Filosofi Rejeki

Publish

22 September 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1030
cerpen

cerpen

Cerpen Ashari

REJEKI sering diidentikkan dengan harta. Boleh saja. Silahkan. Sah-sah saja. Namun dari pengajian rutin di kampung  yang aku ikuti, habis Maghrib-Isya, yang diisi oleh Ustadz kampung namun ilmunya – menurutku sangat luas. Lulusan Pondok Pesantren. Meski bukan dari Madinah atau Mekah. Dia menjelaskan rejeki itu cakupannya lebih luas. Lebih jembar. Tidak saja melulu soal harta, uang, tanah, kendaraan yang dimiliki-nya. Namun rejeki juga bisa berupa kesehatan, keluarga di dalamnya ada istri anak yang kita miliki. Bahkan tingkatan paling tinggi rejeki adalah hidayah yang berupa iman. “Ini yang menjadi bekal utama, ketika kita menghadap Allah swt. Diiringi dengan amal sholeh harian dengan ikhlas tentu,” terang ustadz waktu itu, yang aku catat.

Bagaimana dengan harta? Harta selama ini yang kita pahami adalah uang yang kita pegang dan uang di tabungan. Sesuatu yang kasat mata. Karena nampak, maka sebagian besar kita, suka dengan yang namanya harta. “Tidak salah kita cinta harta, karena itu adalah perhiasan dunia. Siapa sih yang tidak cinta dengan perhiasan dunia ini,”lanjut Ustadz muda yang mulai digemari oleh kami, karena ceramahnya yang simple dan mengena.

“Yang penting tidak berlebihan.” Sambungnya. Serasa meminta jamaah untuk membuka arti surat Al-Qasas ayat 77. “Artinya kita boleh cinta dunia, namun tidak terlalu. Berlebihan. “ tandas Ustadz. Seraya menjelaskan bagaimana harta yang diperoleh dengan cara halal, maka dalam keluarga akan membawa berkah. Manfaat tambah. Sebaliknya harta yang kita peroleh dengan culas, curang, tipu sana-sini, maka, kata Ustadz, selain tidak membawa berkah, habisnya juga cepat. Ada saja alasan untuk keluar harta itu.

Meski wejangan itu sudah lama. Bahkan sangat lama. 13 tahun lalu. Waktu aku masih kuliah awal di sebuah PT swasta di Jogyakarta. Sekarang aku sudah bekerja di instansi swasta yang cukup bonafid. Aku sendiri ditempatkan di divisi keuangan. Yang setiap hari berkecimpung dengan uang. Milyaran. Bahkan hampir tembus Trilyun rupiah. Namun semua itu hanya angka-angka saja didalam komputer atau labtop.  Kas keluar masuk, Neraca, Rugi laba, aku yang membuatnya. Sehingga boleh dikata sehat tidaknya perusahaan ada ditanganku. Karena sejak 2 bulan lalu aku diberikan kepercayaan untuk mengelola laporan keuangan. Hitam putih, merah hijau perusahaan aku bisa membuatnya. Tergantung laporan keuangan itu akan diperuntukkan siapa.

Satu hari habis Jumatan, aku dipanggil pimpinan. Bos. Bagiku dipanggil pimpinan itu hal biasa. Namun kali ini ada aroma yang berbeda.Lain.

“Duduk.” Kata bos pendek. Tanpa ekspresi.

“Baik Bu,” Jawabku, setengah menunduk.

“Tahu mengapa aku panggil?” katanya lagi.

“Tidak Bu,”

“Coba kamu lihat laporan kamu kemarin,”

 “Bagaimana bisa, di laporan kita merugi?”

“Memang demikian, bu. Karena covid  kemarin. Penjualan turun drastis, berakibat pada laba yang diperoleh perusahaan. Sementara jumlah karyawan tetap. Pengeluaran relatif naik,”

“Iya, tapi kan bisa dibuat untung sedikit. Agar aura atau auditor melihat, kita masih bisa survival. Coba kamu buat. Kenapa perjalanan dinas pimpinan besar sekali?”

“Memang demikian bu. Kemarin ibu ke luar negeri, cukup menelan biaya banyak.”

“Tolong itu jangan dimasukkan dalam neraca. Masukkan dana taktis perusahaan. Judulnya studi banding. Pokoknya aku tidak mau tahu, laporan keungan buat untung,” katanya.

Setelah itu aku disuruh keluar. Kakiku tiba-tiba terasa kelu. Mata kunang-kunang. Pikiran  sedikit kacau. Karena tidak biasanya si-bos memintaku untuk membuat laporan palsu. Mark-up anggaran. Pikiran terbelah. Ingin menuruti keinginan bos atau tidak. Resiko jelas : Dipindah divisi atau keluar.  Siap tidak? Batinku berperang sendiri. Menjerit. Kepada siapa aku sharing. Langkah kaki aku arahkan ke kantin. Pojok bawah gedung kantor kami. Pesan kopi kepada mbak Nah. Lengkapnya Partinah.

“Kopi mbak, manis,” pesanku.

“Tumben mas, biasanya pahit,” sambungnya. Sambil tetap  membuat kopi pahit pesananku.

“Belum pulang, mas. Hampir maghrib,” tanyanya lagi, tanpa melihatku.

“Iya ni mbak, pekerjaan belum selesai. Masih banyak pekerjaan yang belum kelar,” kataku, membohongi diriku dan dirinya. Aku tidak tahu mbak Nah, mengerti atau tidak kalau aku berbohong.

“Tumben wajah kusut, mas,?” tanya mbak Nah lagi.

“Gak, mbak. Biasa saja. Suntuk dengan pekerjaan. Menghitung uang terus. Tapi uangnya tidak ada,” jawabku.

“Tidak ada bagaimana, mas?” suara mBak meninggi dan mendekat. Sambil menyodorkan kopi pahit yang aku pesan.

Aku agak tergagap dengan pertanyaan mbak Nah, akibat jawaban sekenanya dariku.

“Ya, uangnya milik perusahaan tho Mbak. Tapi menghitungnya sampai bermilyar-milyar,” jawabku mulai hati-hati.

Aku lihat mbak Nah, sudah mulai bisa menerima jawabanku ini. Kelihatan dari respon dan mimik-nya yang mulai datar. “Oh, kalau itu ya jelas, tho mas,” pungkasnya. Setelah itu dia sibuk melayani pesanan yang lain.

“Gak, dibuatkan mie rebus mas?” kata mbak Nah, kembali membuyarkan lamunanku yang kacau.

“Gak mbak, masih kenyang,”jawabku.

“Belum makan, kok kenyang lho Mas ini,” katanya.

Aku tidak menghiraukan lagi. Ditengah pikiran yang carut marut, karena peristiwa tadi, datanglah mBah Man. Tukang Kebun perusahaan kami. Sebenarnya usianya belum tua (sepuh=Jawa) benar. Namun karena rambutnya hampir semua putih, maka teman-teman kantor biasa memanggilnya mBah Man. Usianya masih 62 tahun. Nama lengkapnya Tugiman. Sudah Haji. Tumben juga belum pulang mBah Man. Biasanya jam 2 sudah pulang, ganti shift dengan petugas sore.

“Belum kondur, mbah?” sapaku, basa-basi.

“Tukar dengan petugas pagi, mas. Sampeyan kok juga belum pulang jam sore begini,” katanya balik bertanya.

“Iya mbah. Duduk sini mbah sebentar. Aku mencoba menggeser pantatku, ke arahnya. Aku tarik lengannya yang masih nampak kekar. Kopi satu lagi mbak,” aku pesan kopi ke  mbak Nah.

“Ada apa ini, mas. Kok sepertinya serius. Pekerjaan aku belum selesai lho. Nanti kalau ketahuan bos, bisa kena semprot,” katanya, setelah duduk dekat denganku. Merapat. Ia letakkan sapu di sudut warung. Sementara kemucing masih lekat di tangan.

Aku ceritakan kejadian tadi siang, saat aku dipanggil bu bos. Diminta mark-up anggaran. Menjadikan laporan perusahaan untung. Dengan men-delete kegiatan studi banding pimpinan yang memakan banyak uang. Mbah Man, nampak kaget. Aku lihat dari dahinya yang berkernyit. Naik. Matanya sedikit melotot. Hampir tidak percaya. “Begitu?” tanyanya.

Aku mengangguk pelan. Tanda mengiyakan.

“Ini jelas tidak benar. Kita harus cari cara, bagaimana agar, upaya mark up anggaran ini tidak terjadi. Memang aku orang bawah. Tukang sapu. Tapi sedikit-sedikit tahu agama. Apapun alasannya tetap tidak dibenarkan. Mbah Man, kemudian menyarankan aku untuk sharing dengan teman-teman yang lain. Karena kami mempunyai asosiasi. Sebab menurutnya, kalau tidak ada yang berani menyuarakan, kejadian demikian akan berlanjut dan berulang. Menjadi sebuah repitisi yang sulit untuk dihentikan.

“Rejeki itu ada 2 mas. Yang harus kita usahakan dan yang tidak harus kita usahakan, datang sendiri, ibaratnya rejeki yang mengejar kita. Contoh gampang, aku dapat kopi manis tadi, itu namanya rejeki yang mengejar kita. Aku tidak pernah berpikir, meminta tapi mas yang tiba-tiba menawari.hehe. Tapi ada rejeki yang harus kita usahakan, misal gaji bulanan, harus kita usahakan. Kalau tidak sungguh-sungguh, masuk kantor, kita tidak mendapatkan gaji itu, ya kan?” khotbah singkatnya. Makin membukan mata hatiku. Setelah mulai ada titik terang, akupun berpamitan dengan mBah Man dan Mbak Nah. Dua orang klaster bawah diperusahaan kami, namun ternyata mempunyai kejujuran diatas rata-rata orang. (Sekian)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Cerpen Diko Ahmad Riza Primadi Titik dan detik paling aman dunia adalah ketika matahari terbenam. S....

Suara Muhammadiyah

22 July 2023

Humaniora

Cerita Pendek Setelah Pemilu Usai Oleh: Ahsan Jamet Hamidi Dalam group Whatapps, Tn Ulfi dikenal s....

Suara Muhammadiyah

6 March 2024

Humaniora

Transformasi Muhammadiyah (Selarik Catatan Perjalanan) Oleh: Herman Oesman, Dosen Sosiologi S1 dan ....

Suara Muhammadiyah

15 December 2024

Humaniora

Cerpen Erwito Wibowo Sore menjelang petang. Cakrawala tidak kelihatan, nampak tertimbun deretan per....

Suara Muhammadiyah

22 March 2024

Humaniora

Oleh: Mustofa W Hasyim Mas Abdul Hadi atau Bang Abdul Hadi sebenarnya sudah sampai pada maqom filos....

Suara Muhammadiyah

22 January 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah