Kajian Kritis Surah An-Nisa 34: Mencari Titik Temu Interpretasi

Publish

21 April 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
75
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Kajian Kritis Surah An-Nisa 34: Mencari Titik Temu Interpretasi

Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

 

Dalam upaya kita untuk menggali pemahaman yang lebih dalam terhadap ayat-ayat Al-Qur`an yang seringkali disalahartikan, kita hari ini berfokus pada sebuah ayat yang mengandung kompleksitas luar biasa. Surah ke-4 ayat 34 berbunyi “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan1 nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan (jika perlu) pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Ayat ini merupakan salah satu tantangan terbesar bagi umat Islam di era modern. Tidak hanya itu, ayat ini juga seringkali menjadi sasaran kritik tajam dari pihak luar, yang mengklaim bahwa Al-Qur`an mendukung kekerasan terhadap wanita. Banyak wanita Muslim, yang diliputi kebingungan dan kegelisahan, telah mengungkapkan keprihatinan mereka, mempertanyakan bagaimana mungkin Tuhan memberikan instruksi yang sedemikian kontroversial. 

Dilema ini bukanlah fenomena baru. Bahkan Imam Syafi'i, salah satu tokoh terkemuka dalam empat mazhab fikih Islam yang dihormati di seluruh dunia, berusaha untuk meredakan ketegangan dengan menafsirkan kata 'pukullah' sebagai 'pukullah mereka dengan ringan.' Meskipun interpretasi ini telah diterima secara luas, penting untuk dicatat bahwa kata 'ringan' tidak secara eksplisit muncul dalam teks asli bahasa Arab. Teks tersebut hanya menyatakan wadhribûhunna, yang secara harfiah berarti 'pukullah mereka.' Nuansa-nuansa inilah yang akan kita telusuri lebih lanjut.

Namun, yang lebih menarik lagi adalah upaya Imam Syafi'i untuk memberikan konteks etis terhadap tindakan tersebut. Beliau berpendapat bahwa seorang suami hanya boleh melakukan tindakan tersebut jika diyakini akan membawa kebaikan, sebagai upaya terakhir untuk mereformasi seorang istri yang membangkang. Langkah-langkah yang dianjurkan dalam ayat tersebut—nasihat, pemisahan tempat tidur, dan pemukulan—dipahami sebagai upaya untuk menyadarkan istri akan konsekuensi tindakannya terhadap pernikahan mereka. 

Tentu saja, pendekatan ini, yang mungkin terdengar kasar bagi kita saat ini, mencerminkan pemahaman budaya pada masa itu. Namun, Imam Syafi'I menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak boleh dilakukan sembarangan, melainkan sebagai upaya terakhir untuk menyelamatkan pernikahan. Beliau berusaha untuk memperlunak makna literal dari Al-Qur`an, bahkan dalam pemahamannya sendiri. Beliau menyadari implikasi dari teks tersebut, namun berusaha untuk menafsirkannya dengan cara yang lebih etis.

Tentu saja, inti dari upaya ini adalah untuk menemukan tujuan mulia di balik tindakan yang tampaknya keras. Tujuan utamanya bukanlah kekerasan itu sendiri, melainkan pencapaian kebaikan yang lebih besar bagi sang wanita, dan tentu saja, bagi keharmonisan keluarga secara keseluruhan. Kita harus mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin timbul pada anak-anak akibat perpecahan rumah tangga. 

Lalu, dari mana konsep 'ringan' ini berasal? Sebenarnya, konsep ini berakar pada Hadis, di mana Nabi Muhammad SAW bersabda, “….pukulan itu harus tidak keras, tidak meninggalkan bekas atau luka.” Namun, dalam konteks modern, penggunaan kekerasan, dalam bentuk apa pun, terhadap istri adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Pengalaman menunjukkan bahwa begitu pintu kekerasan dibuka, sulit untuk mengendalikannya. 

Jika penilaian mengenai 'ringan' dan 'tidak' diserahkan kepada suami, maka interpretasinya bisa sangat beragam. Beberapa tradisi mungkin mengizinkan pemukulan dengan 'siwak,' sebuah tongkat pembersih gigi. Secara fisik, dampaknya mungkin tidak terlalu parah, tetapi secara psikologis, dampaknya bisa sangat menghancurkan. Tindakan ini merendahkan martabat dan menegaskan kekuasaan yang tidak semestinya dan menegaskan hak untuk melakukan kekerasan. 

Inilah yang mendorong banyak cendekiawan Muslim untuk menafsirkan ulang ayat ini. Salah satu interpretasi yang populer di zaman modern adalah dengan meneliti kata Arab dharaba, yang biasanya diterjemahkan sebagai 'pukul.' Mereka berpendapat bahwa dharaba tidak harus berarti 'pukul,' tetapi bisa berarti 'bepergian.' Mereka mengutip ayat-ayat Al-Qur`an yang menggunakan kata kerja yang sama, dharabuu, yang berarti 'mereka sedang bepergian di bumi.' 

Berdasarkan hal ini, mereka menyarankan bahwa ayat ini sebenarnya mengacu pada tiga tahap: nasihat, pemisahan tempat tidur, dan pemisahan yang lebih luas, memberikan ruang lebih bagi istri. Namun, interpretasi ini, meskipun menarik karena menghindari implikasi kekerasan, memiliki kelemahan. Kata kerja dharaba memiliki makna yang berbeda tergantung pada preposisi yang mengikutinya, seperti halnya kata go dalam bahasa Inggris. Ketika dharaba diikuti oleh objek langsung, seperti dalam konteks ayat ini, artinya secara sederhana adalah 'pukul mereka.' 

Oleh karena itu, sementara ulama cenderung mengambil pendekatan yang berbeda. Meskipun kata tersebut berarti 'pukul,' ada yang berpendapat bahwa ayat ini bukanlah perintah bagi suami untuk melakukan kekerasan terhadap istri mereka. Ayat ini harus dipahami dalam konteks ayat-ayat lain yang membahas tentang pelanggaran seksual. Surah 24, ayat 2, misalnya, menetapkan hukuman cambuk seratus kali bagi pelaku zina, baik laki-laki maupun perempuan. Ayat 15 dan 16 dari Surah 4, yang sedang kita bahas, juga membahas pelanggaran seksual dan hukuman yang menyertainya. Ayat 25 melanjutkan pembahasan tentang hal ini. 

Agaknya ayat 34 ini adalah kelanjutan dari rangkaian ini, yang menetapkan hukuman untuk pelanggaran seksual yang lebih ringan, yang disebut 'ta'zir' dalam hukum Islam. Hukuman ini diberikan oleh negara Islam, bukan oleh suami. Suami tidak boleh menjadi hakim, juri, dan algojo sekaligus. Negara Islam-lah yang berwenang untuk memberikan hukuman, yang mungkin berupa hukuman fisik dalam masyarakat masa lalu. Tentu saja, dalam konteks modern, kita perlu meninjau ulang aspek hukuman fisik ini. Namun, intinya adalah bahwa ayat ini tidak menyuruh suami untuk melakukan kekerasan terhadap istri mereka, melainkan menetapkan wewenang negara untuk menghukum pelanggaran seksual dalam masyarakat. Ayat ini khususnya membahas hukuman bagi wanita, tetapi ayat 15 mencakup laki-laki dan perempuan secara umum.

Sebenarnya, argumentasi ini didukung oleh lebih banyak bukti daripada yang telah dipaparkan sebelumnya. Coba kita perhatikan ayat ke-34 yang menjadi fokus diskusi kita. Lalu, kita lihat ayat ke-35 yang secara jelas ditujukan kepada masyarakat Muslim secara keseluruhan. Hal ini terbukti dari penggunaan kata ganti jamak antum (kalian) dalam ayat tersebut. Ayat 35 berbunyi, “Jika kalian khawatir akan keretakan di antara keduanya, maka tunjuklah seorang penengah, dari keluarga laki-laki dan dari keluarga perempuan.” Ayat ini jelas menginstruksikan masyarakat, bukan suami, untuk menunjuk mediator.

Kemudian, muncul pertanyaan krusial: siapa 'kalian' yang dimaksud dalam ayat ini? Para mufasir klasik, seperti Imam al-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghayb, menyadari perbedaan ini. Mereka mempertanyakan mengapa tiba-tiba subjek yang dituju berubah dari individu (suami) di ayat sebelumnya, menjadi masyarakat Muslim di ayat 35, yang seolah-olah melanjutkan narasi ayat sebelumnya. Para mufasir akhirnya menyimpulkan bahwa ayat 35 memang ditujukan kepada masyarakat Muslim, dan pemimpin mereka bertugas untuk menunjuk mediator dalam upaya mendamaikan perselisihan perkawinan.

Namun, yang menarik, mereka tidak meninjau ulang ayat 34 berdasarkan kesimpulan ini. Mereka tidak mempertimbangkan bahwa mungkin saja subjek yang dituju dalam ayat 34 sama dengan ayat 35, mengingat penggunaan kata ganti jamak dan kesinambungan tema. Kata-kata 'adapun wanita-wanita yang kalian khawatirkan pembangkangannya' di ayat 34 menggunakan kata ganti 'antum' yang sama dengan 'jika kalian khawatir akan keretakan diantara keduanya' dari ayat 35.

Dengan demikian, jika kita mengakui bahwa ayat 35 ditujukan kepada masyarakat Muslim dan pemimpin mereka, maka konsistensi logis mengharuskan kita untuk menyimpulkan bahwa ayat 34 juga memiliki subjek yang sama. Ini berarti, wewenang untuk menerapkan hukuman, termasuk hukuman fisik, yang disebutkan dalam ayat 34 berada di tangan pemimpin atau otoritas negara, bukan individu suami. Hal ini juga berlaku untuk ayat 15 dari surah yang sama, yang membahas hukuman untuk pelanggaran seksual yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Pentingnya Menjaga Batik sebagai Warisan Budaya dan Pilar Ekonomi Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat ....

Suara Muhammadiyah

2 October 2024

Wawasan

Kesetaraan Rasul dalam Al-Qur`an Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andala....

Suara Muhammadiyah

16 August 2024

Wawasan

Budi Pekerti dalam Rimba Homo Digitalis Oleh: Al-Faiz MR Tarman, Dosen Universitas Muhammadiyah Kla....

Suara Muhammadiyah

18 June 2024

Wawasan

Melanjutkan Semangat Ramadan Melalui Puasa Syawal Oleh: Ika Sofia Rizqiani, S.Pd.I., M.S.I Puasa m....

Suara Muhammadiyah

12 April 2025

Wawasan

Refleksi Sebuah Gerakan Dakwah di Akar Rumput Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon, Pedan,....

Suara Muhammadiyah

24 January 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah