JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed. menyampaikan pentingnya membangun demokrasi sebagai budaya. Sebagaimana kondisi Islam dan demokrasi di Indonesia saat ini yang perlu perbaikan.
Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara utama Seminar Internasional, di Auditorium K. H. Ahmad Azhar Basyir, Gedung Cendekia, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Selasa (08/10/2024).
Menurutnya, demokrasi ialah sistem yang paling kompatibel di Indonesia. Terlebih, Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia berhasil menciptakan demokrasi dengan baik sejak reformasi hingga sekarang.
Hal ini menandakan bahwa Islam dan demokrasi tidak bertentangan. Kendati demikian, Ketua Badan Pembina Harian UMJ tersebut menjelaskan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami polemik 3C yaitu costly, criminal dan cannibal yang menyebabkan indeks demokrasi menurun.
Costly berarti proses politik di Indonesia memakan biaya mahal. Hal tersebut kerap terjadi di masyarakat bahkan timbul istilah BERJUANG (Beras, Baju, dan Uang) untuk meraih jabatan saat pemilihan umum (Pemilu).
Criminal berarti orang-orang menggunakan segala cara untuk memenangkan sebuah pertarungan politik dan tidak mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi.
Cannibal berarti banyak calon legislatif yang bersaing dengan calon lain di partai yang sama. Menurut Mu'ti hal ini karena sistem Pemilu dilakukan dengan proporsional terbuka sehingga menyebabkan persaingan yang tidak sehat, seperti penggunaan kekuatan modal untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilu agar meraih jabatan.
"Di sini lah pentingnya kita membangun demokrasi sebagai budaya. Apabila demokrasi diletakkan sebagai budaya, berarti demokrasi memiliki nilai-nilai dan spirit yang membuat sistem ini paling mungkin dapat dilakukan," tutur Mu'ti saat menjadi pembicara utama.
Nilai-nilai yang dimaksud Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) tersebut adalah persamaan di antara semua warga negara, meritokrasi, toleransi, kesatria, dan adanya kesempatan bagi siapapun untuk tampil mempimpin melalui proses demokrasi.
Ia mengungkapkan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang memberi perhatian terhadap demokrasi dan proses demokratisasi di Indonesia, telah mengusulkan beberapa perubahan dalam sistem demokrasi dalam membangun budaya demokrasi di negara ini.
Pertama, perlu adanya peninjauan kembali tentang sistem Pemilu proporsional terbuka. Sebaiknya diubah menjadi Pemilu tertutup atau Pemilu terbuka dan terbatas.
Kedua, Indonesia harus memiliki lembaga tinggi negara. Dalam hal ini mengembalikan posisi MPR menjadi lembaga tinggi negara agar apabila ada polemik politik atau kekuasaan dapat diselesaikan.
"Muhammadiyah mengusulkan, komposisi keanggotaan MPR dikembalikan kepada Undang-Undang Dasar yang lama, yaitu terdiri atas anggota DPR, wakil dari daerah dan utusan golongan," ujarnya.
Mu'ti menegaskan hal tersebut adalah tanggung jawab Muhammadiyah untuk mengawal demokrasi di Indonesia. Terlebih, Muhammadiyah memiliki satu prinsip yaitu demokrasi dan proses demokratisasi di Indonesia merupakan konsep dan sistem yang paling mungkin untuk Indonesia.
"Kita juga harus bergerak ke demokrasi substantif dan bahkan yang lebih penting lagi adalah membangun budaya yang demokratis," pungkas Mu'ti.
Seminar Internasional bertajuk "Islam dan Budaya Demokrasi di Dunia Islam" ini digelar secara hybrid atas kerja sama UMJ dengan Kemendikbudristek RI. Kegiatan dipandu oleh Dosen Prodi Ilmu Politik FISIP UMJ. Miftahul Ulum, Ph.D.
Kegiatan tersebut dihadiri Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbudristek RI Dr. Restu Gunawan, M.Hum., Narasumber dari International Islamic University Malaysia (UIIM) Assoc. Prof. Dr. Danial Bin Mohd. Yusof, University of California Prof. Muhammad Ali. Ph.D., Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof. Jamhari Makruf, Ph.D., dan seluruh wakil rektor serta mahasiswa UMJ.