Anak Saleh (31)
Oleh: Mohammad Fakhrudin
"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang panjang dan penuh tantangan."
“Anak Saleh” (AS) 31 ini berisi uraian lanjutan yang berkaitan dengan keteladanan di rumah. Dalam kenyataan dapat terjadi hubungan ayah ibu dengan kakek nenek tidak seharmonis yang diuraikan di dalam AS (30). Hal ini tentu menimbulkan masalah. Sungguh sangat ideal jika mereka mampu mengatasi hal itu dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan al-Hadis.
Kadang-kadang ketika ayah ibu berbicara dengan kakek nenek terjadi perbedaan pendapat atau sikap. Sayangnya, ada di antara mereka yang menyatakan perbedaan pendapat dan sikapnya itu dengan cara yang sangat jauh dari akhlak mulia. Bahkan, kadang-kadang cara menyatakan perbedaan pendapat dan sikap itu pun sama ketika berbicara dengan tamu, padahal didengar dan dilihat oleh anak.
Kasus berikut ini kiranya penting untuk kita jadikan pembelajaran. Pada suatu kesempatan ayah ibu menerima silaturahim tetangga atau teman. Ayah merespons pembicaraan. Namun, ibu tidak suka terhadap respons tersebut. Ketidaksukaannya mungkin karena dia merasa direndahkan atau ada perbedaan cara berpikir dan bersikap. Berkenaan dengan itu, dia langsung berbicara sebelum ayah selesai berbicara. Hal itu kiranya bukan contoh yang baik bagi anak. Lalu, bagaimana sebaiknya? Ayah atau ibu segera sadar telah terjadi suasana yang tidak baik-baik saja, maka beralihlah ke topik lain yang netral.
Keteladanan sejak Bangun Tidur
Anak yang dapat mengamati kebiasaan ayah ibunya bangun awal pagi hari untuk beribadah memperoleh kesan baik yang sangat mendalam. Kasus berikut ini kiranya dapat menjadi contoh pembelajaran yang baik.
Ketika masih kecil, anak terbangun sepertiga malam penggal akhir. Dia menangis karena pipis, “bab” atau kedua-duanya. Tangis itu pun berlanjut karena tidak segera memperoleh respons dengan penuh kasih sayang dari ayah ibu.
Hal itu terjadi karena ayah ibu sedang shalat tahajud. Sesaat kemudian, ibu segera datang untuk merespons. Bisa jadi, ibu belum melepas mukenanya. Baru sadar masih memakainya ketika akan memeriksa anak apakah pipis, “bab”, atau kedua-duanya.
Kepada anak yang masih menangis, ibu dengan suara lemah lembut mengatakan misalnya, “Sabar, ya, sayang. Ibu lepas dulu mukena. Tadi ibu dan ayah shalat tahajud dan berdoa untuk kamu, sayang.”
Setelah melepas mukena, ibu menciumnya. Atas izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, anak langsung berhenti menangis. Diketahuilah bahwa anak “bab” dan pipis.
Tanpa diminta, ayah pun datang. Ketika itu, dia masih mengenakan pakaian shalat. Keadaan yang demikian dilihat oleh anak yang sudah tidak menangis lagi. Kenyamanan makin dirasakannya.
Lagi-lagi anak mendengar suara yang lemah-lembut. Ayah menyapanya dengan, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Anak saleh ikut bangun. Mau tahajud juga?”
Setelah bersih badan dan pakaiannya, anak memperoleh jatah asi. Ketika akan memberikan asi, ibu mengucapkan bismillah. Anak pun makin bertambah nyaman. Namun, dia tidak tidur lagi. Dia malahan asyik seperti mengajak ngobrol. Ibu yang meladeninya, sedangkan ayah hanya sebentar. Dia mengambil Al-Qur’an, lalu mengaji di tempat yang tidak jauh dari anak dan ibu. Suasana yang demikian tentu membuat anak makin nyaman.
Menjelang azan subuh berkumandang, ayah pamit kepada anak dengan lemah-lembut sambil mencium anak. “Ayah ke masjid, ya, sayang.” Lalu, dia berucap salam.
Sementara itu, ibu sambil berzikir, tetap mendampingi anak. Atas pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, anak pun tenang. Ketika ibu shalat di dekatnya, anak pun tenang sepertinya tahu bagaimana seharusnya.
Teladan Total
Banyak aktivitas ayah ibu di rumah yang harus dapat dijadikan teladan bagi anak. Di bawah subjudul Keteladanan sejak Bangun Tidur telah diuraikan keteladanan ayah ibu bangun awal pagi hari untuk tahajud, berucap, dan berperilaku lemah-lembut. Benar, bahwa anak yang diajak berbicara masih kecil. Namun, bagi muslim mukmin, Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Kuasa. Bukankah dalam kenyataan dapat kita temukan anak kecil yang menurut ilmu manusia belum dapat berbicara atau tidak mungkin dapat menghafal Al-Qur’an, tetapi atas kuasa-Nya, dia dapat berbicara, bahkan, hafal Al-Qur’an. Subhanallah!
Berkenaan dengan itu, kita tidak perlu ragu-ragu. Kita istikamah menjadi teladan dalam hal apa saja. Selain bangun awal, ada aktivitas seperti masuk ke kamar mandi, di kamar mandi, keluar dari kamar mandi, berpakaian, memakai sandal atau sepatu, makan, minum, dan akan tidur yang harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menjadi rujukan bagi anak. Demikian pula ketika ayah ibu akan keluar rumah untuk ke masjid, bekerja, atau safar. Tidak tertinggal pula ketika mereka akan masuk rumah setelah beraktivitas di masjid, tempat kerja, atau di tempat lain. Semua dilakukan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di Kamar Mandi Tanpa Bernyanyi dan Tanpa Gawai
Ada orang yang suka bernyanyi ketika berada di kamar mandi. Namun, muslim mukmin yang berusaha mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya, tentu tidak melakukannya, apalagi ketika mandi menjelang tahajud. Lebih-lebih lagi, ketika kemampuan mendengar pada anak mulai makin sempurna dan mulai dapat menirukan. Dia makin berhati-hati.
Bagi muslim mukmin ada tuntunan dari Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam ketika akan masuk ke dan keluar dari kamar mandi. Ketika akan masuk, kita diberi tuntunan membaca doa sebagaimana dijelaskaan di dalam HR al-Bukhari dan Muslim berikut ini,
كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ قَالَ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki jamban, beliau ucapkan, Allahumma inni a'udzu bika minal khubutsi wal khabaits (‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan’)."
Berdasarkan hadis tersebut, kita ketahui bahwa toilet (jamban, kamar mandi) merupakan salah satu tempat jin. Agar tidak mendapat gangguan jin, ketika akan masuk toilet, kita dianjurkan mohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berdoa.
Dalam hubungannya dengan bernyanyi di kamar mandi, para ulama sepakat menghukuminya makruh. Muslim mukmin yang sadar akan kelemahannya tentu memilih tidak bernyanyi di kamar mandi karena dia berharap memperoleh pahala dengan meninggalkannya.
Pada era gawai ada orang yang masuk kamar mandi membawa gawai. Gawai itu tidak digunakannya untuk bertelepon, tetapi digunakannya untuk membaca berita atau menonton acara tertentu yang disukainya.
Baik bernyanyi maupun menonton acara yang disukainya tentu dapat membuat keasyikan. Akibatnya, dia sangat mungkin berlama-lama. Pertanyaan yang timbul adalah bolehkah kita berlama-lama di kamar mandi, sedangkan kamar mandi itu digunakan juga oleh orang lain? Dengan pikiran yang cerdas dan hati yang bersih kiranya kita dapat memahami pendapat para ulama yang menghukumi makruh. Jika sudah memahaminya, tetapi tidak mengamalkannya bukankah kerugian besar?
Di dunia pun kerugian itu dapat dirasakan misalnya menimbulkan ketidaknyamansn pada orang lain sehingga orang yang tidak nyaman tersebut tidak menyukainya. Ketidaksukaannya itu terwujud dalam berbagai ucapan atau perilaku, dari yang bersifat menyindir sampai pada yang bersifat nyinyir.
Mungkin pula karena berlama-lama di kamar mandi, dia kehilangan waktu berharganya sehingga terlambat pergi ke tempat bekerja. Jika perilaku demikian dicontoh oleh anak sehingga anak terlambat berangkat ke sekolah, berarti ayah ibu telah gagal menjadi teladan di rumah.
Na'uzubillah!