BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Dosen prodi PIAUD Universitas Muhammadiyah (UM) Bandung Dr Esty Faatinisa SPsi SPd MPd menegaskan bahwa pendidikan inklusif adalah hak semua anak tanpa terkecuali, baik yang memiliki keterbatasan maupun keistimewaan. Hal itu Esty sampaikan dalam program Gerakan Subuh Mengaji Aisyiyah Jawa Barat pada Selasa (02/09/2025).
Menurut Esty, pendidikan inklusif tidak hanya diperuntukkan bagi anak dengan disabilitas, tetapi anak berbakat, anak jalanan, anak pekerja, anak dari daerah terpencil, hingga anak dari kelompok minoritas. Muhammadiyah dan Aisyiyah, lanjutnya, telah lama berkomitmen mengakomodasi pendidikan inklusif sebagai bentuk nyata dakwah di bidang pendidikan.
Esty menjelaskan, sistem segregatif seperti Sekolah Luar Biasa (SLB) tidak boleh lagi menjadi pembatas hak belajar anak. Ia menegaskan, penelitian menunjukkan anak yang bersekolah di lingkungan inklusif justru memiliki capaian akademik dan sosial yang lebih baik dibandingkan dengan anak di sekolah segregatif. “Pendidikan inklusif membuat anak merasa diterima sebagai manusia utuh,” ucapnya.
Lebih jauh, Esty menekankan pentingnya landasan filosofis, sosial, dan hukum dalam menguatkan praktik pendidikan inklusif di Indonesia. Filosofi Bhinneka Tunggal Ika dan nilai Pancasila, khususnya sila kedua dan kelima, menjadi dasar keadilan dan kemanusiaan. Sementara itu, regulasi seperti UUD 1945, UU Sistem Pendidikan Nasional, hingga Permendiknas tentang pendidikan inklusi menjadi payung hukum pelaksanaannya.
Dalam perspektif Islam, Esty mengutip Fikih Difabel Muhammadiyah yang menegaskan nilai tauhid, keadilan, dan kemaslahatan. Al-Quran pun mengajarkan agar setiap manusia dimuliakan tanpa merendahkan mereka yang memiliki keterbatasan. “Merendahkan individu difabel sama saja menghina ciptaan Allah,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi semua pihak, termasuk guru, orang tua, pemerintah, dan masyarakat dalam mendukung pendidikan inklusif. Di Kota Bandung, pemerintah telah menghadirkan Unit Layanan Disabilitas (ULD), layanan psikolog, dan pelatihan guru untuk memperkuat kompetensi tenaga pendidik. Teori sistem ekologi Bronfenbrenner, kata Esty, bisa menjadi rujukan membangun lingkungan yang ramah bagi semua anak.
Lebih lanjut, Esty menekankan bahwa pola asuh inklusif di keluarga sangat krusial. Dukungan orang tua dan lingkungan akan membantu anak berkembang optimal, sebaliknya penolakan dan stigma hanya akan melahirkan diskriminasi. “Anak-anak yang terbiasa dengan keberagaman sejak dini akan tumbuh lebih toleran dan saling menghargai,” jelasnya.
Di akhir pemaparan, Esty menegaskan bahwa Muhammadiyah dan Aisyiyah memiliki sumber daya besar untuk mendorong praktik pendidikan inklusif, mulai dari kader psikolog, dokter, hingga lembaga pendidikan dari PAUD sampai perguruan tinggi. “Pendidikan inklusif adalah jihad bersama yang harus dijalankan dengan kesadaran, rasa syukur, dan keyakinan bahwa setiap anak memiliki potensi dari Allah,” pungkasnya.***