YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia (Wamendikdasmen RI) Fajar Riza Ul Haq, mengingatkan tantangan pada dunia pendidikan semakin lama semakin kompleks. Tantangan tersebut salah satunya tidak lepas dari perkembangan teknologi yang bisa memicu kekerasan karena konten negatif.
Fajar menyebut telepon genggam menjadi persoalan baru saat ini di dunia pendidikan. Ia mengungkapkan banyak anak begitu bangun dari tidur, langsung mencari gadgetnya. Lebih lagi, smartphone bukan lagi menjadi barang mewah saat ini, semua orang bisa memiliki.
“Jadi persoalan baru bagi pendidikan, ketergantungan terhadap gadget. Padahal logika kalau anak pegang gadget, gak ada korelasi langsung ke penambahan pengetahuan anak, kalau tidak ada pendampingan,” ujar Fajar, saat Seminar dari Kelas ke Kehidupan: Menanamkan Nilai-nilai Nir Kekerasan dan Kesetaraan Gender di Lingkungan Pendidikan, di Hall Baroroh Baried Gedung Siti Walidah, Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta, Sabtu (30/11).
Paparan negatif dari media sosial dan kerap ditonton anak-anak bisa menjadikan anak memiliki karakter yang kurang baik. Salah satu yang menjadi isu terkini yaitu permasalahan kekerasan. Menurut Fajar, dalam persoalan kekerasan ini tidak hanya sekolah atau guru yang mengambil peran, tapi juga orang tua hingga lingkungan masyarakat harus mengambil peran pencegahan kekerasan.
“Mengatasi lingkaran setan kekerasan, harus ada komunikasi yang baik, antara anak, guru, keluarga dan masyarakat. Ada komite tapi belum maksimal, kasus kekerasan berujung laporan kepolisan, karena perbedaan persepsi guru dan orang tua, seperti apa batasan pendisiplinan,” tuturnya.
Fajar menyebut pihak Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah telah berkoordinasi dengan Polri beberapa waktu lalu untuk meminimalisir kasus hukum dan mengedepankan restorative justice jika ada persoalan di lingkungan sekolah. Hal ini untuk melindungi hak anak maupun hak guru.
Fajar tidak menampik di beberapa daerah masih ada guru yang mendisiplinkan dengan cukup keras. Guru berpandangan kalau tidak didisiplinkan dengan keras, tidak berhasil mendidik siswa. Ia pun mengajak menggeser pandangan itu.
“Zaman berubah, paradigma harus bergeser. Menyikapi kekerasan, dilindungi dua sisi dari guru dan peserta didik. Batasan pendisiplinan harus jelas dan dikomunikasikan dengan orang tua,” ucap Fajar.
Fajar juga mengajak menggeser pandangan schooling ke learning. Schooling terbatas dengan ruang, infrastruktur, dan waktu. Sementara learning ada proses pembelajaran. “Pendidikan intinya membangun memanusiakan manusia, membangun karakter. Ini kan panjang prosesnya,” ujarnya.
Rektor UNISA Yogyakarta Warsiti, mengatakan seminar terkait persoalan kekerasan ini sangat penting. “Kejadian kekerasan sudah mengintai lingkungan pendidikan, tidak hanya pendidikan dasar. Kami sekolah tinggi juga melakukan upaya meminimalisir. Tentu gak bisa kerja sendiri,” ujar Warsiti.
Warsiti mengatakan untuk meminimalisir persoalan kekerasan ini tidak bisa lembaga pendidikan atau guru sendiri. Perlu peran serta berbagai pihak, di lingkungan sekolah hingga masyarakat luas. “Perlu kolaborasi, sinergi juga dengan keluarga,” ucap Warsiti.
Kepala Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Rusprita Putri Utama, mengatakan berdasar data yang disajikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) pada tahun 2024 semakin menegaskan persoalan kekerasan. Dalam periode tersebut, tercatat 763 laporan kekerasan di lingkungan pendidikan yang melibatkan lebih dari 10.000 korban anak-anak.
“Realita ini menggambarkan adanya kegentingan dalam memberikan perlindungan yang lebih efektif dan berkelanjutan bagi anak-anak di lingkungan pendidikan. Fenomena kekerasan yang terus meningkat ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih holistik dalam menangani dan mencegah kekerasan, terutama dalam membentuk karakter generasi muda,” ujar Rusprita.
Salah satu faktor yang diduga kuat mempengaruhi tingginya angka kekerasan adalah lemahnya pendidikan karakter di berbagai lapisan masyarakat. Ketika individu tidak dibekali dengan nilai moral dan etika sejak dini, mereka sering kali mengalami kesulitan dalam mengelola emosi dan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan.
“Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah memiliki peran yang sangat penting dalam memperkuat pendidikan karakter di sekolah, sebagai upaya membentuk generasi emas Indonesia yang berperilaku baik, empati, menghargai perbedaan, dan mampu berkomunikasi secara positif,” kata Rusprita.
Ketua Umum PP ‘Aisyiyah Salmah Orbayinah, mengatakan selama ini Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah mengambil peran dalam pembentukan karakter anak. Hal tersebut dilakukan sejak pendidikan di TK. Diharap dengan pendidikan karakter sejak dini tersebut membentuk karakter yang baik.
“Harapannya lahir generasi berkualitas, punya karakter baik dan mendukung generasi emas. Mencetak generasi emas 2045. Tentunya seminar ini bisa dikuatkan lagi dengan penguatan karakter anak,” ucapnya. (Sin/Pand)