Al Muwaththa’ dan Identitas Sunni
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Satu keunikan di antara salah seorang tokoh pendiri empat madzhab Sunni, Malik bin Anas (wafat 795), penulis Al-Muwaththaʾ, bahwa dia bukanlah sosok kontroversial dan dicintai oleh banyak orang. Artikulasi paling awal dari kalangan Sunni mengenalinya sebagai pilar identitas Sunni, meskipun ada sejumlah pihak yang tetap saja menaruh curiga padanya, seperti murid-murid Abu Hanifah—Muḥammad bin Al-Hasan Al-Shaybani (w. 805) dan Abu Yusuf (w. 798). Namun ini tidak bisa mencegah orang berbondong-bondong mencari kitab Muwaṭṭaʾ dan mencuri kesempatan untuk belajar dengan Imam Malik.
Malik bin Anas menjadi sosok yang diterima secara universal di kalangan Sunni. Kitab Al-Muwaththaʾ yang ditulis oleh Malik bin Anas merupakan koleksi tulisan yang memberikan fondasi bagi penalaran hukum Sunni. Pada saat yang sama, pendekatan hukum Malik bin Anas dalam Muwaththaʾ menantang pendekatan Abu Hanifah yang mengadopsi metode yang berbeda.
Sentralitas dan universalitas Malik bin Anas ditandai oleh perdebatan ilustratif, meski terkesan marjinal dan kocak, di antara para sarjana Sunni non-Maliki. Dalam bab jual beli dalam Muwaththaʾ, Malik bin Anas meriwayatkan dari gurunya Nafiʿ, dari sahabat Ibnu ʿUmar yang mendengar Nabi SAW bersabda, “Jangan mengajukan tawaran setelah orang lain membuat tawaran yang tegas”(#2105). Murid Malik bin Anas paling terkenal Syafii (w. 820) menceritakan hadits ini dari Imam Malik dalam kitabnya. Dan murid Syafii paling termasyhur Ahmad bin Hanbal menceritakan hal tersebut dari gurunya dalam koleksi haditsnya yang terkenal, Musnad.
Tetapi apakah nama-nama ini benar-benar murid terhebat atau paling terkenal dari guru-guru mereka? Seperti yang dinyatakan oleh ulama madzhab Syafii, Tajuddin al-Subki (w. 1370), orang dapat menyebutkan nama-nama murid Syafii selain Ahmad bin Hanbal yang berusaha mengembangkan madzhab Syafii alih-alih mendirikan (bahkan secara tidak sengaja) saingan madzhab Hanbali. Termasuk masalah yang belum tuntas bahwa murid Malik bin Anas yang paling terkenal adalah Syafii.
Para kritikus hadits menilai rantai periwayatan atau transmisi ke Nabi SAW melalui Malik bin Anas, dari Nafiʿ, dari Ibnu ʿUmar menjadi salah satu yang paling sahih, jelas dan terpercaya. Sementara salah satu ulama madzhab Syafii besar dari Khurasan, Abu Manshur Al-Baghdadi (w. 1037-8), mengutarakan bahwa rantai yang paling jelas adalah Syafii, dari Malik bin Anas, dari Nafiʿ, dari Ibnu ʿUmar, dan dari Nabi SAW.
Hematnya, ini sangat jelas karena para sarjana Hadits telah mencapai konsensus bahwa perawi yang paling terkenal dan terhebat dari Imam Malik adalah muridnya Syafii. Sarjana lain, Abu Bakar Al-Hazimi (w. 1188-9), menyusun buku narasi Hadits Ibnu Hanbal dari Syafii dan dengan percaya diri menamainya Silsilat Al-Dzahab (Rantai Emas).
Ahli fikih dan sarjana Hadits madzhab Hanafi dari Cairo, Mughulthay (w. 1361) membantah klaim demikian. Menurutnya, jika kita melihat orang-orang yang mentransmisikan Muwaththaʾ dari perspektif ahli hadits, apakah Syafii benar-benar yang paling berhasil? Dan dalam hal nama besar, fakta bahwa Abu Hanifah telah menceritakan Hadits dari Malik bin Anas secara langsung menggugurkan klaim-klaim tentang kebesaran Syafii.
Memang bahwa Abu Hanifah telah meriwayatkan satu atau dua hadits dari Malik bin Anas, sebagaimana yang diakui oleh dua sarjana hadits madzhab Syafii, Al-Daraquthni (w. 995) dan Al-Khathib Al-Baghdadi (w. 1071). Dan seperti yang sering diingatkan oleh para ulama Hanafi, apakah Abu Hanifah tidak menikmati kedudukan yang tak tertandingi dalam kompetisinya?
Berbeda dengan Imam Malik atau sarjana awal lainnya, Abu Hanifah sebenarnya telah meriwayatkan hadits langsung dari setidaknya satu sahabat Nabi SAW, yaitu Anas, meskipun sejarawan Muslim non-Hanafī membalas bahwa dia hanya melihat Anas dan tidak benar-benar menceritakan Hadits-Hadits darinya. Hal ini tentu telah menempatkan Abu Hanifah di atas periwayat Hadits atau periwayat lain dari Muwaththaʾ Imam Malik.
