JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menilai tema yang dipakai dalam Konferensi Mufasir Muhammadiyah jilid ke-II kali ini cukup strategis, yakni tentang bagaimana mewujudkan Tafsir At-Tanwir Muhammadiyah sebagai landasan pemikiran tajdid yang responsif dan dinamis untuk memajukan Indonesia dan mencerahkan semesta.
“Saya menyampaikan selamat atas Konferensi Mufasir Muhammadiyah yang kedua ini, dan mohon maaf belum bisa hadir secara langsung di Uhamka,” ujar Haedar.
Menurutnya, konferensi ini sangat penting dan strategis untuk memobilisasi para mufasir Muhammadiyah dalam rangka memperkaya khazanah Muhammadiyah di bidang penafsiran ayat suci Al-Qur’an. Dengan bekal berbagai keahlian di bidang-bidang tertentu dan melalui disiplin ilmunya masing-masing, Haedar berharap para mufasir Muhammadiyah dapat terus mengembangkan tafsir At-Tanwir.
Hal ini menurut Haedar menjadi salah satu program strategis Muhammadiyah, khususnya bagi Majelis Tarjih dan Tabligh Muhammadiyah.
Haedar menambahkan, tafsir At-Tanwir yang telah diterbitkan sebanyak dua jilid itu diharapkan dapat terus bertambah, hingga sampai menyelesaikan 30 juz Al-Qur’an.
Kehadiran para mufasir dinilainya dapat mengoptimalkan peran Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam menghasilkan karya penafsiran yang berkualitas, sebagai produk kolektif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara keilmuan maupun hukum syari.
Menurutnya, melalui konferensi ini, ada dua agenda penting Persyarikatan yang perlu untuk menjadi referensi bagi alam pikiran, dan kemudian menjadi kajian yang berkelanjutan. Pertama, bagaimana Tafsir At-Tanwir betul-betul menjadi landasan pemikiran tajdid Muhammadiyah. Tajdid yang bersifat responsive dan dinamis.
Kehidupan saat ini, dengan ekosistem global yang bergerak sedemikian rupa, mengalami proses liberalisasi politik, ekonomi, budaya, hingga keagamaan, kehadiran Tafsir At-Tanwir harus betul-betul mampu menjadi pijakan bagi tajdid Muhammadiyah yang responsive dan dinamis.
“Saya percaya banyak ahli di Tarjid dan Persyarikatan secara keseluruhan, banyak sosok dan pemikir yang mampu menterjemahkan tajdid (pembaharuan) dalam konteks kekinian,” ungkap Haedar saad membuka Konferensi Mufasir Muhammadiyah secara daring (13/12).
Muhammadiyah memiliki tradisi besar dalam bidang tajdid, yang mana hal ini telah dipelopori oleh KH Ahmad Dahlan dalam mewujudkan Islam berkemajuan. Menurutnya, kerangka besar ini perlu terus diimplementasikan oleh para mufasir Muhammadiyah.
“Kita harus membuktikannya dalam merespon setiap perkembangan,” tegasnya.
Kedua, merumuskan tafsir sebagai landasan tajdid dan dakwah. Upaya ini memiliki konteks yang melekat untuk memajukan kehidupan umat dan bangsa. (diko)