Rujukan Historis Islam Berkemajuan

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
791
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Rujukan Historis Islam Berkemajuan

Oleh: Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.

Istilah “kemajuan”,   “maju”, “memajukan”, dan “berkemajuan” telah melekat dalam pergerakan Muhammadiyah sejak awal berdiri hingga dalam perjalanan berikutnya. Dalam Statuten pertama tahun 1912, tercantum kata “memajukan” dalam frasa tujuan Muhammadiyah, yaitu “...b. Memajoekan hal Igama kepada anggauta-anggautanja”. 

Kyai Dahlan, seringkali mengungkapkan pentingnya kemajuan. Menjadi kyai, jadilah kyai yang maju.  Pikiran-pikiran dasar dan langkah-langkah awal Kyai Dahlan sejak meluruskan arah kiblat sampai mendirikan lembaga pendidikan Islam, mengajarkan dan mempraktikkan Al-Ma’un,  mendirikan Aisyiyah, dan membentuk pranata-pranata amaliah sosial Islam yang bersifat modern, semuanya menunjukkan pada watak Islam berkemajuan.  

Pemikiran Kyai Dahlan

Kyai Dahlan  dalam bahasa Jawa berkata,  ”awit miturut paugeraning agama kita Islam sarta cocok kaliyan pikajenganipun jaman kemajengan” yang artinya “Karena mengikuti kaidah agama Islam serta sesuai dengan harapan zaman kemajuan” (Suara Muhammadiyah, No 2, 1915).  Dalam tulisan utuh Kyai Dahlan dalam bahasa Jawa tahun 1921 dan menurut informasi sebagai satu-satunya tulisan lengkap yang diwariskan pendiri Muhammadiyah ini, yang berjudul “Tali Pengikat Hidup Manusia” (terjemahan Syukriyanto AR & A. Munir Mulkhan) istilah “kemajuan” juga sempat diulas.   Kyai mengulas tentang pentingnya para pemimpin umat bersatu hati, dan di frasa itu menunjuk apa yang disebut “... pemimpin kemajuan Islam...”. Dalam tulisan itu, selain mengupas tentang persatuan pemimpin dan manusia sebagai makhluk Allah, yang menarik hampir lebih separuh dari tulisan itu  menguraikan tentang akal, pendidikan akal, kesempurnaan akal,  kebutuhan manusia, orang yang mempunyai akal, dan perbedaan antara pintar dengan bodoh” (Syukriyanto & Mulkhan, 1985:  1-9). 

Kyai Dahlan menulis, kenapa orang mengabaikan atau menolak kebenaran, hal itu karena lima sebab yaitu: (1) Bodoh, ini yang banyak sekali, (2) Tidak setuju kepada orang yang ketempatan (membawa) kebenaran, (3) Sudah mempunyai kebiasaan sendiri dari nenek moyangnya, (4) Khawatir tercerai  dengan sanak-saudara dan teman-temannya, dan (5) Khawatir kalau berkurang atau kehilangan kemuliaan, pangkat, kebesaran, kesenangannya, dan sebagainya. Karenanya Kyai mengingatkan agar menjadi pemikiran seputar lima hal yaitu; (1) Orang itu perlu dan harus beragama, (2)  Agama itu pada mulanya bercahaya, berkilau-kilauan, akan tetapi makin lama makin suram, padahal yang suram bukan agamanya, akan tetapi manusianya yang memakai agama,  (3) Orang itu harus menurut aturan dari syarat yang sah dan yang sudah sesuai dengan pikiran yang suci, jangan sampai membuat keputusan sendiri, (4) Orang itu harus dan wajib mencari tambahan pengetahuan, jangan sekali-kali merasa cukup dengan pengetahuannya sendiri, apalagi menolak pengetahuan orang lain, dan (5) Orang itu perlu dan wajib menjalankan pengetahuannya yang utama, jangan sampai hanya tinggal pengetahuan saja. (Syukriyanto & Mulkhan, 1985 : 4).

Dalam pejaran keempat sebagaimana dinukil Kyai Hadjid, Kyai Dahlan menyatakan, “Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus bersama-sama menggunakan akal fikirannya,  untuk memikir, bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia. Apakah perlunya? Hidup di dunia harus mengerjakan apa? Dan mencari apa? Dan apa yang dituju? Manusia harus menggunakan fikirannya untuk mengoreksi soal i’tikad dan keyakinannya, tujuan hidup dan tingkahlakunya, mencari kebenaran yang sejati. Karena kalau hidup di dunia hanya sekali ini sampai sesat, akibatnya akan celaka, dan sengsara selamanya”.  Pendapat tersebut dikaitkan dengan ayat ke-44 Surat Al-Furqan, yang artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)”.

