Dakwah Menjawab Jiwa Zaman: Belajar Dari KH Ahmad Dahlan

Publish

7 February 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1209
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Dakwah Menjawab Jiwa Zaman: Belajar Dari KH Ahmad Dahlan

Keharusan Peta Dakwah

Oleh: Saidun Derani                                    

Sutan Takdir Alisyahbana (w. 1994), budayawan, sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia, mengatakan bahwa ada enam nilai yang sangat menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia maupun masyarakat, yaitu nilai ekonomi, politik, iptek, agama, seni, dan nilai solidaritas. Keenam nilai itu memang merupakan kristalisasi dari berbagai nilai kehidupan manusia sehingga keenamnya dipandang sebagai pilar yang menentukan konfigurasi kepribadian dan norma etik individu dan masyarakat.

Bahwa dari keenam nilai tersebut ada yang paling dominan yang merupakan norma tertinggi dari seluruh pola kehidupan pribadi masyarakat. Misalnya jika nilai ekonomi yang dianggap sebagai nilai utama, jelas pola tingkah laku individu atau masyarakat cenderung ke arah paham materialis.

Sebab tujuan utama hidupnya adalah keuntungan, maka kuat kemungkinan dia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. Demikian juga kalau kekuasaan (politik) menjadi nilai utama, maka kedudukan/jabatan yang diutamakan sehingga jalan apapun untuk merebut dan mempertahankannya dipandang halal.

Akan tetapi jika nilai ilmiah (iptek) yang diutamakan, maka akan lahir idealisme yang rela berkorban bagi pengembangan ilmiah sungguh pun tidak dinafikan nilai ilmiah pun sangat mungkin terjerumus ke dalam paham materialis dan sekuleris. Takdir menyebutkan bahwa kombinasi antara nilai teori dan ekonomi yang senantiasa maju dengan istilah “aspek progresif” dari kebudayaan.

 Tiga nilai budaya yaitu agama, seni, dan solidaritas berkaitan erat dengan rasa, yang menurut Takdir bersendi pada perasaan, intuisi, dan imajinasi. Kombinasi dari ketiga nilai budaya ini disebut “aspek ekspresif” dari kebudayaan. Budaya ekspresif kata Prof. Simuh (lahir 1933), ahli Islam dan Sastra Jawa, umumnya berwatak “konservatif”. Agama misalnya jika tidak didukung pemikiran yang rasional, ia mudah terbawa ke dalam penghayatan serba mistik dan gaib yang ekstrem dan irrasional.

 Puncak kebudayaan progresif adalah pengembangan cara berfikir ilmiah yang menghasilkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya puncak kebudayaan ekspresif bermuara pada kepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung kebudayaan progresif umumnya adalah pecinta ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) karena mereka melihat kebudayaaan sebagai proses yang selalu berkembang sehingga wawasan mereka pun dinamis. Mereka memandang hasil budaya pada suatu zaman bernilai untuk sementara waktu dan pasti akan diganti hasil budaya yang lebih unggul nilainya.

 Ada pun para pendukung budaya ekspresif umumnya adalah bersikap statis atau tradisional. Mereka menilai hasil kebudayaan sebagai  sesuatu yang final. Misalnya mereka menyayangkan ditinggalkannya budaya tayuban, wayangan, dan sebagainya.

  Moral politik yang dibangun di atas prinsip tujuan menghalalkan segala cara, terlihat jelas dalam sejarah perilaku golongan priyayi Jawa dalam kerajaan-kerajaan Jawa sampai zaman Mataram (Islam). Ini artinya bahwa jika kekuasaan politik yang mereka pandang sebagai sumber kejayaan itu diganggu, maka mereka akan membela mati-matian seperti ungkapan ”pecahing dhadha wutahe ludiro”. Islam meletakkan prinsip hidup untuk mencapai kebahagiaan akhirat tanpa mengabaikan kesejahteraan duniawi.

Tulisan ini ingin menjelaskan  cara KH. Ahmad Dahlan (1868- 1923 M ) menjawab tantangan zamannya dalam konteks  budaya progresif dan ekspresif di atas. Diharapakan tulisan ini sabagai contoh model untuk kearifan para penerus Kiai Dahlan dan para pegiat sosial-keagamaan (Islam).

NILAI BUDAYA BANGSA

Prof. Damardjati Supardjan (w. 2014), Guru Besar Filsafat UGM Yogyakarta dan Penasihat Spiritual Kesultanan Yogyakarta, menyimpulkan bahwa dari aspek historis, sosiologis, dan kultural paling tidak ada tiga elemen yang menjadi penyusun utama budaya dan peradaban masyarakat Indonesia; pertama, tradisi Hindhu-Budha di Indonesia, kedua, Tradisi Islam Timur Tengah, ketiga, Kristen Barat Modern. Ketiga elemen tradisi ini sangat signifikan dalam menentukan bentuk dan budaya maupun peradaban bangsa Indonesia.

