YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X mengapresiasi atas Anugerah Hamengkubuwono IX dari Universitas Gajah Mada (UGM). Menurutnya, ini telah telah mentradisi dalam setiap peringatan Dies Natalis UGM.
“Juga memperoleh tempat terhormat di kalangan akademisi dan masyarakat,” katanya saat malam Orasi Penerimaan Anugerah Hamengkubuwono IX di Bangsal Srimanganti Kompleks Keraton Yogyakarta, Kamis (19/12).
Sultan mengungkapkan, tokoh bangsa yang menerima kali ini adalah Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam perjalanan panjang, Sultan mengungkapkan Muhammadiyah telah melekat di dalam sukma Haedar.
“Dan menjelma sebagai sosok pemimpin, yang tak sekadar hadir di panggung sejarah, tetapi memahat selaksa makna di dalamnya,” ungkapnya.
Mengulik sejarah, Sultan mengatakan bahwa Haedar Nashir terpilih saat Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar, Sulawesi Selatan tahun 2015. Haedar resmi menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah selama periode 2015-2020.
“Pemilihan ini bukan sekadar hasil dinamika elektoral, melainkan pengakuan terhadap kepemimpinan yang berpijak pada kesederhanaan, keluasan ilmu, dan visi kemajuan umat,” ujarnya.
Kepemimpinan Haedar berlanjut saat terpilih kembali dalam ajang akbar Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Surakarta, Jawa Tengah tahun 2022. Haedar didapuk memimpin organisasi Islam modern terbesar di dunia itu untuk periode 2022-2027. Yang ini diharapkan oleh Sultan mampu membawa cita-cita Muhammadiyah yang Unggul-Berkemajuan atau “Centre of Excellence”.
“Jelas kiranya, bagi sosok Bapak Haedar Nashir, paradigma Islam yang “rahmatan lil alamin” dan role model “Centre of Excellence” bukanlah sebatas gagasan kosong, melainkan sebuah laku hidup Muhammadiyah di pentas nasional dan global. Visi yang melampaui sekadar pembangunan institusi, telah melahirkan tonggak-tonggak peradaban,” urainya.
Sekelumit contohnya, seperti Markaz Dakwah Muhammadiyah di Kairo, Universiti Muhammadiyah Malaysia (UMAM), dan Muhammadiyah Australia College (MAC) di Melbourne. Menurutnya, karya ini bukan semata soal pembangunan fisik atau perluasan jaringan, melainkan usaha membangun peradaban berlandaskan nilai-nilai Islam “wasathiyah” – moderat, inklusif, dan berkemajuan.
“Bapak Haedar Nashir, dalam kepemimpinannya, mencerminkan sejatinya filosofi Muhammadiyah: berkemajuan, membangun umat, dan menebar manfaat bagi semesta. Apa yang diperjuangkan itu, menyiratkan sebuah nilai moral yang luhur, “Smara-Bhumi Adi-Manggala” – tekad juang yang abadi, melintasi batas waktu dan ruang, untuk menjadi pemersatu di tengah perbedaan kepentingan dan keragaman,” sebutnya. (Cris)