Pada pelajaran kelima, Kyai Dahlan melanjutkan,  bahwa “Setelah manusia mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang bermacam-macam, memikir-mikir, menimbang-nimbang, membanding-banding kesana-kemari,  barulah mereka itu mendapat keputusan, memperoleh barang  benar yang sesungguhnya. Dengan akal-fikirannya sendiri dapat  mengetahui dan menetapkan, inilah perbuatan yang benar.”.  Dilanjutkan, bahwa “Sekarang, kebiasaan manusia tidak berani memegang  teguh  pendirian dan perbuatan yang benar karena khawatir,  kalau menetapi barang yang benar, akan terpisah  dari apa-apa yang sudah menjadi kesenangannya,  khawatir akan terpisah dengan teman-temannya. Pendek kata banyak kekhawatiran itu yang akhirnya tidak berani mengerjakan barang yang benar, kemudian hidupnya seperti makhluk yang tak berakal,  hidup asal hidup,  tidak menepati kebenaran.” (Hadjid, t.t.: 15).  

Pasca Dahlan

Dalam Majalah Suara Muhammadiyah tahun 1922,  ditulis dalam bahasa Jawa, tentang pentingnya Islam sebagai “agami nalar”, artinya agama yang berkemajuan dalam pemikiran umatnya. Pak Djarnawi Hadikusuma dalam buku Matahari-Matahari Muhammadiyah, ketika menjelaskan penisbahan Muhammadiyah dengan nama Nabi Muhammad memberikan uraian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw,  yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi napas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”. 

Dalam pidato iftitah HB Muhammadiyah tahun  1927, 1928, dan 1929, berturut-turut diangkat tema dan ulasan tentang “Pandangan tentang Kemajuan Islam dan Pergerakan Muhammadiyah”, “Pandangan tentang Agama Islam dan Pergerakan Muhammadiyah”, serta “Pandangan tentang Kemajuan Agama Islam dan Pergerakan Muhammadiyah Hindia Timur”, yang mengupas berbagai pandangan Islam, kemajuan umat Islam di tanah air dan belahan dunia, serta berbagai masalah yang dihadapi Muhammadiyah dan umat Islam. Dari berbagai khutbah iftitah atau  “Khutabtul Arsy”  dari tahun 1921 hingga tahun 1971, tergambar betapa luas pandangan para tokoh Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam dan menghadapi kompleksitas kehidupan, yang berpijak pada pondasi Al-Qur’an dan As-Sunnah yang maqbulah dengan mengembangankan pemikiran yang berkemajuan.

Kyai Mas Mansur dalam Khutbatul Arsy pada Kongres Muhammadiyah Seperempat Abad di Betawi tahun 1937, menyatakan antara lain: “...Dalam tiap-tiap perjalanan atau pekerjaan yang telah dikerjakan, Muhammadiyah senantiasa pula menghitung-hitung akan laba dan ruginya, terutama tentang usahanya memajukan dan mempropagandakan Islam di Indonesia ini. Kemajuan Agama Islam dan ketinggian derajat pemeluknya, adalah menjadi pengharapan Muhammadiyah yang sangat terutama, sebaliknya pula kemunduran dan kerusakannya itulah yang menjadikan renungan dan rundingan di dalamnya. Sehingga tidak luput pula Muhammadiyah memanjangkan pandangan dan pendengarannya tentang propaganda Islam di seluruh dunia Islam” (Syukriyanto & Mulkhan, 1985: 162). 

Kyai Mas Mansur ketika menulis tentang “Sebab-sebab Kemunduran Ummat Islam”  dalam Adil Nomor 52/IX tahun 1941 seperti dikutip Air Hamzah W, menunjuk empat faktor.  Keempat sebab itu ialah  iman umat yang tipis, umat yang tidak cerdas, pimpinan yang hanya pandai gembar-gembor,  dan syi’ar agama yang kurang.  Ketika menjelaskan ciri kedua, yakni umat yang tidak cerdas, Ketua PB Muhammadiyah tersebut menulis sebagai berikut: “Ummat kita tiada mempunyai kecerdasan. Rata-rata ummat Islam di Indonesia berada dalam kebodohan,  mereka tidak tahu hakikat agama. Agamanya mengajak mereka pada kemajuan, tetapi lantaran kebebalannya, mereka sebaliknya malah mundur. Agamanya diserang oleh orang lain tidak diinsyafinya.”.  Dalam ciri kedua  Dua Belas Langkah Muhammadiyah  tahun 1938-1942, bahkan disebutkan tentang  pentingnya “Memperluaskan  Faham Agama” dinyatakan sebagai berikut: “Hendaklah faham agama yang sesungguhnya itu  dibentangkan dengan arti yang seluas-luasnya, boleh  diujikan dan diperbandingkan, sehingga  kita sekutu-sekutu Muhammadiyah mengerti perluasan Agama Islam, itulah yang paling benar, ringan dan berguna, maka mendahulukanlah pekerjaan keagamaan itu” (PB Muhammadiyah Madjlis Taman Poestaka, 1939). 

Istilah “kemajuan” dan “Islam itu kemajuan” diperkenalkan oleh Soekarno dalam menerjemahkan “Islam Progresif”. Soekarno dalam Buku “Di Bawah Bendera Revolusi” (1965)  pada bagian surat menyuratnya dari Ende bertanya: “bagaimana siasahnya, supaya zaman kemegahan Islam yang dulu-dulu itu bisa kembali? Saya punya ada jawab singkat: “Islam harus berani mengejar zaman”. Bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan zaman”. Di bagian surat itu,  di ujung alinea ketiga, Soekarno menulis: “Islam is progress: Islam itu kemajuan!”.

Soekarno memiliki pertautan erat dengan Muhammadiyah. Sewaktu tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto dia bersama Semaun, Alimin, Kartosuwiryo, dan lain-lain sering mengikuti pengajian KH Ahmad Dahlan yang diundang tuan rumah. Sejak itu, menurut pengakuan Soekarno, dia “ngintil” atau berguru secara informal kepada Kyai Dahlan. Dia mengusung spirit “rejuvenasi” atau peremajaan dalam pemikiran Islam dan menyatakan “Makin Lama Makin Cinta Muhammadiyah”. Di tulisan lain sebagai respons positif dan bersetuju atas tulisan KH Mas Mansur, Soekarno menulis panjang tentang pentingnya “Memudakan Pemikiran Islam”. Soekarno anggota resmi dan bahkan menjadi Pimpinan Bahagian Pendidikan Muhammadiyah di Bengkulu tahun 1938-1942.

Istilah yang paling persis dari  kata “berkemajuan”  disampaikan dalam Muktamar ke-37 tahun 1968  pada sebuah makalah resmi tentang “Ciri masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Di antara sembilan ciri masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, salah satu cirinya ialah “Masyarakat berkemajuan”, yang ditandai oleh: “(a) Masyarakat Islam ialah masyarakat yang maju dan dinamis, serta dapat menjadi contoh; (b) Masyarakat Islam  membina semua sektor kehidupan secara serempak dan teratur/terkoorrdinir; (c) Dalam pelaksanaannya masyarakat itu mengenal pentahapan dan pembagian pekerjaan”. 

Ide dan pemikiran berkemajuan Muhammadiyah sejak Kyai Dahlan dan sesudahnya itulah yang menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam reformis-modern. Para peneliti dan ilmuwan yang mengkaji Indonesia seperti Peacock, Van Niel, Benda, Wertheim, Geertz, Kahin, Nakamura, Alfian, Deliar, Sheppard, dan lain-lain menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern sekaligus moderat. Kemoderenan, kemoderatan, dan kemajuan yang menjadi karakter khusus Muhammadiyah itulah  yang menghasilkan jejak Islam Berkemajuan, yang terbukti lebih satu abad telah mencerahkan kehidupan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta melalui pemikiran dan amaliah nyata!

Sumber: Majalah SM Edisi 11 Tahun 2023


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Editorial

PENGAKUAN DUNIA ATAS DEDIKASI KEMANUSIAAN Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dua organisasi kemasyar....

Suara Muhammadiyah

28 March 2024

Editorial

109 TAHUN UJUNG TOMBAK LITERASI BERKEMAJUAN Demokrasi memerlukan rakyat yang pandai. Negara demokra....

Suara Muhammadiyah

9 September 2024

Editorial

Move On Politik Pemilu 2024 telah selesai dengan aman dan lancar. Hasilnya menunggu dan akan diumum....

Suara Muhammadiyah

8 March 2024

Editorial

Muhammadiyah Ormas, Bukan Parpol Setiap Pemilu hadir, lebih-lebih dalam beberapa dekade terakhir, s....

Suara Muhammadiyah

9 April 2024

Editorial

MEMPERKUAT JAMAAH MEMPERLUAS DAKWAH Pada masa sepuluh tahun awal keberadaannya, Muhammadiyah telah ....

Suara Muhammadiyah

15 May 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah