Anak Kampung: Belajar Bersama Prof Romo KH Abdul Mu’ti

Publish

21 October 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1317
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Anak Kampung: Belajar Bersama Prof Romo KH Abdul Mu’ti 

Oleh: Saidun Derani, Dosen Pascasarjana UM-Surabaya dan Aktivis Wakaf Uang Muhammadiyah

Bahwa stigma anak kampung tidak akan maju sudah seharusnya ditinggalkan sebab walaupun sebagai anak kampung mimpi harus mendunia. Demikian hal ini disampaikan Kyai Haji Abdul Mu’ti, Sekretaris PP Muhammadiyah 2015-2027 di Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI) pada 7 Oktober 2024. Anak kampung, tegasnya bahwa berkat Ridha Allah Swt dan belajar keras dapat menjawab masalah itu. 

Stigma anak kampung akan sulit bersaing dengan anak-anak yang berasal dari kota tidak seharusnya menjadi hambatan psikis untuk maju. Padahal keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk sukses di masa depan dan semua itu sangat tergantung bagimana usaha yang dilakukan.

Sebagai contoh hidup saya sendiri anak Dukuh Serabi Kidul, Desa Getassrabi, Gebok, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Listrik saja baru ada pada tahun 1990, sedangkan sinyal telepon baru muncul tahun 2010 itupun harus lari ke sawah. Akan tetapi anak desa itu sudah melanglang buana ke 54 negara  karena hasil proses belajar dan kerja keras  ketika masa muda. (https://muhammadiyah.or.id/2024/10/abdul-muti-ajak-mahasiswa-baru-ptma-lambungkan-mimpi-mendunia/)

Ridha Allah 

Pesan-pesan moral dan motivasi yang disampaikan Guru Besar Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di atas hemat penulis sangat bermakna dilihat dalam konteks disampaikan di tengah-tengah himpitan ekonomi dan kepengapan sosial anak-anak desa yang berkesempatan mengecam pendidikan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang tersebar luas dari Sabang (Aceh) sampai Papua (Irian Barat). 

Dengan jelas beliau mengatakan bahwa keberhasilan dan kesuksesan yang dirasakan sekarang ini karena Ridha Allah dan kerja keras mengejar studi. Sangat agamis sekali penjelasan yang diberikannya. Dan sudah barang tentu bahasa-bahasa agama semacam ini  memberikan dorongan yang sangat kuat dan dahsyat bagi anak-anak yang tingal di pedesaan atau perkampungan kelas sosial menengah ke bawah yang jauh dari hiruk pikuk dunia gemerlapan hidup di perkotaan.

Inilah amalan anak yang solih yang ingin menggapai cita-citanya menjadi manusia adalah tidak melawan Allah dan Rasul-Nya, lalu selalu taat dan patuh kepada kedua orang tua dan guru, tidak mau bengkelai dengan orang gila apalagi yang sedang sakau alias gila-gilaan, tidak mau melawan orang yang punya cuan tanpa seri  secara frontal dan jangan sekali-kali melawan orang yang sedang manggung atau berkuasa. Dalam hal ini strategi dan metode menjadi signifikan untuk sebuah keberhasilan khususnya di bidang pendidikan.

Ada pengalaman yang menarik yang bisa dijadikan rujukan siapa saja yang ingin berhasil (Muflihun), termasuk di dalamnya Abdul Mu’ti kecil adalah amalan Mbah Dahlan (KH. Ahmad Dahlan w. 1923) dan Mbah Hasyim  (KH. Muhammad Hasyim Asy’ari w. 1947) dalam konteks menjadi tokoh Dunia dan Indonesia. 

Mbah Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912 Masehi di kota Yogyakarta dan Mbah Hasyim melahirkan Nahdhatul Ulama tahun 1926 Masehi di Jawa Timur. Keduanya berhasil mengangkat derajat umat Islam Indonesia dari ketertinggalan pendidikan dan harga diri akibat sistem budaya penjajahan yang dikembangkan Belanda dan Jepang.

Dari lembaga pendidikan yang didirikan kedua ulama murid KH. Soleh Darat Semarang (w. 1903 Masehi) ini lahir para pahlawan nasional melepaskan bangsa Indonesia dari jeratan dan ikatan belenggu penjajahan. Dahlan menjawab tuntutan kebutuhan anak-anak muda di perkotaan yang menekuni sekolah beroreintasi Belanda (western)  tanpa meninggalkan akar budayanya sebagai orang Islam sedangkan Mbah Hasyim mengembangkan pendidikan model pondok tanpa harus kehilangan keindonesiaannya.

Sebut saja misalnya Jenderal Besar Soedirman (w. 1950), Bapak Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang menjadi panutan Angkatan Perang Republik Indonesia, merupakan putra Indonesia yang lahir dari rahim lembaga pendidikan Muhammadiyah. Lalu kita mengenal KH. Abdul Wahid Hasyim (w. 1953), yang lembut (hilm) dan cerdas memiliki wawasan yang mumpuni ketika Indonesia membutuhkannya. 

Beliau ini adalah salah seorang Ulama (dari 10 orang ulama-intelektual Indonesia- yang mewakili Umat Islam) mengusulkan pentingnya menyiapkan Para Meliter Islam Indonesia (Hizbullah), yang kemudian disetujui Jepang. Hizbullah inilah yang sangat berperan penting mengusir NICA (Belanda) plus Pasukan Sekutu yang ingin menjajah NKRI kembali ketika BKR/TKR mengalami degradasi moral pada periode Revolusi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949 yang penuh dengan peristiwa-peristiwa penting dan genting.

Mu’ti muda tahu betul dan yakin keberhasilan kedua ulama itu karena adanya Ridha Allah dan Ridha orang tua serta guru. Tradisi manut terhadap petuah kedua orang tua dan guru inilah yang kemudian menjadi amalan yang didawamkannya dalam kehidupan sehari-sehari yang penulis lihat dan dengar langsung melalui pergaulan dengan beliau yang pada akhirnya menjadi kerakter dan kepribadiannya.

Jadilah beliau sebagai seorang ulama yang intelektual dan intelektual yang ulama yang indikasi ini dapat dilihat dari cara-cara beliau menyampaikan pesan-pesan agama di tengah-tengah masyarakat. Yang menarik dari berbagai info masyarakat sekitar tempat tinggalnya di masyarakat “bawah” beliau mengamalkan ilmu padi semakin berilmu semakin tawaduk (merunduk).

Ketika beliau meyampaikan pesan-pesan agama selalu menggunakan pendekatan motafora dan perumpaan melalui lelucon yang membuat pendengar tidak merasa ditusuk hati dan jantungnya. Akan tetapi pesan agama itu mengena dan meresap ke dalam jiwa pendengar dan jamaahnya. Jadi teringat fatwa Guru penulis Buya Hamka bahwa pesan agama yang disampaikan dari hati (karena sudah diamalkan) maka akan diterima hati pula. 

Selain itu ketika berdiskusi di rumah beliau (rumah sederhana dan bersahaja sekelas Gubes dan orang nomor dua di PP Muhammadiyah) penulis terkaget juga (dalam hati) mendengar begitu banyak kitab tafsir yang dibacanya dengan penguasaan bahasa Arab yang cukup bagus menjelaskan spesifik isi kitab-kitab tafsir itu. 

Mengapa demikian ya karena penulis yang hanya punya Kitab Tafsir baru 5 saja sudah dianggap bagus lah untuk bahan rujukan berbagai persoalan agama yang ada di tengah masyarakat. Semua ini dalam hati penulis merupakan indikator keulamaannya dalam bidang agama dan tokoh masyarakat.

Belum lagi sifat kasih Sayang Allah sudah menjadi pakaian beliau dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat. Semua ini penulis rasakan langsung begitu besar jiwa dan sikap ingin membantu orang lain  yang membutuhkan sejauh yang bisa beliau lakukan tanpa mengurangi harga dan marwah diri sebagai Gubes dan ulama (Romo Kyai). Bukankah Rasul bersabda bahwa sebaik-baik manusia adalah yang banyak bermanfaat untuk orang lain. 

Hemat penulis inilah yang barangkali -tentu masih banyak lagi hal-hal yang belum penulis ketahui- yang dimaksud dengan mencapai keberhasilan hendaklah mendapat Ridha Allah. Dan ini pula yang sering penulis dengar dari berbagai  ceramah Ketua PWM Banten Dr. KH. M. Syamsuddin, M. Pd (tahun 2015-2027) di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah bahwa masuk surga itu syaratnya adalah mendapat Ridha dan kasih sayang Allah Swt, selain memohon ampunan dari kekhilafan  dosa-dosa baik besar maupun yang kecil.

Belajar Keras 

Allah berfirman kepada malaikat dalam surah Albaqarah (2), ayat 30  bahwa Dia hendak menjadikan satu khalifah di muka bumi. Firman Allah ini menjadi perdebatan di kalangan para malaikat dengan bertanya “ Apakah Engkau hendak menjadikan di muka bumi itu siapa yang akan berbuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, bukankah kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu”. Tegas Allah :”Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui”. 

Tafsir Al-Mishbah dan Ibnu Katsir menyebutkan bahwa menjadikan khalifah di muka bumi ini diartikan dengan mengambil sebagian tugas Allah untuk memutuskan perkara di antara umat manusia. Dalam konteks inilah mengapa diperlukan adanya pemimpin untuk memutuskan masalah di tengah masyarakat dan menolong orang-orang yang teraniaya serta yang membutuhkan, menegakkan hukum, mencegah dari perbuatan keji-munkar dan berbagai hal yang penting lainnya tanpa adanya pemimpin.

Bagi Abdul Mu’ti firman Allah di atas merupakan challenge sebuah tantangan yang harus dijawab sebagai tuntutan apa yang beliau sebut dengan studi dengan keras. Jadi belajar merupakan sebuah keniscayaan untuk  memiliki kemampuan memutuskan perkara dan menolong orang-orang yang membutuhkan. Inilah yang dapat dipahami dari keterangan ayat berikutnya bahwa Adam diberi pembelajaran atau semacam training untuk mengetahui berbagai hal dan masalah. 

Dalam konteks untuk menjawab tuntutan sebagai khalifah di muka bumi itulah di berbagai kesempatan pengajian di lingkungan PWM Jatim, Dr. dr. H. Sukadiono, Mantan Rektor UM-Surabaya (tahun 2012-2024), dan sekarang Ketua PWM Jawa Timur (tahun 2022-2027) menyampaikan pesan kepada umat Islam dan khususnya para kader Muhammadiyah bahwa Allah akan mengangkat derajat hamba-Nya dengan Iman dan berilmu (QS 58: 11) , kedua, dengan Iman dan amal saleh (QS 4: 173), dan ketiga dengan sabar dan solat (QS 2: 45). Demikianlah firman Allah dalam surah Mujadilah ayat 11 menerangkan begitu penting penguasan Iman (Ridha Allah) dan penguasaan ilmu pengetahuan (Iptek) untuk menjadi sebagai khalifah di muka bumi.  

Penulis perhatikan jauh sebelum hal ini disampaikan oleh Pak Suka, Abdul Mu’ti sudah mengamalkan sejak usia dini firman Allah di atas sebagai pelajar. Ibunya bercerita bahwa Mu’ti kecil suka sekali belajar dan mendengar bahasa English melalui radio (mungkin saja mau kursus masalahnya persoalan fasilitas kedua orang tuanya yang terbatas).  Karena baginya menguasai bahasa Inggris artinya menguasai dunia. Dan ini terbukti ketika beliau dalam kondisi baru berkeluarga (manten baru) mendapat beasiswa meneruskan studi Strata Dua di Benua Kanguru tahun 1996 Masehi.

Hal yang sama disampaikan Dr. Nurchalish Madjid tahun 1984 ketika beliau selesai dari studi Doktoral di Chicago University Amerika Serikat memberi motivasi kepada mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (waktu itu belum menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Perlu diketahui bahwa pada tahun-tahun 80-an umumnya mahasiswa yang masuk dan studi di IAIN Syarif Hidyatullah Jakarta adalah dari kalangan menengah ke bawah dan petani gurem orang tua mereka. 

Cak Nur jelas dalam ceramahnya menyimpulkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi mahasiswa IAIN untuk mengejar studi sekeras mungkin meraih prestasi dunia akhirat. Dengan latar belakang sosial ekonomi yang demikian itu, maka kata kunci tausiyah Alumni Gontor  inilah yang melahirkan manusia Prof. Komaruddin Hidayat (kelahiran Magelang), Prof. Azyumardi Azra (kelahiran Lubuk Alung Sumbar) dan Prof. R. Mulyadi Kartanegara (kelahiran Cisauk, Tangerang Selatan, Banten) termasuk penulis di dalamnya kemudian hari mengharu biru jagad dunia pendidikan Indonesia dan International.

Demikian juga lah  Abdul Mu’ti di berbagai kesempatan ceramah di hadapan civitas akademika Perguruan Tinggi Muhammadiyah beliau tidak bosan-bosannya mengingatkan bahwa pendidikan merupakan jempatan emas menuju perubahan. Seseorang dari tidak biasa dan apa-apa akan menjadi luar biasa dan agent social change di tengah masyarakat. Dan itu sudah beliau buktikan sebagai Guru Besar Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah dan Romo Kyai di Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Pada akhirnya beliau selalu mengingatkan kepada generasi muda Islam (anak bangsa) dengan mengutip pesan Ulama Sufi Ibrahim Adham  (w. 782 M) bahwa belajarlah dari yang kalian pikul (gotong) orang yang meninggal dunia mengapa dia sukses dan mengapa pula dia gagal dalam menjalani kehidupan di dunia hasanah dan akhirat hasanah.  

Penutup

Belajar bersama Prof. Dr. Romo Kyai Haji Abdul Mu’ti  dapat memberi motivasi dan inspirasi bagi generasi anak bangsa khususnya bagi kader Muhammadiyah yang bertebaran di seantero Nusantara yang lagi mengecam pendidikan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan umumnya di Pearguruan Tinggi Umum.

Tak ada kata tidak bisa bagi anak kampung yang secara ekonomi dan psikis mengalami himpitan dalam kehidupan sosial untuk mengubah nasib dan diri dari tidak apa-apa menjadi apa-apa. Dalam konteks inilah pengalaman hidup beliau dalam hal mengangkat derajat hidup setiap orang sebagai firman Allah di atas dapat dijadikan salah satu model untuk mencapainya. Abdul Mu’ti sudah menjadi kamus hidup dan berjalan sebagai rujukan.

Kata kuncinya adalah menggapai Ridha Allah dan studi keras. Anak kampung harus bermimpi mendunia dan mempunyai kesempatan yang sama dengan anak-anak yang tinggal di perkotaan untuk maju mengubah dunia. Dalam konteks ini sangat penting kurikulum pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah  menanamkan sikap percaya diri sejak dini kepada peserta didiknya.

Allah ‘Alam bi as-Shawab. Nashrun min Allah fa Fathun Qarib wa Babasysyiril Mu’minin.                                                                                                              


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Tak Lekang oleh Zaman dan Waktu Oleh: Deni al Asyari Kemarin siang, saya dikirimi oleh Buya Syafii....

Suara Muhammadiyah

30 September 2023

Humaniora

Menembus Ombak: Perjalanan Inspiratif Wanjeli, Sarjana yang Tak Kenal Menyerah Oleh: Furqan Mawardi....

Suara Muhammadiyah

19 December 2024

Humaniora

Cerpen Sayekti Ardiyani Yuni mengamati status kontak WA di gawainya. Minyak goreng langka sedang m....

Suara Muhammadiyah

8 December 2023

Humaniora

Fields of Blood: Mengungkap Hakikat Kekerasan Oleh: Donny Syofyan Di tengah arus modernitas yang ....

Suara Muhammadiyah

18 December 2024

Humaniora

Pagi Ceria di Klinik Aisyiyah "Rahmijah Kaduppa" Gowa Oleh: Haidir Fitra Siagian  Sebenarnya ....

Suara Muhammadiyah

3 August 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah