, dan transparan. Untuk mencapai standar mutu tinggi yang dapat direplikasi di provinsi lain, Dr. Iskandar merumuskan empat rekomendasi kunci.
Empat rekomendasi praktis ini dirancang untuk memastikan bahwa setiap tahap revitalisasi mulai dari perencanaan hingga pemeliharaan—dilakukan dengan tanggung jawab profesional dan orientasi hasil jangka panjang. Pertama, ia menyoroti betapa pentingnya memulai dari fakta, bukan dari asumsi, dengan melakukan pemeriksaan teknis yang menyeluruh terhadap sekolah yang sudah ada termasuk pengujian tanah, pengujian beton, dan pengujian struktur—sebagai dasar untuk membuat keputusan revitalisasi. Kedua, disarankan untuk menggunakan teknologi yang sederhana dan efisien seperti versi ringan dari Building Information Modeling (BIM) untuk memantau kemajuan dan kualitas pekerjaan secara visual. Ketiga, masyarakat di sekitar sekolah harus dilibatkan sebagai pengawas sosial sehingga mereka bisa melaporkan kondisi bangunan melalui aplikasi berbasis foto, yang juga berfungsi sebagai alat transparansi dan meningkatkan rasa memiliki. Terakhir, penyediaan dana untuk pemeliharaan sangat penting, di mana sebaiknya tiga persen dari total biaya proyek dialokasikan untuk perawatan di tahun pertama, karena "bangunan tanpa rencana perawatan seperti tubuh tanpa kekebalan. "
Menanggapi pertanyaan mengenai apakah prinsip-prinsip itu sudah terbukti efektif, Dr. Iskandar Muda Hasibuan dengan penuh keyakinan menyebutkan contoh yang menarik di Aceh Besar. Sekolah-sekolah yang dibangun di area ini menerapkan desain modular yang berlandaskan karakteristik tanah setempat dan secara konsisten melibatkan universitas sebagai pengawas teknis. Hasilnya sangat memuaskan: bangunan tersebut menjadi lebih tahan lama, strukturnya kokoh, ventilasi alami berfungsi dengan baik, dan bahkan biaya pemeliharaan dilaporkan mengalami penurunan hingga 40 persen. "Ini menunjukkan bahwa ketika ilmu pengetahuan dan manajemen berjalan beriringan, hasilnya bisa terlihat," ujarnya, menunjukkan bahwa keberhasilan proyek revitalisasi bukanlah sekadar angan-angan, melainkan sebuah pencapaian yang mungkin dicapai.
Menutup sesi wawancara, Dr. Iskandar Muda Hasibuan memberikan pesan yang menginspirasi dan tegas kepada semua pihak yang terlibat di lapangan, mulai dari kontraktor, konsultan, hingga para pengawas. Ia mengingatkan bahwa "revitalisasi sekolah bukan sekadar proyek fisik, melainkan proyek kemanusiaan. "
"Anak-anak Aceh akan belajar di dalam bangunan yang Anda kerjakan saat ini. Jika tiang bangunan Anda tidak lurus, masa depan mereka pun akan terpengaruh," jelasnya. Oleh karena itu, ia mengingatkan agar pelaksanaan pekerjaan tidak hanya fokus pada kecepatan, tetapi juga pada kualitas.
Ia menegaskan kepada pemerintah bahwa untuk memastikan proyek tidak terhenti, setiap tahap pembangunan harus didasarkan pada ilmu, data, dan tanggung jawab profesional. Tujuannya bukan sekadar menyelesaikan bangunan, tetapi juga untuk menjadikannya tahan lama, aman, dan membanggakan, yang merupakan makna sebenarnya dari pembangunan berkelanjutan. Pesan ini diharapkan menjadi semangat baru bagi pembangunan pendidikan di Aceh, Ungkapnya.
(Agusnaidi B/Riz/Ha)