Anak Saleh (22)

Publish

19 December 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
238
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Anak Saleh (22)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang sangat panjang dan penuh tantangan."

Banyak ibrah yang dapat kita petik dari akhlak tawaduk yang diamalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga contoh pengamalan akhlak tawaduk yang dilakukan oleh Pak A.R. 

Salah satu simpulan penting yang harus kita jadikan pedoman adalah bahwa orang yang berakhlak tawaduk (rendah hati) bukannya direndahkan, melainkan ditinggikan. Dia bukannya dihinakan, melainkan dimuliakan. 

Uraian di dalam AS (22) ini terdiri atas (1) kemuliaan di dunia, (2) ketika orang tawaduk sakit dan meninggal (wafat), (3) kemuliaan di akhirat, dan (4) bentuk-bentuk tawaduk.

Kemuliaan di Dunia

Kemuliaan di dunia dapat disebabkan oleh berbagai hal. Orang yang berstatus tertentu misalnya raja, tamu negara, duta besar, atau hakim biasa disapa dengan "yang mulia". Dari sudut pandangan tertentu hal itu berarti bahwa mereka dimuliakan. 

Di dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) ada pengaturan yang mewajibkan Pengadu, Teradu, Saksi, dan/atau Ahli memanggil ketua dan anggota sidang dengan sebutan “yang mulia” selama sidang, sebagaimana diatur internal oleh DPR dalam Pasal 18 ayat (3) Peraturan DPR 2/2015. Sebutan tersebut dimaksudkan untuk memuliakan ketua dan anggota MKD. 

Orang yang berpendidikan tinggi, lebih-lebih berjabatan akademik professor, atau orang yang berharta melimpah dimuliakan juga meskipun tidak disapa dengan "yang mulia". Lebih-lebih lagi, jika mereka berakhlak tawaduk.

Banyak contoh yang dapat kita ketahui, baik yang terjadi pada masa lalu maupun yang terjadi pada masa sekarang. Pada masa yang akan datang pun dapat terjadi hal yang sama. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya dimuliakan oleh orang Arab, tetapi juga dimuliakan oleh orang-orang di luar Arab. Pak A.R juga dimuliakan. Beliau Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, tetapi dimuliakan tidak hanya oleh jamaah Muhammadiyah, tetapi juga dimuliakan oleh jamaah di luar Muhammadiyah, bahkan, dimuliakan juga orang-orang nonislam. 

Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan contoh orang yang dimuliakan juga. Apakah karena beliau raja? Tidak semua raja dimuliakan oleh rakyatnya! Dari buku yang berjudul Tahta untuk Rakyat dapat kita ketahui betapa beliau adalah raja yang tawaduk! 

Ketawadukannya menurun pada Sri Sultan Hamengku Buwono X. Dia berkenan mempunyai menantu dari keturunan orang biasa, yakni Achmad Ubaidilah, yang kemudian dianugerahi gelar Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara. Dia menikah dengan Gusti Kanjeng Ratu Bendara. 

Ketawadukan Sri Sultan Hamengku Buwono X menurun pada Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu, putri keempat. Dia mau berterima kasih kepada orang yang membantunya menyeberang jalan di kawasan Senayan, Jakarta. Anak raja mau berterima kasih kepada orang yang membantunya merupakan salah satu tanda bahwa dia berakhlak tawaduk. Anehnya, dia malah diejek sebagai kampungan. Namun, orang yang memuliakannya jauh lebih banyak.

Ketawadukan Sri Sultan Hamengku Buwono X menurun juga pada Gusti Kanjeng Ratu Bendara putri kelima dengan Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Putri kelima itu mau menikah dengan Achmad Ubaidilah. Hal itu berarti bahwa dia adalah putri raja yang tawaduk. Dia dimuliakan pula. 

Ketika Orang Tawaduk Sakit dan Meninggal (Wafat)

Ketika sakit, orang berakhlak tawaduk dijenguk dan didoakan oleh orang banyak. Orang yang berbeda agamanya pun menjenguk dan mendoakannya. Mereka yang tidak dapat menjenguk dengan hadir, mendoakannya melalui telepon atau berkirim doa melalui WA. 

Berita tentang sakitnya pun diunggah melalui medsos. Makin banyaklah orang yang mendoakannya, baik dengan hadir ke rumah sakit atau ke rumah tinggal maupun mendoakannya melalui medsos.

Ketika meninggal (wafat), orang-orang yang takziah dan mendoakannya pun luar biasa banyaknya. Orang yang berbeda agamanya pun hadir takziah dan mendoakannya. Di sela-sela takziah mereka  membicarakan kebaikan dan ketawadukan almarhum (almarhumah). 

Berita tentang meninggal atau wafatnya pun diunggah di medsos. Makin bertambah banyaklah orang yang takziah, baik dengan hadir di rumah duka maupun berkirim ucapan takziah di medsos. Malahan, ada pula orang yang takziah dengan hadir, berkirim ucapan takziah melalui medsos, dan berkirim karangan bunga.

Kemuliaan di Akhirat

Bagaimana balasan di akhirat bagi muslim mukmin yang tawaduk? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an surat al-Qasas (28): 83

تِلْكَ ٱلدَّارُ ٱلْءَاخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَٱلْعَٰقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

"Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik, yakni surga) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”

Menurut Muhammad Quraisy Shihab, negeri akhirat di dalam ayat tersebut bermakna surga. Dengan demikian, surga disediakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang yang tawaduk dan orang yang tidak membuat kerusakan di dunia. Kiranya sangat jelas bahwa orang yang tawaduk dan tidak membuat kerusakan di dunia adalah orang yang bertakwa. Hal ini berarti bahwa mereka dimuliakan di akhirat selama-lamanya.

Bentuk-Bentuk Tawaduk

Menurut Yunahar Ilyas ada enam bentuk tawaduk di dalam pergaulan bermasyarakat, yaitu:

1) tidak menonjolkan diri dari orang-orang yang level atau statusnya sama, kecuali jika sikap tersebut menimbulkan kerugian bagi agama atau umat Islam.

2) berdiri dari tempat duduknya di dalam satu majelis untuk menyambut kedatangan orang-orang yang lebih mulia dan lebih berilmu daripada dirinya dan mengantarkan ke pintu keluar jika yang bersangkutan meninggalkan majelis.

3) bergaul dengan orang awam dengan ramah dan tidak memandang dirinya lebih dari mereka.

4) mengunjungi orang lain sekalipun lebih rendah status sosialnya. 

5) mau duduk bersama-sama dengan fakir miskin, orang-orang cacat tubuh, dan kaum duafa lainnya, serta mau mengabulkan undangan mereka.

6) tidak makan minum berlebihan dan tidak berpakaian yang menunjukkan kemegahan dan kesombongan.

Keenam butir tersebut pada dasarnya merujuk kepada akhlak tawaduk yang diamalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, muslim mukmin wajib mengamalkannya.

Di samping keenam butir itu, kiranya masih ada lagi praktik-baik yang wajib kita perhatikan, antara lain: 

1) ketika menjadi orang berharta melimpah, berpendidikan tinggi, dan berstatus sosial tinggi, mau mengundang tidak hanya orang yang kaya, berpendidikan tinggi, dan berstatus sosial tinggi dalam acara “walimatul ‘urs” atau tasyakuran lainnya.  

2) ketika diberi hadiah yang dibenarkan oleh syar’i (misalnya makanan, buah-buahan, atau yang lain) sesederhana apa pun, dengan ikhlas menerimanya, berucap syukur, dan berterima kasih kepada orang yang memberinya; tidak mencela hadiah tersebut apalagi di depan orang yang memberinya.

3) ketika mengikuti rapat, diskusi, atau percakapan lainnya tidak mendominasi dan tidak merasa paling hebat. 

4) ketika minta bantuan kepada orang lain (termasuk menyuruh ART) tidak lupa menggunakan kata maaf, tolong, dan terima kasih.

5) mau menyapa dan menjawab sapaan dengan ramah.

Tentu saja masih ada lagi ucapan dan perilaku yang perlu kita amalkan dalam hubungannya dengan akhlak tawaduk. Hal penting yang harus kita pahami dengan sebaik-baiknya adalah bahwa pemerolehan akhlak tawaduk berlangsung melalui suatu proses panjang. 

Tahap paling awal adalah mengaji untuk memperoleh ilmu tentang akhlak tawaduk. Tahapan ini sangat penting karena di dalam kenyataan cukup banyak orang yang tidak memahami bahwa ucapan dan perilakunya menandai ketawadukan atau kesombongannya. Hal itu terjadi karena mereka tidak pernah mengaji. Mungkin mereka mengaji, tetapi mengaji pada kiai yang sombong. 

Internalisasi merupakan proses selanjutnya. Pada tahap ini muslim mukmin berlatih dengan sungguh-sungguh. Agar berlangsung baik, perlu pula ada pendamping setia yang senantiasa mengingatkan jika mereka lupa. Bagi pasutri yang sedang membekali diri, pendampingnya adalah suami bagi istri, dan istri bagi suami. 

Di samping itu, orang-orang saleh pun sangat diperlukan. Orang saleh yang idealnya menjadi pendamping utama bagi pasutri adalah orang tuanya. Setelah itu, adalah teman dalam arti seluas-luasnya. Pasutri yang sudah bekerja sangat bagus jika “didampingi” oleh pimpinan yang saleh. Tetangga yang saleh pun berperan sangat penting. Mereka tentu dengan cara yang arif berkenan mengingatkan.

Setelah internalisasi, pengamalan merupakan tahap berikutnya. Pada tahap ini pengamalan akhlak tawaduk dilakukan dari ucapan dan perilaku yang paling sederhana; barulah kemudian pengamalan yang penuh tantangan, bahkan, mungkin tentangan. 

Allahu  a’lam


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Mengenali Batas Oleh: Ahsan Jamet Hamidi Soekarno, adalah Presiden Indonesia pertama yang berkuasa....

Suara Muhammadiyah

5 November 2023

Wawasan

Iman dan Amal Shaleh: Benteng Kuat dari Budaya Konsumtif  Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Bud....

Suara Muhammadiyah

12 December 2024

Wawasan

Oleh : Drs M Jindar Wahyudi, MAg  Perjalanan hidup manusia tak ubahnya perjalanan waktu yang b....

Suara Muhammadiyah

19 September 2024

Wawasan

Urgensi Menjaga Marwah Persyarikatan Jelang Pilkada Oleh: Revvina Agustianti Subroto, Ketua Pimpina....

Suara Muhammadiyah

17 October 2024

Wawasan

Membangun Tradisi Membaca Dan Menulis Oleh: M. Husnaini, S.Pd.I., M.Pd.I., Ph.D. Menulis, Harus Di....

Suara Muhammadiyah

12 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah