109 TAHUN UJUNG TOMBAK LITERASI BERKEMAJUAN
Demokrasi memerlukan rakyat yang pandai. Negara demokrasi yang penduduknya banyak yang masih buta huruf, walaupun di negeri itu ada beberapa orang pintar yang melangit, tidak ada gunanya samasekali. Lampu tidak memberi faedah bagi yang buta dan jauhari juga yang mengenal intan.
Andaikan kalimat terakhir di kutipan di atas tidak diikutsertakan, kita mungkin mengira kutipan di atas diambil dari tulisan atau ceramah era kekinian. Era demokrasi populis ala goyang Bombong Marcos dari Filipina. Namun, karena ada kalimat terakhir terutama adanya frase “jauhari juga yang mengenal intan”, tuan dan puan pembaca pasti agak merasa ragu. Keraguan Tuan dan Puan memang tidak salah. Kutipan di atas kami ambil dari Majalah Suara Muhammadiyah Edisi Nomor 3 bulan Juni tahun 1939.
Walau tulisan ini sudah nyaris berusia satu abad, tapi relevansinya masih terasa aktual hingga hari ini, khususnya di negeri ini. Kita yang hidup di hari ini harus mengakui bahwa jalan ninja yang ditempuh Muhammadiyah untuk mengembangkan budaya literasi memang tidak salah arah. Bagaimana tidak, di saat mayoritas umat masih buta huruf, Muhammadiyah malah menerbitkan majalah sebagai sarana menyebarluaskan gagasan kemajuannya.
Di samping berisi ajaran agama Islam, majalah Suara Muhammadiyah ini juga memuat gagasan sedikit liar dan berani. Bahkan untuk ukuran hari ini. Bagaimana tidak, di Suara Muhammadiyah, edisi Agustus tahun 1925, Abdul Azis kala itu menulis, “jangan sayang membuang uang untuk belajar sekolah. Jangan berat atau malu mempunyai anak yang sudah umur 25 tahun belum kawin. Karena tidak cacat orang yang mencari ilmu belum kawin meskipun sudah berumur puluhan tahun. Lebih cacat yang telah berkawin tetapi masih bodoh.”
Selengkapnya dapat membeli Majalah Suara Muhammadiyah digital di sini Majalah SM Digital Edisi 15/2024