YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Sejak kemarin hingga hari ini, Rabu, 29 Mei 2024, hashtags All Eyes On Rafah masih menjadi tranding di beberapa platform media sosial seperti Instagram, TikTok hingga X. Postingan All Eyes On Rafah gencar dibagikan dalam berbagai bentuk, baik tagar maupun gambar. Di Istagram, postingan story All Eyes On Rafah sudah menyentuh angka 40 juta kali dibagikan. Seruan ini bukan sekedar rangkain kalimat tanpa makna dan pesan. Di dalamnya ada berjuta pasang mata yang menangis hingga darah yang mengalir. Berjuta tubuh yang ringkih kehilangan rumah sehingga harus bertahan di tenda pengungsian.
Seruan ini hadir setelah tragedi 26 Mei 2024 atas serangan udara yang dilakukan Israel di Rafah. Yang mana Rafah sendiri merupakan kawasan pengungusian bagi warga Palestina. Pasca serangan tersebut 37 orang tewas dalam serangan yang berlangsung pada Senin malam (27/5/2024) hingga Selasa pagi (28/5/2024). Tujuh korban di antaranya sedang berada di tenda-tenda yang letaknya di sebelah tenda Perserikatan Bangsa-Bangsa atau sekitar 200 meter dari lokasi kebakaran yang terjadi pada Minggu (26/5/2024).
Di tengah-tengah kekacauan Timur Tengah yang sering kali diwarnai konflik yang ditunggangi kepentingan Barat dan Israel, terdapat sebuah sorotan harapan dan doa kepada Rafah. Terletak di perbatasan antara Mesir dan Jalur Gaza, Rafah muncul sebagai simbol kekuatan dan solidaritas warga dunia dalam menghadapi tantangan, menawan perhatian dunia dengan semangatnya yang tak tergoyahkan.
Di masa lalu, persimpangan rute perdagangan kuno dan geopolitik modern, Rafah mewakili rajutan budaya dan sejarah yang kaya. Jalanan Rafah bergema dengan langkah para pedagang, peziarah, dan pengungsi, masing-masing meninggalkan jejak tak terhapuskan pada identitas kolektif kota ini. Mulai dari pasar ramai yang dipenuhi aroma rempah hingga masjid-masjid yang tenang yang bergema dengan panggilan adzan, Rafah berdenyut dengan kehidupan, menantang narasi putus asa yang sering menghalangi keberadaannya.
Namun, di tengah keramaian, terdapat kenyataan yang mencolok: Rafah bukanlah asing bagi kesulitan. Blokade yang diberlakukan di Jalur Gaza telah melemparkan bayangan isolasi dan ketidakstabilan ekonomi atas wilayah tersebut, memperburuk tantangan yang dihadapi penduduknya. Namun, di tengah-tengah tantangan tersebut, masyarakat Rafah telah menunjukkan ketahanan yang luar biasa, membentuk ikatan solidaritas yang melampaui batas-batas.
All Eyes On Rafah "Semua Tatapan Terpaku pada Rafah" tidak hanya sekadar pandangan biasa; itu mencerminkan pengakuan bersama terhadap semangat dan keteguhan warga Gaza menghadapi bentuk kebiadaban. Ini adalah bukti dari ketahanan masyarakatnya, yang menolak untuk didefinisikan oleh kesulitan yang mereka alami. Sebaliknya, mereka memilih untuk merangkul harapan, membentuk masa depan yang penuh dengan janji dan kemungkinan.
Di Rafah, di tengah puing-puing konflik dan ketidakpastian hari esok, terdapat sinar harapan—sebuah harapan yang melampaui politik dan pembagian, menyatukan orang dalam visi bersama akan perdamaian dan kemakmuran di seluruh dunia. Inilah harapan yang menarik perhatian dunia pada Rafah, mengingatkan kita semua akan kekuatan ketahanan di tengah-tengah kesulitan.
Saat kita memandang ke arah Rafah, mari kita tidak hanya menjadi saksi atas perjuangannya, tetapi juga merayakan kemenangannya. Mari kita berdiri bersama dengan penduduknya, menawarkan dukungan dan semangat saat mereka menghadapi tantangan yang akan datang. Karena di Rafah, kita tidak hanya menemukan sebuah kota, tetapi sebuah simbol—simbol harapan, ketahanan, dan semangat manusia yang abadi atas penindasan Israel. All Eyes On Rafah adalah bentuk kemarahan warga dunia terhadap genoside yang dilakukan Israel kepada sebagian dari warga dunia. (diko)