Prof. Simuh (lahir 1933), Guru Besar Falsafah Islam dan Budaya Jawa, UIN Sunan Kalijogo, Yogyakarta, menyatakan bahwa suku-suku bangsa Indonesia, khususnya etnis Jawa, pra kehadiran pengaruh Hinduisme telah hidup teratur dengan animisme-dinamisme sebagai akar religiusitasnya dan hukum adat sebagai pranata sosialnya. Ini artinya bahwa nenek moyang suku bangsa Indonesia asli sudah hidup teratur di bawah pemerintahan atau kepala adat (suku) sungguhpun kuat dugaan masih dalam bentuk  yang sangat sederhana.

Penting dipahami bahwa ciri khas religi animisme-dinamisme adalah menganut kepercayaan ruh dan daya gaib yang bersifat aktif. Prinsip ruh aktif menurut kepercayaan animisme-dinamism bahwa ruh orang mati tetap hidup dan bahkan menjadi sakti seperti dewa, bisa mencelakakan, atau menyejahterakan masyarakat manusia.

Begitu juga dunia dihuni berbagai ruh gaib yang bisa membantu atau mengganggu kehidupan manusia. Dalam konteks ini, semua ritus (ibadah) atau meditasi religi animisme-dinamisme dimaksudkan untuk berhubungan dan memengaruhi ruh dan kekuatan gaib itu. Bahkan melalui meditasi atau dukun prewangan dijalin hubungan langsung untuk minta bantuan dengan ruh dan kekuatan gaib.

Implikasi dari paham religi animisme-dinamisme ini tentu menumbuhkan kelompok pawang yang berfungsi sebagai pendeta (mediator, perantara, orang pinter), dukun atau orang tua yang berhubungan langsung dengan semua ruh yang menguasai kekuatan gaib. Puncaknya adalah melalui pengembangan ilmu perdukunan, ilmu klenik dengan rumusan lafal yang dipercaya berdaya magis. Warisan ilmu klenik, ilmu magis atau perdukunan ini masih tampak jelas pada primbon-primbon, misalnya primbon Bentaljemur, Mujarobat dan sebagainya.

Demikian juga ilmu santet dan ilmu tenung merupakan warisan ilmu hitam nenek moyang yang berkaitan dengan kepercayaan animisme-dinamisme. Masalahnya mengapa hal-hal yang disebut di atas masih tumbuh dan kian marak  di tengah masyarakat yang hidup dalam dunia moderen khususnya dalam perilaku kaum muslim secara umum.

Persoalan lain yang nanti menjadi masalah dalam dakwah islamiah adalah manifestasi lahir dari religi animisme-dinamisme itu dalam bentuk nilai adat; yang bukan hanya sekedar custom atau etiquette  biasa.

Dalam konteks ini Takdir mengatakan bahwa adat itu artinya bukan saja lebih luas dari custom tetapi teristimewa lebih dalam; segala yang dinamakan hukum sekarang termasuk di dalamnya.  

Bahkan lebih daripada hukum ia mengatur keperluan dan perbuatan individu maupun masyarakat seperti upacara perkawinan, lahir dan mati, waktu dan cara bertanam padi, bagaimana membuat rumah dan meminta hujan. Bahkan banyak lagi ekonomi, politik, dan seni masuk dalam lingkungan pengaturannya.

Malahan dilihat dari suatu jurusan adat itu maka tiada lain hal-hal yang penulis katakana di atas sebagian dari penjelmaan agama dalam masyarakat.  Oleh karena itu sesungguhnya bukan manusia yang membuatnya dan dalam pelaksanaannya sekalipun masih senantiasa diawasi ruh-ruh dan tenaga-tenaga yang gaib nenek moyangnya yang menguasai masyarakat itu.

Dalam hubungan adat yang mengatur seluruh kehidupan dan yang dikuasai oleh ruh-ruh dan tenaga-tenaga yang gaib itulah masyarakat yang bersahaja itu konservatif dan statis sifatnya. Pusatnya terletak di masa yang silam, pada waktu nenek-moyang Minangkabau mengatakan : “tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.” Dalam hubungan inilah perkataan tua mengandung arti istimewa, yaitu suci, berkuasa dan mengetahui.

Jadi dalam masyarakat Indonesia asli, khususnya masyarakat Jawa,  yang masih bersahaja, nilai agama menjadi nilai utama yan bersifat mengikat dan memerngaruhi nilai-nilai yang lain. Nilai agama menggejala dalam kepercayaan serba mistik, yang kemudian memengaruhi adat dengan berbagai tatacara dan rangkaian upacaranya yang kompleks.

Berkaitan dengan masyarakat yang masih bersahaja ini, nilai solidaritas  yang dalam ungkapan Jawa disebut semangat gotong royong dan rukun  cukup tinggi. Kemudian berkaitan dengan upacara religi, mantra, atau kidung-kidung untuk memohon bantuan ruh nenek moyang dan menolak segala penyakit, juga berkembang. Adapun nilai rasional (ilmiah), nilai ekonomi, dan nilai kekuasaan masih sangat rendah.

 Kehadiran Hinduisme-Budhaisme di nusantara yang diperkirakan sejak tahun pertama Masehi  semakin menyuburkan paham animisme-dinamisme yang dianut suku-suku di Indonesia, khususnya di pulau Jawa.

Dalam hal ini Prof. Koentjaraningrat (w. 1999), ahli antropologi budaya, mengatakan bahwa yang aktif menyerap unsur-unsur budaya kekayaan intelekual Hinduisme adalah lingkungan istana (Jawa) dan bukan para pendeta Hindu. Sebab bagi  kepentingan kerajaan, politik atau kekuasaan adalah hal yang paling utama sehingga agama pun “dimanfaatkan” untuk memperkokoh kekuasaan raja.

Dari sini lahir konsep “agama agaming aji”. Hinduisme sejalan dengan kepercayaan asli animism-dinamism, yaitu berisi paham tentang adanya alam kedewaan yang merupakan  perpanjangan dari konsep tentang ruh aktif dari animism-dinamism. Konsep sakti adalah seirama dengan daya-daya magis.

Hinduism juga memengaruhi munculnya dua lapis tradisi budaya Jawa, yaitu tradisi besar yang berkembang di lingkungan istana dan bersifat Hindu-Kejawen dan tradisi kecil atau tradisi petani yang tetap buta huruf dan terpusat pada religi animism-dinamism. Dan hal ini juga dapat ditemukan pada kerajaan-kerajaan di Nusantara pada masa zaman Islam.

Adapun pola budaya Hindu-Kejawen yang paling dominan justru bukan nilai agama tetapi orientasi terhadap nilai kekuasaan/politik. Bagi priyayi Jawa sebagai penegak sistem dinasti, kekuasaan politiklah yang terpenting. Ini artinya yang unggul adalah golongan priyayi atau kesatria.

Golongan pendeta berada di bawah kelas priyayi. Sikap dan wawasan budaya priyayi inilah yang mempermudah para priyayi beralih kepada agama Islam setelah berdirinya Kesultanan Demak. Pada sisi lain, konsep budaya priyayi juga menghambat Islam untuk mencapai kekuasaan politik. Artinya Islam sebagai nilai agama bisa diterima namun sebagai kekuasaan politik harus dicurigai. Puncaknya dalam konsep NASAKOM Presiden Soekarno. Islam Yes, Partai Islam No.

Sikap keagamaan budaya priyayi Jawa tampak aspek mistik Hindu-Budha yang mereka pilih demi melangsungkan kedudukan raja dan konsep Raja Bimathara atau Raja titisan dewa. Konsep mistiknya untuk memperkuat orientasi kekuasaan; suatu kontemplasi diri untuk menemukan jati diri dan mencapai kesempurnaan kekuatan menjadi sakti karena telah menyatu dengan Tuhan. Semua ini dikaitkan dengan persiapan pelaksanaan tugas kenegaraan mereka sebagai priyayi atau pejabat pemerintah dalam mamayu hayuning bawana.

Adapun orientasi terhadap nilai teori (rasional) dalam budaya Hindu-Kejawen cukup tinggi. Sebab kekuasaan yang menjadi nilai utama bagi priyai Jawa memang menunutut wawasan yang dinamis dan lentur. Dalam konteks ini bisa melihat mengapa golongan priyayi Jawa lebih cepat beradaptasi menerima budaya progresif yang dibawa Eropa Kristen di Nusantara misalnya di lingkungan Budi Utomo (BO).

Ketika Islam datang  di Nusantara khusus di Jawa penyebaran Islam dihadapkan dua jenis lingkungan budaya Kejawen, yaitu budaya istana (Majapahit) yang telah menyerap unsur-unsur Hinduism-Budhaism dan budaya pedesaan (wong cilik) yang masih dalam bayang-bayang animism-dinamism dan hanya lapisan luarnya saja yang terpengaruh oleh Hinduism-Budhism.

Karena lingkungan pertama menolak akhirnya Islam berkembang di wong cilik atau di lingkungan budaya pedesaan. Dalam konteks ini dapat melihat berkembangnya pendidikan model pesantren sebagai perpanjangan bentuk halaqah yang berlaku di Basrah dan Bagdad (Pusat budaya, politik, ekonomi, Pendidikan Dunia) di pedesaan-pedesaan yang nantinya menjadi centrum (pusat) tradisi besar baru yakni kebudayaan intelektual pesantren yang menjadi kompetitor kebudayaan intelektual di lingkungan istana.

Dari konsep inilah memunculkan seorang guru yang sangat dihormati masyarakat dan murud-muridnya. Bahkan guru tarekat -sistem ribat atau zawiyah- mereka pandang sebagai wali dengan berbagai kemampuan ladunni. Perkembangan lebih lanjut, mursyid-mursyid tarekat dan pesantren ini menjadi raja-raja lokal antara lain terwujud dalam bentuk Kesultanan Demak yang berfungsi meneruskan hegemoni Majapahit.

Peristiwa peralihan kekuasaan ini diartikan bahwa persaingan tidak berkaitan  dalam bidang agama. Karena bagi priyayi Jawa yang menjadi prioritas utama adalah kekuasaan politik sedang agama menduduki nilai kedua. Sebaliknya bagi kalangan pesantren -guru sufi- agamalah yang menjadi prioritas utama sedangkan kekuasaan politik merupakan pilar penghalang.

Jadi penolakan lingkunagn istana (priyayi) karena mereka masih kurang mengenal ajaran dan falsafah sufisme lantaran masih menggunakan istilah-istilah Arab. Dan hal ini berubah setelah berkembangnya Demak dan puncaknya pada zaman Sultan Agung atau Mas Rangsang (1613-1646).

Adapun mengenai strategi kebudayaan raja-raja Mataram tercermin dalam sejarah melalui upaya Sultan Agung mempertemukan kalender tahun Hijriah dengan tahun Kejawen yang dulunya dipinjam dari kalender tahun Saka. Perpaduan ini menghasilkan tahun Hijriah Kejawen.

Dalam sejarah Sultan Agung berhasil menaklukkan Kesultanan Surabaya (1620-1625) sebagai benteng terakhir masyarakat pesisiran yang didukung masyarakat pesantren dan ini menimbulkan masalah baru bagi Sultan Agung. Masyarakat pesantren sudah lama menggunakan kalender Hijriah yang  dibawa agama Islam di Nusantara.

Sebaliknya kalender tahun Saka yang diambil dari India sudah sejak lama menjadi pegangan dalam berbagai upacara tradisional. Maka untuk menetapkan tahun 1 Jawa tetap digunakan tahun Saka  yaitu tahun 78 M. Kemudian kedua belas bulan Hijriah diterapkan pada tahun Jawa Sultan Agung.

Demikian pula nama-nama hari dalam satu minggu diambil dari kalender Hijriah namun demikian hari-hari pasar Kejawen (siklus 5 harian) dipadukan dengan hari-hari Hijriah.  Maka terjadi perpaduan yang serasi menjadi  Senen Wage, Selasa Kliwon, dan seterusnya. Karena itu sejak diumumkannya tahun Saka menjadi tahun Jawa pada 633 M terjadi keseragaman kalender antara masyarakat pesantren dengan masyarakat Kejawen.

Keserasian ini baru terganggu ketika muncul gerakan pembaharuan agama yang menggunakan sistem hisab (perhitungan) dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri. Pelestarian terhadap tradisi lama melalui penyesuaian kalender Islam dan hari-hari pasar kejawen ternyata tidak menghambat keberlangsungan upacara tradisional maupun astrologi ilmu klenik (ngelmu petung) yang menjadi puncak setiap ajaran mistik atau pun mistik pesantren sufisme.

Menurut Koentjaraningrat dengan mengutip ahli literatur Jawa dari Belanda, Theodoor Gaudier Thomas Pigeaud (w. 1988), mengatakan bahwa munculnya sastra Jawa tentang Wali Sanga  pada abad 17 bertepatan dengan zaman Mataram. Jadi cerita Wali Sango belum muncul pada zaman Majapahit dan Kesultanan Demak. Karena itu cerita tentang para wali yang membangun masjid Demak -seperti disebutkan dalam sastra Babad Demak atau Babad Tanah Jawa adalah rekaan semata. Ini versi penulis Belanda yang lahir di Jerman tahun 1899 itu.

Dengan demikian nampak bagi priyayi Jawa peralihan agama bukan masalah yang mendasar. Tetapi yang terpenting adalah melestarikan tradisi budaya kejawen ini. Sebab budaya intelektual kejawen yang bersifat Hinduistik merupakan sendi kebesaran Kerajaan Mataram.

Bahkan dalam cerita wayang sifat kehinduan dikompromikan dengan Islam. Misalnya dalam Babad Demak dikisahkan ketika Sunan Kalijaga mengembara di hutan untuk mencari pohon dijadikan tiang masjid Demak. Konon ada raja Amarta yang belum mau mati sebelum mengerti makna pusaka layang kalimasada (kalimah syahadat). Cerita ini tentu menggambarkan bahwa dalam ajaran mistik panteistik semua agama dianggap sama benarnya. Dalam tasawuf paham ini dikenal dengan  wahdat al-adyan.

Sedangkan pergulatan Islam dengan tradisi kehidupan masyarakat Nusantara, khususnya di Jawa sampai kini masih sangat kuat. Orang-orang pedesaan yang telah diislamkan guru agama ( di Jawa di sebut dengan istilah Kyai) sebenarnya sudah sangat terbiasa dengan kepercayaan terhadap ruh bersifat aktif dalam religi animisme-dinamisme.

Jadi ini bertentangan dengan konsep tauhid Islam yang menganut paham ruh pasif. Kepercayaan kepada ruh orang-orang yang telah meninggal dunia yang dianggap tetap hidup sebagai wadaq halus.

Dalam kaitan ini Koentjaraningrat menjelaskan keyakinan agama suku-suku di Nusantara khususnya masyarakat Jawa terhadap kematian dan alam baka bahwa tidak lama setelah orang meninggal jiwanya akan berubah menjadi makhluk halus (ruh) disebut lelembut yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya.

Makhluk halus itu lama-kelamaan akan pergi dari tempat itu dan pada saat-saat tertentu keluarganya mengadakan slametan untuk menandai jarak yang telah ditempuh ruh itu menuju alam ruh tempatnya yang abadi. Namun ruh dapat dihubungi kaum kerabat serta keturunannya setiap saat bila diperlukan.

Ruh yang tidak mendapat tempat di alam ruh karena tingkah-lakunya yang tidak baik semasa hidupnya akan tetap berkeliaran di sekitar tempat tinggal manusia sebagai ruh jahat yang menggangu manusia, pembawa penyakit dan kesengsaraan. Banyak orang Jawa dan mungkin juga Suku Sunda di pedesaan yakin bahwa ruh orang yang meninggal secara tidak wajar (misalnya gantung diri) tidak akan mencapai alam ruh dan akan tetap berkeliaran untuk selama-lamanya.

Keyakinan ini rupa-rupanya tidak hanya terdapat di daerah pedesaan di Jawa saja tetapi juga di tempat-tempat lain di Indonesia. Bahkan mengenai keyakinan tentang beragam ruh jahat yang dihubungkan dengan (mati) kecelakaan dan kematian yang tidak wajar yang ada di sejumlah besar kebudayaan suku bangsa di Indonesia, telah dikumpulkan seorang ahli etnologi bangsa Jerman, H.J. Sell.

Di antara selamatan yangg dilaksanakan karena salah seorang keluarga yang meninggal dunia adalah upacara selamatan surtamah (hari kematian atau penguburan jenazah), tiga hari setelah kematian, mitung dinani (selamatan hari ketujuh), upacara selamatan 40 hari, nyeratus hari, nyetahun (satu tahun dari kematian), dan seterusnya hingga nyeribu (1.000) hari.

Sinkretisme dalam upacara-upacara tradisional lainnya juga cukup banyak. Misalnya selamatan kelahiran seorang bayi (anak), perkawinan, dan upacara tradisional sehubungan dengan hari-hari besar dalam Islam, seperti muludan, ruwahan, selamatan malam selikuran (menyongsong lailatul qadar), selamatan hari raya fitrah, hari raya haji, bahkan tradisi kejawen yang berkaitan dengan religi animisme-dinamisme ternyata bersinkretis dengan unsur-unsur Islam dengan doa dari para modin (Ustad, Kyai, Haji) dengan tradisi zikiran masyarakat pesantren.

Sinkretisme antara tradisi lama  dengan ajaran Islam dalam masyarakat pesantren semacam ini tidak hanya khas di Jawa. Di luar Jawa seperti di Sumatra Barat dengan budaya Melayu pada umumnya, terjadi juga pelestarian adat istiadat pra-Islam.

Jadi adat istiadat lama tetap terjalin dengan ajaran Islam. Dalam ungkapan bahasa Minang misalnya dikatakan “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah”. Ungkapan ini menunjukkan ketahanan warisan adat istiadat pra-Islam yang sinkretis dengan ajaran Islam.

Mengapa hal itu bisa terjadi. Ternyata bahwa adat istiadat pra-Islam tidak dihilangkan ketika seseorang memeluk agama Islam bahkan kemudian adat lama itu diislamkan atau diselaraskan dengan tradisi Islam. Bentuk-bentuk sinkretis ini juga terjadi dalam peringatan hari-hari besar Islam, seperti Garebeg mulud, Garebeg pasa (hari raya fitrah), Garebeg Besar, dan Tanggap Warsa (menyambut tahun baru Jawa, Sura).

Jadi dalam upacara resmi kerajaan itu pun muncul bentuk sinkretisme keagamaan. Yakni perpaduan aspek Islam dengan alam pikiran dan tradisi lama, seperti pengkeramatan upacara selamatan (wilujengan). Sebab itu Prof. Koentjaranngrat mengatakan bahwa upacara-upacara selamatan seperti muludan, kelahiran, perkawinan, dan kematian memiliki aspek sosial-religius yang sangat efektif dan sulit dihindari masyarakat kejawen.

Bagi masyarakat pedesaan tradisional adat istiadat keagamaan memilki daya pengikat yang kuat (integrasi social). Meninggalkan tradisi berarti mengancam kelanggengan eksistensi masyarakatnya. Islam yang harus dihidupkan dalam masyarakat tertentu bergulat dengan adat-istiadat tradisional yang umumnya bersendi kepercayaan mitologis.

Dalam pergulatan ini sangat mungkin unsur-unsur Islam dihilangkan untuk ramuan tradisi budaya. Mungkin pula Islam ditumpangi unsur tradisi lama seperti dalam masyarakat Islam pesantren.

Kemungkinan ketiga, Islam membimbing masyarakat ke arah peng-Esaan Allah Swt, yang berarti membebaskan masyarakat dari kepercayaan khurafat dan tradisi bid’ah. Fungsi ketiga ini di Jawa tampak sesudah munculnya gerakan pembaruan Islam awal abad ke-20. Lahirnya ormas Islam Persyarikatan Muhammadiyah, Persis, dan Al – Irsyad berupaya “memurnikan” pemahaman tauhid dan membebaskan bentuk-bentuk khurafat dan bid’ah sebagaimana sudah dimulai ulama Nusantara abad ke-17-18 dan seterusnya misalnya Syaikh Yusuf al-Makassari (w. 1699) dan Syaikh Abdush Shamad al-Palembani (w. 1789).

Dengan uraian di muka dapat dipahami bahwa mengapa lingkungan budaya istana kejawen tetap mempertahankan falsafah “raja titisan dewa” (God-king) dengan mitologi kuno warisan zaman Syiwa-Budha. Memang dalam pandangan rakyat mitologi Nyai Rara Kidul pusaka yang dikeramatkan dan upacara tradisional masa lalu merupakan alat politik yang amat efektif untuk melanggengkan wibawa kerajaan Jawa tradisioanal.

Sedangkan pengaruh Barat terhadap budaya Indonesia dari kubu budaya Islam kejawen muncul dua kelompok: nasionalis sekuler (netral agama) dan aliran komunis yang berpaham sekularis-radikal atau bahkan atheis. Sedangkan kubu Islam pesantren terpecah menjadi dua kelompok, yaitu Islam modernis dan Islam tradisonalis.

MENANGKAP JIWA ZAMAN

Bahwa kenyataan sejarah yang sering dilupakan para penerus  Persyarikatan Muhammadiyah dan mungkin kaum muslim Indonesia umumnya pegiat sosial-keagamaan bahwa K.H. Ahmad Dahlan (w. 1923) sangat toleran dengan praktik keagamaan zamannya sehingga dia dapat diterima semua golongan.

Sebagai seorang santri dia menjadi pengurus BO (Budi Utomo), mengajar agama untuk murid-murid Kweekschool dan dengan mudah bergaul dengan orang-orang BO yang pasti dari golongan priyayi yang cenderung abangan.

Terbukti ketika pada 1914 dia bermaksud mendirikan sekolah Muhammadiyah di Karangkajen, Yogyakarta, teman-temannya di BO meminjamkan uang dan menyediakan diri menjadi penjamin supaya pinjaman dari bank (Darmo Konda, 12 Desember 1914). Akan tetapi orang hanya mengingatnya sebagai tokoh “pemurnian” Islam yang konsekuen dengan gagasannya. Namun rupanya Islam “murni” hanya berlaku untuk dirinya sendiri dan orang-orang yang sepaham tetapi tidak untuk orang lain.

Pada waktu itu Muhammadiyah menghadapi tiga front yaitu Modernisme, tradisionalisme, dan Jawaisme. Modernisme sudah dijawab dengan pendirian sekolah-sekolah (termasuk HIS met de Qur’an dan Schakel School di Wuluhan itu), kepanduan, dan Voluntary Association lainnya. Mengenai model jawaban terhadap tradisionalisme dan jawaisme langkah K.H. Ahmad Dahlan akan dibicarakan di bawah ini.

Pertama, terhadap tradisionalism Dahlan menggunakan metode tabligh (menyampaikan) dengan mengunjungi murid-muridnya, tak menuggu mereka datang untuk belajar. Padahal zaman itu “guru mencari murid” adalah aib sosial-budaya. Dahlan yang menjadi Ketua Hoofd-Bestuur Muhammadiyah beberapa tahun bermukim di Mekkah, relatif cukup umur (lahir 1868), Khatib Masjid Besar Kesultanan, anggota pengadilan  agama Kesultanan, penasihat agama CIS (Syarikat Islam), sebenarnya sudah berhak menjadi guru yang didatangi murid.

Tetapi tidak dia memilih mengunjungi para muridnya. Penampilannya tidak lebih dari guru mengaji kalua masa now. Surat kabar yang terbit di Solo, Bromartani, pada 2 Zulkaidah (?) 1915 memberitakan bahwa dia mengajar anak-anak perempuan di Solo, kemudian pada 8 september 1915 dia dikabarkan mengantar murid-murid berkreasi di Sri Wedari.

Tabligh yang sekarang tampak sebagai perbuatan biasa pada waktu itu adalah sebagai perbuatan yang luar biasa. Setidaknya tabligh mempunyai dua implikasi yaitu perlawanan tak langsung terhadap  idolatri (pemujaan tokoh) ulama dan perlawanan tak langsung terhadap mistifikasi agama (agama dibuat misterius).

Seperti diketahui pada waktu itu kedudukan ulama dalam masyarakat Jawa sangat tinggi. Mereka adalah mediator antara manusia dengan Tuhan, elite agama dalam masyarakat dan guru (ditiru dan digugu) yang menyampaikan agama. Kalau kedudukan sebagai elite dan guru adalah konsekuensi sosial dari keulamaan mereka, maka kedudukan sebagai mediator itulah yang terancam kegiatan tabligh.

Tabligh menjadikan penyampaikan agama sebagai orang sehari-hari yang tidak keramat. Kegiatan menyiarkan agama telah dibuat kamanungsaan, kekeramatan ulama badhar (batal) oleh tabligh. Monopoli ulama atas agama yang dimungkinkan  budaya lisan dihilangkan tabligh.

Selanjutnya tabligh juga merupakan perlawanan tak langsung terhadap mistifikasi agama, yaitu pengaburan agama. Agama yang dianggap misterius, tinggi, dan adiluhulung yang hanya patut diajarkan orang-orang terpilih (Ajengan, Habib, Teungku, Buya, Guru, Kiai, Tuan Guru).

Dengan tabligh agama yang semula misterius menjadi agama yang sederhana, terbuka, dan accessible (terbuka) bagi setiap orang. Agama yang semula bersifat esoteris-mistis milik kaum virtuosi (spesialis) menjadi agama etis-rasional milik semua orang (awam dan bukan awam).

Tradisi tabligh Dahlan itu dilembagakan dalam pendidikan guru agama. Mula-mula dalam Kweekshool Muhammadiyah (1918) kemudian menjadi Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah dan Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah (1930). Lulusan sekolah-sekolah itu dikirim ke daerah-daerah untuk bertabligh. Para muballigh tentu saja termasuk ahli syariah, sekalipun tidak pernah disebut sebagai virtuosi, tetapi qua ilmu (penguasaan ilmu agama) mereka sebenarnya sudah pantas disebut demikian.

Kedua, dalam menghadapi Jawaisme Dahlan menggunakan metode positive action (dengan mengedepankan amar ma’ruf) dan tidak secara frontal menyerangnya (nahi munkar). Dalam Suwara Muhammadiyah Tahun I, Nomor 2, 1915 artikel tentang macam-macam shalat sunnat, dia menyebutkan bahwa keberuntungan (Begja, Rahayu) itu semata-mata karena kehendak Tuhan dan shalat sunnat adalah salah satu jalan meraihnya.

Itu berarti bahwa keberuntungan tidak disebabkan Pesugihan (jimat kaya), minta-minta di kuburan dan memelihara tuyul. Ini artinya bahwa sikap dan tindakan demitologisasi dan karena itu mitos-mitos ditolak. Rupanya dia sadar betul bahwa cita-cita kemajuan yang waktu itu sedang populer akan mendapat tempat sehingga diberantas atau tidak takhayul dengan sendirinya akan hilang.

Kasus yang mungkin mendapat petunjuk tentang sikap “mengerti berarti memaafkan” terhadap Jawaisme adalah Kasus Djawi Hisworo –koran yang terbit di Solo– tahun 1918. Kasus ini berkisar pada tulisan Joyodwikoro dalam Djawi Hisworo pada 9 dan 11 Januari 1918 No. 5. Tulisan itu mengatakan bahwa Kanjeng Nabi ada dalam keadaan mabuk waktu menerima wahyu.

Redaktur Djawi Hisworo, Raden Martodharsono, memberi catatan bahwa tulisan itu bisa jadi akan menimbulkan salah paham bagi kebanyakan orang. Namun, tidak urung Syarikat Islam (SI) pimpinan HOS Tjoktoaminoto pada 24 Februari 1918 bereaksi keras. Di mana-mana dibentuk Comitte Tentara Kanjeng Nabi Muhammad dan rapat-rapat diselenggarakan untuk memprotes Djawi Hisworo menuntut supaya redaktur dan penulisnya diadili. Rapat-rapat selalu dihadiri banyak orang suatu hal yang belum pernah terjadi. Misalnya ada 5000 orang di Sumenep, 1000 orang di Bangkalan dan 800 di Sampang Madura.

Martodarsono dikabarkan dapat menunjukkan surat dukungan dari K. H. Ahmad Dahlan. Asli atau tidak surat itu, yang penting bahwa setidaknya hal itu mengindikasikan Dahlan pastilah terkenal sebagai pribadi yang toleran pada Jawaisme.

Akhirnya redaktur dan penulisnya tidak bisa diadili sebab tulisan itu bukan penghinaan kepada agama lain karena keduanya beragama Islam. Lagi pula mereka ada di bawah yurisdiksi Sunan Solo dan bukan di bawah pemerintah Hindia Belanda.

 Mengutip Prof. Abdul Mu’ti (2009: 25-35) bahwa pelajaran yang bisa diambil dari perjalanan hidup KH. Ahmad Dahlan adalah  berjuang dari dalam (struggle from within). Jadi agak berbeda dengan ulama sezamannya yang melakukan perlawanan dan berseberangan dengan penguasa. Beliau melakukan perlawan denga mengadakan pembaharuan paham keagamaan dan masyarakat. Sebab itulah beliau ikut berbagai aktivitas oramas kebangsaan lain seperti BO, Al-Irsyad, bahkan aktif mengajar agama di Kweekschool, sekolah guru di Jetis, Yogyakarta dan  OSVIA, sekolah pamong praja di Magelang. Sebab itulah Belanda tidak melihat Muhammadiyah sebagai sebuah ancaman.

Dahlan selalu membangun tradisi dialog baik dengan internal umat Islam dan bahkan banyak berteman dengan para pendeta dan misionarisKristiani. Selain saling berkunjung, Dahlan juga sering berdialog dengan mereka. Dengan dialog diharapkan ada peningkatan wawasan pengetahuan, perbandingan, dan saling pengertian agar lahir saling menghormati  serta proses penyebaran agama tidak saling menyakiti. Dalam konteks inilah Dahlan heran mengapa para tokoh agama selalu megambil keputusan sendiri-sendiri tanpa mengadakan pertemuan  antar mereka dan tidak mau bertukar pikiran, membicarakan mana yang benar dan mana yang salah.

Dahlan selalu megambil solusi jalan tengah dalam memecahkan masalah.  Case Grebek Pasa  di atas mencontohkan bahwa Muhammadiyah tidak anti terhadap tradisi (kulturfeinndlich). Dan memang kenyataannya bahwa pada masa awalnya Muhammadiyah bersikap toleran dan akomodatif terhadap budaya yang bersifat sinkritik. Bagi Mu’ti sikap akomodatif inilah yang menjadi salah satu kunci mengapa gerakan purifikasi Islam dapat diterima  dan berkembang pesat di tengah sinkritisme masyarakat Jawa. Dan ini pula kritik Mu’ti bahwa purifikasi akidah yang “over”  dalam beberapa kasus membuat Muhammadiyah dan pengikutnya cendrung kurang “ramah”  terhadap tradisi keagamaan  dan hal-hal yang dikhawatirkan merusak akidah.

PENUTUP

Demikianlah dengan memahami proses pembentukan kebudayaan Indonesia di atas dan bercermin kepada cara Dahlan menangkap jiwa zaman dalam membawa pesan Islam (dakwah) kepada masyarakat  penulis pikir untuk sekarang dan mendatang diperlukan “kecerdasan” kepada semua ormas Islam khususnya aktivis Persyarikatan Muhammadiyah atau pegiat sosial keislaman lainnya ketika ingin membumikam kehendak Tuhan kepada masyarakat. 

Jadi sebuah kebutuhan bagi para pegiat-sosial keagamaan (Majelis Tabligh) untuk memahami budaya dan tradisi masyarakat setempat ketika ingin menyampaikan visi dan misi Islam. 

Aksiomanya adalah Alquran dan hadis tak mungkin salah. Ini artinya bahwa   kalau sampai Islam ditolak masyarakat masalahnya terletak pada strategi dan metode penyampaian yang dilksanakan pegiat sosial keagamaan itu (para muballigh). Dalam konteks inilah pentingnya sebuah Peta Dakwah sebagaimana telah dicontohkan pegiat social dakwah keislaman Para Wali Songo mengapa mereka sukses menyebarkan Islam di Nusantara. 

Persoalannya adalah  mengapa contoh baik dari Wali Songo dan KH Ahmad Dahlan ini tidak diikuti kebanyakan para penerusnya sekarang ini. Apakah karena perbedaan CC intelektual dan wawasan keislaman atau ada hal di luar masalah-masalah yang berkaitan dengan pengembangan dakwah Islam itu sendiri. Ini perlu menjadi perhatian sungguh-sungguh ornas Islam dan para pegiatan Islam.

Bukankah zaman now adalah zaman di mana budaya industri dan budaya informasi serta dunia digital merupakan budaya progresif sebagai landasan kehidupan masyarakat modern yang harus dijawab para ormas Islam dan pegiat social dakwah Islam. Allah ‘Alam bi al-Shawab

Saidun Derani, Aktivis PWM Banten 2022-2027, Dosen Pascasarjana UM-Surby dan UIN Syahid Jakarta


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Amirsyah Tambunan Ketua Majelis Pendayagunaan Wakaf Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dosen Univer....

Suara Muhammadiyah

29 January 2024

Wawasan

Salah Kaprah tentang Nasikh dan Mansukh (2) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Univers....

Suara Muhammadiyah

17 April 2024

Wawasan

Menggiring Jamaah Berbondong ke Masjid dengan Memperbaiki Manajemennya Oleh: Amidi, Dosen FEB Unive....

Suara Muhammadiyah

15 April 2024

Wawasan

Menggalang Energi Pemimpin Muhammadiyah untuk Memperkuat Persyarikatan Oleh: Agus Setiyono  M....

Suara Muhammadiyah

25 November 2023

Wawasan

Anak-Anak, Kerupuk, dan Kemerdekaan Oleh : Afita Nur Hayati, Bekerja di Universitas Islam Negeri Su....

Suara Muhammadiyah

19 August 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah