War Takjil Apakah Fenomena Toleransi?

Publish

23 March 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
525
Rachmad K. Dwi Susilo, MA., Ph.D. dosen program studi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Rachmad K. Dwi Susilo, MA., Ph.D. dosen program studi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

MALANG, Suara Muhammadiyah - Akhir-akhir ini sosial media dipenuhi dengan konten yang disebut dengan ‘War Takjil’. Dari konten tersebut, kita tahu bahwa takjil tidak hanya digemari oleh masyarakat muslim yang berpuasa. Namun juga populer bagi masyarakat non-muslim. Hal ini, membuat suasana Ramadan menjadi lebih cair dan ceria. 

Di lain sisi, peringatan hari besar agama lain cenderung lebih terkesan formal dan sakral. Bahkan sering muncul pertanyaan dan pernyataan provokatif, milsanya terkait pengucapan selamat natal. Apakah ini termasuk intoleran? Rachmad K. Dwi Susilo, dosen program studi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengatakan bahwa takjil tidak berdimensi agama ritual, namun lebih ke kedermawaan sosial. Sehingga, kelompok non Islam pun bisa masuk dan tidak ada beban untuk menikmatinya. 

“Jika masalah ucapan hari raya natal ini tergantung individunya. Cukup hormati dan hargai perayaan agama lain dengan tidak mengecamnya,” ucapnya. 

Lalu bagaimana agar hari perayaan agama itu bisa sama-sama dinikmati oleh agama lain? Menurut Rachmad, agama lain harus membuka ruang publik sehingga semua agama bisa turut terlibat dalam suasana saling menghormati dan penuh kegembiraan. Tetapi pemerintah memang butuh tindakan yang hati-hati, agar tidak masuk wilayah keyakinan personal. 

Kemudian, perlu ide pemerintah untuk membangun inklusivitas. Pemerintah bisa menyediakan kelembagaan yang bernama rumah bersama antar umat beragama. Forum tersebut harus produktif, menghasilkan kerja-kerja kolektif yang inklusif. Sehingga, semua kelompok bisa terlibat tanpa menyentuh aspek-aspek asasian atau aspek personal agama tersebut. Jika rutin bertemu, tidak akan muncul kecemburuan, superioritas, dan merasa agama yang paling bagus. 

“Jika telah mengalami kelembagaan, kelak akan cair dengan sendirinya. Kalau kita tidak pernah bertemu dengan penganut agama lain dan memiliki tafsir tersendiri terhadap mereka, nanti akan mudah terprovokasi,” jelasnya. 

Sejak kecil, anak jangan di sosialisasikan seakan-akan agamanya lebih bagus dan dikomparasikan dengan agama lain. Jika dibandingkan, maka bisa memicu permusuhan. Konstruksi sosial mengenai agama perlu di bangun sejak kecil dan dimulai dari lembaga keluarga. 

Dengan itu, Rachmad berharap tidak akan ada keluarga yang mengalami disorganisasi atau fungsi fungsi yang hilang antar hubungan orang tua dengan anak. Contohnya, orang tua terlalu sibuk bekerja sehingga dititipkan kepada orang lain. Jika seperti itu, maka mereka tidak bisa mengontrol sang anak dengan baik. Padahal keluarga menjadi tempat pertama dalam mengajarkan toleransi. (diko)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Majelis Dikdasmen & PNF Pimpinan Cabang Muhammadiyah Rawamangun me....

Suara Muhammadiyah

22 December 2023

Berita

BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Mahasiswa program studi Psikologi Universitas Muhammadiyah (UM) ....

Suara Muhammadiyah

27 May 2024

Berita

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Pada puasa hari ke-10 ini, Masjid Islamic Center kembali mengadakan....

Suara Muhammadiyah

22 March 2024

Berita

YOGYAKARTA, Suara Muhamamdiyah – Persoalan hal ihwal radikalisme menjadi salah satu kompleksit....

Suara Muhammadiyah

5 December 2023

Berita

PEKANBARU, Suara Muhammadiyah - Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI) bekerja sama den....

Suara Muhammadiyah

19 November 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah