Aksi Radikal, Pertarungan Rakyat atau Manufactured Chaos

Publish

3 September 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
225
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Aksi Radikal, Pertarungan Rakyat atau Manufactured Chaos 

Oleh: Angga T. Sanjaya, Akademisi Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi UAD

Demonstrasi besar yang meledak di depan Gedung DPR pada Agustus 2025 menjadi salah satu titik puncak kemarahan publik terhadap elite politik. Ribuan mahasiswa, buruh, pelajar, hingga masyarakat biasa tumpah ruah memprotes kebijakan tunjangan perumahan anggota DPR sebesar lima puluh juta rupiah per bulan, di tengah kondisi ekonomi rakyat yang kian tertekan. 

Peristiwa itu tidak hanya diwarnai orasi dan spanduk, tetapi juga bentrokan dengan aparat, gas air mata, dan insiden penjarahan di sejumlah titik sekitar Senayan. Media arus utama dengan cepat menyematkan label “demo anarkis” pada peristiwa itu, seakan-akan inti persoalan hanyalah soal kerusuhan jalanan, bukan kegelisahan struktural yang mendasarinya.

Pertarungan Simbolik di Balik Label “Anarkis”

Jika kita membuka selubung realitas, kita dapat melihat skema yang selama ini hadir dalam mekanisme dialektika kebijakan yang cenderung kontingental terhadap legitimasi simbolik. Premis ini dapat dibedah melalui keyakinan yang diterima begitu saja seolah hal itu alami dan normal. Misalnya saja, keyakinan bahwa anggota DPR wajar mendapat berbagai tunjangan karena status mereka sebagai wakil rakyat. Legitimasi simbolik ini sejatinya tanpa disadari senantiasa diproduksi dan direproduksi oleh institusi dominan, seperti negara, media, dan elite politik. 

Di sinilah peran “modal simbolik” bekerja. DPR tidak hanya memiliki modal ekonomi berupa anggaran negara, tetapi juga modal simbolik berupa klaim legitimasi moral, mereka mengaku bekerja untuk rakyat, sehingga fasilitas mewah dianggap sah-sah saja.

Namun, saat keputusan tunjangan Rp 50 juta per bulan diumumkan, realitas sosial yang keras membuat narasi itu retak. Publik yang hidup dalam tekanan harga kebutuhan pokok, upah minim, dan pengangguran masif tidak bisa lagi menerima begitu saja bahwa tunjangan tersebut adalah kewajaran. Maka lahirlah counter-simbolik melalui narasi tandingan bahwa tunjangan itu adalah simbol pengkhianatan dan kemewahan yang menista penderitaan rakyat. 

Demonstrasi besar di Senayan adalah ekspresi paling konkret dari counter-simbolik itu. Tetapi, narasi tandingan selalu segera dihadang dengan kekuatan doxa resmi. Aparat dikerahkan, barikade dipasang, gas air mata ditembakkan, dan media sibuk memberitakan bahwa aksi telah berubah “anarkis”. Label itu bukan sekadar deskripsi, melainkan strategi simbolik untuk mendeligitimasi perjuangan rakyat.

Politik vs Police: Suara yang Tidak Dihitung

Perlu kita dudukan, mengapa tindakan anarkis ini bisa terjadi? Di sini, diskursus perlu kita angkat dari pemahaman Rancière, bahwa politik sejati justru lahir ketika mereka yang tidak dihitung dalam tatanan itu menerobos panggung dan menuntut kehadiran. Demonstrasi besar di Senayan adalah contoh politik sejati. Mahasiswa, buruh, pelajar, mereka yang dalam tatanan normal dianggap objek kebijakan belaka, tiba-tiba hadir sebagai subjek politik yang menuntut pengakuan. Tindakan itu mengganggu distribusi suara resmi, merusak koreografi rapi yang diatur oleh logika polisi.

Dari kacamata ini, kerusuhan dan penjarahan yang terjadi tidak bisa semata-mata dipahami sebagai kriminalitas. Ia adalah momen politik dalam arti Rancière dalam Dissensus: On Politics and Aesthetics (2010), bahwa ekspresi radikal dari mereka yang selama ini disingkirkan. Memang benar, penjarahan merugikan banyak pihak dan sering membelokkan solidaritas publik, tetapi ia tetap mencerminkan retakan besar dalam tatanan politik. Tubuh-tubuh rakyat yang nekat menantang gas air mata, melempar batu, atau bahkan membakar pos keamanan, sesungguhnya sedang berteriak: kami ada, kami lapar, kami marah. Dalam logika Rancière, itulah “the part of no-part”, bagian dari masyarakat yang sebelumnya tidak diakui sebagai bagian sah politik, tiba-tiba menyeruak dengan suara keras.

Subjek Radikal dan Manufaktur Chaos

Di titik inilah Slavoj Žižek membantu kita memahami paradoks yang lebih dalam, ‘apakah anarkisme ini suatu mekanisme kosntruktif ataukah sebaliknya, destruktif dan menyimpang?. Dalam The Ticklish Subject (1999), Žižek menyebut bahwa subjek radikal muncul ketika individu atau kolektif menolak seluruh kerangka simbolik yang dipaksakan oleh tatanan dominan. Subjek radikal adalah yang bersedia “melompati” logika resmi dan bertindak meski seluruh media dan institusi mengecapnya salah. Dari perspektif ini, demonstrasi Agustus 2025 menghadirkan subjek radikal pada diiiri rakyat yang menolak tunduk pada doxa elite, bahkan dengan risiko dicap anarkis.

Namun, Žižek juga mengingatkan bahwa sistem kapitalis dan negara modern lihai mengubah setiap letupan radikal menjadi sekadar “chaos.” Justru ketika rakyat turun ke jalan, aparat dan media dengan cepat mengatur narasi: kerusuhan ini tidak murni perjuangan rakyat, melainkan ulah provokator, kriminal, atau bahkan konspirasi politik. Dengan begitu, energi radikal rakyat dikooptasi dan direduksi menjadi manufactured chaos, sebuah keributan yang bisa ditertibkan, bukan sebuah politik alternatif yang harus didengarkan.

Inilah dilema inti, apakah demonstrasi itu sebuah politik rakyat yang radikal, atau sekadar chaos buatan yang diciptakan untuk melemahkan legitimasinya? Jawabannya bergantung pada siapa yang berhasil memonopoli representasi. Jika narasi “anarkis” terus dominan, publik hanya melihat pecahan kaca dan asap ban terbakar. Tapi jika narasi rakyat yang menekankan ketidakadilan lebih kuat, maka kerusuhan justru terbaca sebagai tanda krisis legitimasi negara.

Anarkisme, Politik atau Kekacauan?

Pertarungan narasi kemudian menjadi semakin sengit. Negara dan media terus menegaskan bahwa demo itu anarkis dan merusak. Rakyat balas menegaskan bahwa kemarahan itu sah, bahkan perlu, karena DPR telah mengkhianati aspirasi rakyat dengan memprioritaskan kenyamanan pribadi. Di titik ini, Bourdieu membantu kita melihat bagaimana narasi “anarkis” adalah bentuk dominasi simbolik yang memaksa rakyat menerima stigma. Rancière menegaskan bahwa justru di balik stigma itu ada momen politik sejati, bahwa rakyat yang dipinggirkan menuntut hadir. Dan Žižek mengingatkan bahwa momen radikal itu bisa sekaligus rentan dikooptasi menjadi sekadar chaos buatan.

Opini ini tidak dimaksudkan untuk menjustifikasi kekerasan atau penjarahan. Kekerasan selalu membawa luka, baik bagi rakyat maupun aparat. Namun, memahami logika kekuasaan dan politik mengharuskan kita melampaui stigma. Alih-alih hanya melihat pecahnya kaca atau terbakar-nya pos keamanan, kita perlu menanyakan, apa yang membuat rakyat begitu marah sampai rela mengambil risiko? Mengapa narasi “anarkis” lebih cepat muncul ketimbang narasi “ketidakadilan”?

Jika kita ingin belajar sesuatu dari Agustus 2025, maka pelajaran itu sederhana, anarkisme tidak selalu berarti kekacauan. Ia bisa berarti sebuah politik lain, politik yang lahir dari bawah, politik yang menolak tunduk pada logika elite. 

Mungkin inilah arti sebenarnya dari demo yang meledak, rakyat sedang merebut kembali hak untuk mendefinisikan politik, meski dengan cara yang dilabeli “anarkis”. Pertanyaan yang tersisa bagi kita adalah, apakah kita akan membiarkan suara itu direduksi menjadi manufactured chaos, ataukah kita berani mengakuinya sebagai momen politik yang sah?


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Dr H Amirsyah Tambunan, MA Ketua Majelis Pendayagunaan Wakaf Pimpinan Pusat Muhammadiyah Beg....

Suara Muhammadiyah

13 February 2024

Wawasan

Oleh: Gunawan Trihantoro Perjalanan Tapak Suci Putera Muhammadiyah yang kini memasuki usia 62 tahu....

Suara Muhammadiyah

31 July 2025

Wawasan

Oleh: Abdul Rohman, Mahasiswa Institut Agama Islam Al Ghuraba Jakarta Menteri koordinator bidang Po....

Suara Muhammadiyah

17 December 2024

Wawasan

Karakteristik Ayat-ayat Puasa (5) Beribadah itu Ringan dan Mudah Oleh : M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag....

Suara Muhammadiyah

30 March 2024

Wawasan

Wakaf Kaligrafi dan Stiker Do'a  Oleh: Khafid Sirotudin, MPKSDI PP Muhammadiyah Wakaf Literas....

Suara Muhammadiyah

11 March 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah