Wasiat dan Warisan: Memahami Hak Perempuan dalam Perspektif Al-Qur'an
Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Tulisan ini akan menelusuri Surah Al-Baqarah ayat 240, sebuah ayat yang menyimpan makna mendalam tentang hak-hak perempuan dalam Islam. Mari kita simak petikan ayat tersebut: “Mereka di antaramu yang meninggal dunia dan meninggalkan istri-istri (janda) hendaklah membuat wasiat untuk istri-istri mereka, yaitu nafkah dan tempat tinggal selama setahun. Tetapi jika mereka meninggalkan tempat tinggal itu, maka tidak ada dosa bagimu atas apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri, asalkan itu patut.”
Mari kita langsung ke inti permasalahan. Mengapa ayat ini kerap kali disalahpahami? Secara sederhana, ayat ini memerintahkan agar seorang suami yang meninggal dunia memberikan wasiat kepada istrinya berupa nafkah dan tempat tinggal selama setahun. Istri tersebut juga memiliki hak untuk tetap tinggal di rumah tersebut. Namun, jika ia memilih untuk pergi atas kemauannya sendiri, maka tidak ada dosa yang ditimpakan kepada pihak keluarga, asalkan segala sesuatu yang dilakukannya masih dalam batas kepatutan. Istilah 'patut' ini dalam bahasa Arab diwakili oleh kata ma’rûf, yang merujuk pada adat istiadat, kesopanan, dan hal-hal yang lazim dilakukan dalam masyarakat.
Mari kita bedah ayat ini lebih dalam. Ayat ini jelas-jelas menetapkan hak wasiat bagi pasangan yang ditinggalkan, dalam hal ini adalah janda. Wasiat tersebut mencakup nafkah hidup selama setahun dan hak atas tempat tinggal. Lalu, di mana letak permasalahannya? Sebagian orang beranggapan bahwa ketentuan ini kurang relevan dengan zaman modern, di mana masyarakat demokratis memberikan hak yang lebih luas kepada perempuan. Di era modern, lazimnya seorang perempuan memiliki hak atas separuh harta gono-gini dan hak atas tempat tinggal bersama.
Namun, para ulama Muslim memiliki penafsiran yang berbeda. Mereka menganggap ayat ini sebagai salah satu ayat yang telah dinasakh, atau dibatalkan, oleh ayat lain. Konsep nasakh ini pernah saya tulis sebelumnya, di mana Al-Qur'an menasakh hukum-hukum dalam kitab suci terdahulu. Namun, dalam konteks ini, para ulama menganggap bahwa ada ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang saling menasakh. Mereka berpendapat bahwa Surah An-Nisa ayat 11, 12, dan 176, yang mengatur pembagian warisan secara rinci, telah membatalkan ketentuan wasiat dalam ayat 240 ini.
Penafsiran ini tidak hanya berdampak pada hak janda, tetapi juga pada hak orang tua, yang sebelumnya diatur dalam Surah Al-Baqarah ayat 180. Ayat tersebut memerintahkan agar seorang yang meninggal dunia memberikan wasiat kepada orang tuanya. Kata kutiba di sini memiliki makna yang sangat kuat, seperti yang juga kita temukan dalam Surah Al-Baqarah ayat 183 tentang kewajiban puasa. Namun, para ulama berpendapat bahwa ketentuan wasiat untuk orang tua ini juga telah dibatalkan oleh ayat-ayat warisan dalam Surah An-Nisa.
Untuk memperjelas, dalam Surah An-Nisa, Allah menetapkan bagian warisan yang spesifik. Jika almarhum memiliki anak, maka masing-masing orang tua mendapatkan seperenam dari harta warisan. Namun, jika almarhum tidak memiliki anak, bagian ibu adalah sepertiga, dan ayah mendapatkan sisanya, yaitu dua pertiga.
Bagaimana dengan istri? Surah An-Nisa juga mengatur bagian warisan untuk istri. Jika suami tidak meninggalkan anak, istri mendapatkan seperempat dari hartanya. Jika suami meninggalkan anak, bagian istri adalah seperdelapan. Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa seperdelapan adalah jumlah yang kecil, terutama jika dibandingkan dengan hukum waris di masyarakat demokratis modern, di mana istri umumnya memiliki hak atas setengah dari harta bersama.
Namun, situasinya menjadi lebih kompleks ketika kita mempertimbangkan poligami. Beberapa ulama berpendapat bahwa jika seorang suami memiliki beberapa istri, maka seperdelapan itu harus dibagi di antara mereka. Artinya, jika seorang suami memiliki empat istri, masing-masing istri hanya akan mendapatkan satu per tiga puluh dua dari harta warisan.
Lantas, bagaimana kita memahami semua ayat ini secara harmonis? Seperti yang telah dijelaskan, terdapat beberapa ayat yang mengatur tentang warisan. Jika kita menolak konsep nasakh (pembatalan ayat), bagaimana kita bisa menemukan titik temu antara ayat-ayat yang tampaknya bertentangan?
Sebenarnya, ayat-ayat tersebut dapat dipahami secara komprehensif. Surah An-Nisa ayat 11 dan 12 menegaskan sebanyak tiga kali bahwa bagian warisan yang telah ditetapkan tersebut harus diberikan setelah melaksanakan wasiat dan melunasi hutang. Hal ini umum dipahami terkait pelunasan hutang. Namun, ayat tersebut juga menyebutkan wasiat.
Artinya, seorang Muslim diperbolehkan membuat wasiat terkait hartanya. Maka, jika Surah Al-Baqarah ayat 180 memerintahkan wasiat untuk orang tua dan kerabat, dan ayat yang sedang kita bahas ini memerintahkan wasiat untuk istri, maka wasiat-wasiat ini diprioritaskan. Dengan kata lain, bagian-bagian yang disebutkan dalam Surah An-Nisa hanya berlaku jika tidak ada wasiat, atau jika ada sisa harta warisan setelah wasiat dilaksanakan.