Tidak menunggu lama, para kolega Mughulthay di Mamluk Mesir yang juga merupakan para pengikut Syafii mengumumkan keberatan mereka. Ibnu Hajar (w. 1449) yang disebut-sebut sebagai ‘master Hadits’ menilai bahwa riwayat-riwayat Hadits Abu Hanifah dari Malik bin Anas belum ditetapkan secara meyakinkan (lam tathbut). Banyak sarjana Hadits sebenarnya meragukan akurasi rantai transmisi yang membuktikan bahwa Abu Hanifah telah meriwayatkan Hadits dari Malik bin Anas.
Guru terkenal Ibnu Hajar, Zaynuddin Iraqi (w. 1404) telah menegaskan bahwa kalau pun kita mengakui bahwa Abu Hanifah telah meriwayatkan Hadits dari Malik bin Anas, dua riwayat yang dikutip sebagai bukti tidak dilanjutkan dari Malik bin Anas ke Nabi SAW melalui rantai emas Nafiʿ, dari Ibnu ʿUmar. Jadi, bukankah ini masalah yang masih diperdebatkan?
Figur yang dianggap mampu menangkis serangan ini dan memulihkan posisi Hanafi dalam perdebatan marjinal ini adalah Mehmet Zahid Kevseri (w. 1952). Dia adalah seorang pejabat akademik senior terakhir (shaykh dars) dari Kekaisaran Ottoman dan seorang sarjana Hadits yang penguasaannya atas ilmu-ilmu dan manuskrip Islam terus memukau para peneliti hingga hari ini. Kevseri telah menulis banyak risalah yang menyoroti keunggulan madzhab Hanafi. Seorang hakim dan cendekiawan Islam yang terkenal dari Suriah, ʿAli Al-Thanthawi (w. 1999) menggambarkan Kevseri dengan penuh pujian, ‘Setelah saya bertemu dengannya, saya tidak lagi belajar dengan orang lain” ungkapnya. Tapi dia memiliki dua kekurangan yang fatal: kekaguman butanya kepada Abu Hanifah dan kebenciannya terhadap Ibnu Taymiyyah.
Benar saja, pada tahun 1941 Kevseri menyusun risalah pendek berjudul The Firmest Path on Malik’s Narration from Abu Hanifa and Abu Hanifa’s Narration from Malik. Di dalamnya Kevseri dengan cermat menggali naskah-naskah yang tidak jelas bahkan masih diragukan untuk membuat klaim tertentu yang masih diperdebatkan, yaitu bahwa Abu Hanifah dan Malik bin Anas telah bertemu satu sama lain di Madinah, membahas hukum Islam dan teologi secara panjang lebar dan menghargai satu sama lain. Namun hasil positif menyangkut masalah transmisi Hadis tidak tampak. Kevseri adalah seorang sarjana yang terlalu melihat masalah masa lalu lewat klaim. Dia menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang terpercaya bahwa Abu Hanifah meriwayatkan banyak Hadits dari Malik bin Anas.
Diketahui bahwa putra Abu Hanifah, Hammad, telah belajar dengan penulis Muwaththaʾalias Imam Malik. Dalam kasus salah satu dari dua hadits, nama Imran bin Abdurahim (w. 895) telah (sengaja atau tidak) mengganti bagian rantai Ismail dari (ʿan) Hammad bin Abu Hanifah menjadi Ismail bin Hammad dari (ʿan) Abu Hanifah. Kevseri dengan tegas menganggap seluruh argumen ini konyol. Seperti yang kerap ditunjukkannya pada banyak tulisan lain, kaum Muslim di seluruh dunia sungguh berhutang budi kepada Abu Hanifah menyangkut hukum dan teologi. Menceritakan Muwaththaʾ atau Hadits mana pun lewat sosok dan personalitas Imam Malik adalah sebuah berkah tersendiri. Tapi, seperti yang dicatat Kevseri, bahwa tidak ada keberkahan dengan mengklaim rantai transmisi yang dibuat-buat atau palsu.
Banyak sarjana Muslim telah mencurahkan waktu, bahkan menulis risalah pendek untuk mengeksplorasi sejauh mana mereka dapat menegaskan hubungan intelektual dengan Imam Malik. Terlepas apakah itu dianggap relatif renggang atau marjinal, mereka berbicara banyak tentang status Imam Malik dalam tradisi Sunni. Sungguh pun posisi Imam Malik dalam pemikiran Sunni kontemporer tidak cukup legendaris bahkan ada yang menggapnya semu, hal itu seharusnya tidak mengalihkan perhatian kita untuk mengenali peran sangat nyata yang dilakoni Imam Malik dalam pengembangan awal jurisprudensi Sunni dan tradisi Hadits.
Muwaththaʾmemainkan peran penting dalam mengonsolidasikan apa yang akan menjadi identitas Sunni. Ketersediaan terjemahan baru kitab ini akan membuka jendela secara lebih langsung kepada mahasiswa atau sarjana Muslim untuk menelaah pembentukan identitas Sunni awal dan peran Imam Malik dalam proses itu.