PURWOKERTO, Suara Muhammadiyah – Meminjam statement sebelumnya, bahwa di Indonesia, perguruan tinggi selalu diposisikan sebagai menara gading. Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Fauzan pun mendorong institusi kampus tak hanya menjadi menara gading, namun juga merakyat. Artinya, segala produk akademik dan sosial yang dihasilkan oleh kampus dapat berdampak langsung kepada masyarakat. Dengan cara ini kampus sebagai pilar utama dalam menopang peradaban bangsa dapat berjalan secara maksimal. Hal ini ia sampaikan dalam pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Jebul Suroso, Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP).
Senada dengan hal tersebut, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam amanatnya menyampaikan, bertambahnya jumlah guru besar di sebuah perguruan tinggi diharapkan dapat sebanding dengan dampak yang ditimbulkannya kepada masyarakat. Berdampak signifikan pada peningkatan kualitas, keunggulan, maupun peran strategis SDM kampus di tengah masyarakat.
“Seiring dengan bertambahnya gelar akademik (doktor) dan kepangkatan akademik (profesor) itu harus berdampak signifikan kepada keunggulan yang kualitatif,” ujarnya.
Dalam hal ini ia pun menghimbau seluruh Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah untuk tidak ikut-ikutan memberikan gelar profesor kehormatan kepada para politikus. Bukan tanpa alasan, hal ini ditegaskan Haedar untuk menjaga marwah kampus sebagai benteng moral dan etik. Bahwa gelar profesor yang diberikan kepada seseorang tidak bertujuan untuk gagah-gagahan. Namun gelar itu sejatinya melekat dengan profesi dan institusi tempat ia mengabdikan diri.
“Jangan ikut-ikutan kasih gelar profesor kehormatan. Karena profesor itu melekat dengan profesi dan institusinya,” tegasnya.
Hingga saat ini, Muhammadiyah sudah memiliki 20 kampus yang memiliki Fakultas kedokteran, dan secara otomatis terakreditasi unggul. Keunggulan secara institusi ini menurutnya harus berbanding lurus dengan keunggulan kualitatif dalam peningkatan catur darma perguruan tinggi, sekaligus yang tak kalah penting adalah peran mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun peradaban.
Berdasarkan data, belum ada kampus Indonesia yang masuk dalam 200 besar World University Rankings. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Dalam QS Warld University Rankings 2025, hanya Univeritas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang masuk dalam top 500 dunia, sementara Universitas Gadjah Mada dan Institut Pertanian Bogor (IPB) berada di kisaran 600-800.
Sebaliknya, Singapura memiliki National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU) yang konsisten berada di 20 besar dunia, sementara Malaysia memiliki Universiti Malaya (UM) yang bertengger di top 70 dan Universiti Putra Malaysia di top 150. Thailad juga unggul dengan Chulalongkorn University dan Mahidol University yang masuk top 300.
Perkembangan mengejutkan datang dari negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Penguruan tinggi mereka telah menunjukkan kemajuan pesat dalam Warld University Rankings dalam dekade terakhir. Mereka berhasil menyaingi kampus-kampus top Eropa dan Amerika berkat investasi besar-besaran dalam penelitian, kolaborasi internasional, dan fasilitas mutakhir.
Agar bisa mencapai cita-cita tersebut menurut Guru Besar Sosiologi UMY, diperlukan kerja keras secara konsisten. Untuk bisa masuk dalam 200 besar World University Rankings, PTMA harus melakukan kerja ekstra keras.
“Jadi, kita harus bekerja keras hanya untuk masuk standar World University Rankings. Artinya, biarpun di dalam negeri kita merasa besar, tapi dalam konteks dunia kita ketinggalan,” ujarnya.
Belum menyangkut soal Human Development Index Indonesia yang masih berada di bawah 7 negara ASEAN. Secara kualitatif, daya saing manusia Indonesia masih sangat tertinggal.
Dalam konteks ini Haedar mendorong seluruh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta untuk melakukan ikhtiar jihad dalam dunia pendidikan.
“Dalam konteks Muhammadiyah, kita harus memacu diri lebih kuat lagi. Karena Muhammadiyah pada umumnya tidak dibangun dengan anggaran negara. Bahkan Pimpinan Pusat pun tidak bisa serta-merta berlaku seperti negara. Sifat kita adalah mandiri dan bertumbuh dari bawah,” tegasnya. (diko)