Bagaimana Muslim Memahami Hadits
Oleh: Donny Syofyan
Hadits adalah sumber penting dalam hukum Islam. Ia menjelaskan cara berdoa, cara makan, dan hal-hal lainnya. Jadi, apa yang dimaksud dengan hadits dan peran apa yang dijalankan hadits dalam kehidupan Muslim? Pada dasarnya, hadits adalah riwayat, catatan atau laporan tentang sesuatu yang dikatakan Nabi Muhammad SAW, sesuatu yang beliau lakukan, sesuatu yang diperbuat di hadapannya yang beliau tidak keberatan.
Umat Islam mengumpulkan informasi semacam ini dan menggunakannya sebagai prioritas untuk hukum Islam. Hadits adalah tambahan tapi terpisah dari Al-Qur’an itu sendiri. Kita ingin tahu apa dan bagaimana Nabi berkata atau melakukan sesuatu. Ketika beliau berada di meja makan, apa yang beliau katakan? Dan apa yang beliau katakan ketika pergi ke pasar dan hal-hal lainnya? Jadi kita perlu mengetahui perbedaan antara Al-Qur’an di satu sisi dan hadits di sisi lain.
Beberapa masalah muncul, seperti fenomena pemalsuan hadits. Orang-orang mengutip hal-hal yang mereka ingat dari Nabi Muhammad SAW, apa yang beliau katakan dan lakukan. Hampir seperti saudara-saudara kita dari Kristen yang bertanya apa yang akan Yesus lakukan dalam situasi tertentu. Kaum Muslimin mulai mengutip apa yang dilakukan Nabi SAW. Tetapi orang terkadang salah ingat. Ada kalanya orang membuat sesuatu yang baru atau ingin menghasilkan sesuatu yang sensasional. Dari sinilah upaya pemalsuan hadits menemukan jalan masuk.
Orang-orang memalsukan ucapan yang dianggap berasal dari Rasulullah SAW dan mengedarkannya. Ada yang diterima dengan baik oleh masyarakat Muslim. Inilah yang mendorong para ulama atau ilmuwan Muslim untuk mengkaji hadits. Mereka menyaring apa yang benar-benar dari Nabi SAW dan apa yang telah dibuat-buat oleh orang lain. Para sarjana Muslim ini mengumpulkan koleksi hadis besar, yang diyakini sebagai ucapan Nabi SAW yang baik dan otentik, berbeda dari bahan-bahan lain yang mengambang di lautan riwayat. Ada yang dipalsukan, tapi beberapa juga asli.
Kita memiliki beberapa koleksi utama. Dua dianggap paling sahih atau otentik, yakni Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Kita juga memiliki empat kitab lainnya yang merupakan bagian dari apa yang disebut "al-Sittah" atau kitab yang enam, yaitu Sunan Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasa'i dan Sunan Ibnu Majah. Ada koleksi lain juga, tetapi kitab yang enam ini diakui sebagai kitab hadits otentik dan otoritatif yang digunakan secara luas.
Tapi ini bukan bermakna tanpa masalah. Sejumlah pihak dari kalangan umat Islam menilai kitab-kitab ini ini juga mengandung riwayat yang bermasalah dari sudut pandang modern. Kita tentu tidak akan membungkuk dan mengubah agama kita hanya untuk menyenangkan orang lain. Sebagai Muslim kita harus mengikuti apa yang Allah perintahkan dan apa yang dikatakan Rasulullah Muhammad SAW sebagai bagian dari wahyu yang diterimanya dari Allah. Meskipun demikian, kita perlu melihat pelbagai riwayat yang menimbulkan masalah bagi banyak orang.
Kemurtadan bukanlah hal yang sederhana. Hari ini kita melihat banyak Muslim yang murtad karena kekecewannya kepada hadits. Beberapa dari mereka mengunggah video di YouTube yang menjelaskan mengapa mereka murtad dengan mengaitkannya dengan hadis sebagai sumber kemarahan mereka. Kita perlu menganggap isu ini serius. Apakah ini benar-benar menyebabkan masalah bagi umat Islam?
Kita juga menyasikan banyak orang yang menyerang Islam. Mereka menghantam hadits. Itu dapat menciptakan masalah di benak anak-anak muda khususnya di YouTube dan di internet secara lebih umum. Kadang-kadang kita berhadapan dengan figur-figur antagonis yang bersikeras pada hadits tertentu dan memaksa kita menerima periwayatannya.
Kita perlu menyajikan pendekatan yang seimbang. Di satu sisi, benar bahwa kita menggunakan hadis seputar berdoa, berhaji, beramal, berpuasa dan sebagainya. Kita menggunakan hadits-hadits itu karena tidak berbahaya. Tapi begitu ada hadis bermasalah. Kita sejatinya tidak dibatasi oleh keimanan kita untuk menerima riwayat hadits tertentu. Ini adalah posisi umum di kalangan umat Islam.
Sebagian besar umat Islam menjalani ajaran-ajaran Islam dengan serius. Mereka berdoa, shalat, puasa, berzakat, menghormati orang lain sesuai dengan hadits. Tetapi jika mereka menemukan hadis yang bermasalah, sikap umum yang berlaku di kalangan umat adalah mengesampingkannya. Sebagai misal, ada hadits yang mengatakan bahwa Aisyah menikah dengan Nabi SAW ketika dia berusia sembilan tahun. Bagi perspektif mayoritas, usia sembilan tahun bukanlah usia dewasa untuk menikah. Banyak yang mengabaikan hadits ini, dan sikap itu tidak masalah bagi kalangan Muslim.
Ini menjadi semacam teka-teki bagi orang-orang yang mencoba untuk mencari akar masalah. Bagi sebagian umat Islam ini tidak masalah. Mereka shalat, berpuasa, dan beramal saleh. Mereka melakukan semua yang dituntut oleh Islam. Mengapa repot-repot dengan narasi atau riwayat hadits lain yang tidak masuk akal? Tetapi bagi generasi muda yang mencoba memahami dan berbuat secara rasional, mereka ingin mencari tahu ada apa jika ada hadits yang tidak masuk akal. Bila ada yang tak rasional, lalu bagaimana dengan hadits-hadits lainnya?
Mereka agaknya ingin menerapkan prinsip yang dinyatakan dalam Kitabullah, “Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur'an? Sekiranya (Al-Qur'an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya” (QS 4: 82). Ketika anak-anak muda memiliki pola pikir ini, mereka memperjuangkan Al-Qur’an. Bagi mereka, Al-Qur’an bebas dari semua pertentangan, karena itu dari Allah. Dan jika ada pertentangan, maka itu bukanlah berasal dari Allah.
Para sarjana Muslim umumnya memahami bahwa kita tidak dapat mengambil semuanya dari hadits. Kita perlu mengontekstualisasikannya atau menggunakannya untuk tujuan yang berbeda. Mereka menyadari bahwa banyak hadits bakal bermasalah jika dikutip di luar konteksnya. Oleh karena itu, para sarjana Muslim melakukan dua hal. Pertama, mereka akan secara selektif menyajikan hadis yang tidak mengandung masalah secara umum. Umat mendapat kesan bahwa setiap hadits yang pernah didengar adalah yang baik. Artinya, hadits secara umum baik.
Kedua, jika para sarjana Muslim menyajikan hadis yang bermasalah, maka mereka akan melakukannya untuk tujuan pembelaan. Mereka akan menyebutkan beberapa prinsip-prinsip untuk memahami dan mendekati hadits, semisal, “Mari kita berasumsi bahwa hadits ini dari Allah melalui Nabi Muhammad. Jadi pasti benar.” Mereka menggunakan penyangga untuk membuat suatu hadits pantas dan relevan. Namun bagi kalangan medioker dan pragmatis dalam beragama, mereka akan melihat hadits-hadits secara keseluruhan dari sudut skeptis. Bagi yang menatap hadits-hadits ini tidak masuk akal, maka ini akan membuka pintu menuju pemurtadan.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas