Anak Saleh (35)

Publish

20 March 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
143
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Anak Saleh (35)
Oleh: Mohammad Fakhrudin/Warga Muhammadiyah

"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang panjang dan penuh tantangan."

Sudah cukup banyak praktik-baik ayah ibu yang kita kaji hingga “Anak Saleh” (AS) 34.  Namun, jika kita mau mencermati fenomena di masyarakat, sesungguhnya masih cukup banyak juga yang perlu kita renungkan kembali karena ternyata masih ada praktik-buruk yang dilakukan oleh orang tua. Berkenaan dengan itu, di dalam AS (35) ini dipaparkan uraian lanjutan tentang praktik-baik di luar rumah yang dapat dijadikan rujukan bagi ayah ibu dalam ikhtiar mendidik anak saleh. Di samping itu, dipaparkan pula praktik-buruk yang harus ditinggalkan oleh orang tua. 

Ketertiban bagi Muslim Mukmin

Ada kebiasaan tertib bagi muslim mukmin yang sudah “mempribadi”. Kebiasaan tertib itu dilakukan misalnya ketika berwudu, shalat, berzikir setelah shalat wajib, dan berpuasa. Jika ketertiban itu diamalkan di dalam kehidupan sehari-hari, muslim mukmin pasti menjadi juara I (umat terbaik) dalam hal ketertiban hidup bermasyarakat. Dalam kenyataan belum demikian yang kita saksikan (alami). 

Sangat mungkin hal itu terjadi karena tidak ada atau sangat sedikit guru mengaji yang mengaitkan ketertiban berwudu, shalat, berzikir sesudah shalat wajib, dan berpuasa dengan ketertiban hidup bermasyarakat. Cukup banyak muslim mukmin yang mungkin mengira bahwa ada perbedaan kepentingan. Berwudu, shalat, berzikir sesudah shalat wajib, dan berpuasa merupakan aktivitas yang berkenaan dengan ibadah ritual, sedangkan mengantre untuk mengambil dana bantuan, zakat, dan daging kurban merupakan hal lain.

Di beberapa masjid atau musala ada kebiasaan berjabat tangan setelah shalat berjamaah dan berzikir secara bersama. Jabat tangan itu dimulai dengan urutan sebagai berikut: imam berdiri di dekat mihrab (tempat imam memimpin halat berjamaah). Selanjutnya, jamaah yang berada di shaf pertama sebelah kiri berdiri. Lalu, mereka berjabat tangan dengan imam. Biasanya mereka bergerak searah gerak jarum jam.

Oleh karena itu, makmum yang berada di shaf pertama sebelah kanan, menyesuaikan. Mereka menempatkan diri di belakang makmum shaf pertama yang berposisi di sebelah kirinya. Mereka secara tertib berjabat tangan dan disusul oleh makmum yang berposisi di shaf kedua, dan demikian seterusnya. Tentu tidak semua makmum mengikutinya. Ada makmum, yang karena suatu keperluan atau hal, memilih shalat sunah yang disyariatkan. 

Setelah shalat ‘idain (lebih-lebih shalat ‘Idul Fitri), berjabat tangan juga menjadi bagian tradisi yang terpelihara dengan baik di pelbagai tempat. Setelah imam mengakhiri kotbah, sebagian makmum secara tertib berjabat tangan, baik dengan imam maupun dengan sesama makmun. Jumlah makmum yang berjabat tangan banyak, tetapi aktivitas itu berlangsung tertib. Tidak ada saling serobot! Tradisi itu merupakan contoh praktik-baik juga. Jamaah yang melakukannya tidak hanya jamaah dewasa. Anak-anak juga! Dengan demikian, sesungguhnya mereka pun dididik tertib.  

Jadi, sangat disayangkan jika cukup banyak muslim mukmin yang tidak dapat dijadikan teladan oleh anak dalam hidup tertib di masyarakat, padahal mereka sudah dididik tertib melalui berwudu, shalat, berzikir sesudah shalat wajib, dan berpuasa. Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya mendidik umat Islam agar tertib tidak hanya ketika berwudu, shalat, berzikir setelah shalat wajib, dan berpuasa, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.

Kebiasaan Mengantre

Sejak sekitar dua dasawarsa terakhir ini mengantre telah berlangsung dengan tertib. Ketertiban mengantre dapat dikondisikan dengan pengambilan nomor urut secara elektronik. Mengantre periksa di puskesmas dan rumah sakit, mengantre di bank, atau di tempat layanan umum lainnya yang prosedurnya diatur dengan cara itu berlangsung tertib. Tidak terjadi saling “serobot”.  Hal itu tentu merupakan praktik-baik yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi anak. 

Sementara itu, masih dapat kita saksikan (bahkan kita alami) ketidaktertiban sebagai akibat tidak diterapkannya budaya mengantre. Hal itu terjadi misalnya pada waktu mengantre makan dengan model prasmanan pada resepsi pernkahan (atau resepsi lainnya), pengambilan bantuan bagi masyarakat tidak mampu, penerimaan zakat, dan penerimaan daging kurban. Akibat tidak mengantre dengan baik, terjadi saling mendesak yang berakhir dengan kericuhan. Bahkan, kericuhan itu sampai memakan korban jiwa. Sayangnya, peristiwa itu masih saja berulang dan terjadi di beberapa tempat. Sangat memalukan dan memilukan! 

Kita tentu sangat prihatin menyaksikan acara makan dengan model prasmanan yang tidak tertib akibat tidak diterapkannya budaya antre. Kita prihatin karena makan dengan model prasmanan merupakan bagian dari budaya masyarakat modern. Dari segi pendidikan, mereka umumnya berpendidikan cukup. 

Acara resepsi itu sering diikuti tidak hanya oleh orang dewasa, tetapi juga diikuti oleh anak-anak. Jika anak-anak menyaksikan praktik-buruk itu, tidak tertutup kemungkinan mereka pun melakukannya pada acara makan bersama model prasmanan atau pada acara lain. 

Fenomena di Jalan Umum

Sering terjadi “ngeblong” di traffic light dilakukan tidak hanya oleh anak jalanan, tetapi juga orang tua. Bahkan, ada orang tua dengan atribut pakaian muslim yang memboncengkan anak kecil pun melakukannya. Boleh jadi, ayah ibu melakukannya karena membawa anaknya itu puskesmas atau rumah sakit untuk memeriksakan anaknya yang memerlukan pertolongan segera. Terhadap mereka tentu kita dapat memakluminya. Namun, jika tidak untuk keperluan seperti itu, jelas merupakan praktik-buruk yang tidak boleh dilakukan sebab hal itu menjadi contoh buruk.

Pengendara motor gedhe (moge) sering “ugal-ugalan” di jalan raya. Ketika di traffic light, lampu menyala merah pun diterjangnya dengan dalih sudah memberikan sinyal. Lebih-lebih lagi ketika mereka sedang melaju di jalan. 

Mereka dengan “gagahnya” meminggirkan pengguna jalan yang lain, padahal di antara pengguna yang dipinggirkan itu ada yang mempunyai kepentingan jauh lebih mendesak daripada kepentingan pengendara moge yang dengan mogenya itu sekadar ingin “hura-hura” atau malah ingin pamer kekayaan. Tindakan yang demikian merupakan praktik-buruk yang seharusnya tidak dilakukan. Tindakan itu sama sekali tidak mencerminkan kemuliaan akhlak.

Mereka pasti dihormati jika menjadi teladan dalam berlalu lintas. Mereka mau menghormati sesama pengguna jalan. Mereka sangat taat pada peraturan lalu lintas.

Ada praktik-buruk lain yang semestinya tidak dilakukan orang tua, yakni menggunakan trotoar untuk berdagang, usaha bengkel atau usaha warung makan. Masih cukup banyak orang yang berdagang, membuka usaha bengkel, dan membuka usaha warung makan di trotoar. Penggunaan trotoar yang demikian tidak sesuai dengan peruntukkannya. Malahan, hal itu bertentangan dengan hak-hak jalan sebagaimana dijelaskan di dalam hadis berikut ini. 

((إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ))، فَقَالُوا: مَا لَنَا بُدٌّ إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا، قَالَ: ((فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا))، قَالُوا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ، قَالَ: ((غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ)).

Janganlah kalian duduk-duduk di (tepi) jalanan,” mereka (para sahabat) berkata, "Sesungguhnya kami perlu duduk-duduk untuk berbincang-bincang.” Beliau berkata,”Jika kalian tidak bisa, melainkan harus duduk-duduk, maka berilah hak jalan tersebut,” mereka bertanya, "Apa hak jalan tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, "Menundukkan (membatasi) pandangan, tidak mengganggu (menyakiti orang), menjawab salam, memerintahkan kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar.”

(Sumber: Ustadz Arif Syarifuddin, Lc.)

Referensi: https://almanhaj.or.id/37576-hak-hak-jalan-2.html

Karena trotoar digunakan untuk keperluan-keperluan tersebut, pejalan kaki terpaksa turun ke bahu jalan. Tidakkah hal itu termasuk menyakiti pejalan kaki? Lagi pula, pejalan kaki tersebut tentu tidak nyaman.

Hal yang harus disadari adalah bahwa penggunaan trotoar bagi pejalan kaki sudah diatur di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Hak-hak pejalan kaki secara jelas dilindungi pada pasal 45 ayat (1). Di dalam pasal dan ayat tersebut dijelaskan bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.

Sementara itu, fungsi trotoar pun ditegaskan dalam pasal 34 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang jalan yang berbunyi “Trotoar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki.”

Jelaslah bahwa penggunaan trotoar untuk berdagang, usaha bengkel, atau usaha warung makan tidak sesuai dengan peruntukkannya. 
Lalu, bagaimana tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ketaatan pada peraturan? Beliau menyuruh kita untuk memenuhi setiap perjanjian dan kesepakatan. Beliau bersabda,

وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حراما
Setiap muslim harus memenuhi setiap aturan yang mereka sepakati, kecuali kesepakatan dalam rangka menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”. (HR Abu Daud dan HR Turmuzi).

Peraturan lalu lintas dibuat melalui proses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang  berlaku. Orang-orang yang membuatnya adalah pengemban amanah sesuai dengan tugas dan keahliannya masing-masing. Jadi, sesungguhnya peraturan itu telah menjadi kesepakatan kita. Kosekuensinya adalah kita wajib menaatinya. Oleh karena itu, jika ada ayah ibu yang menggunakan trotoar yang berakibat “menghilangkan” hak pejalan kaki, berarti mereka telah melakukan praktik-buruk. Mereka "menzalimi" pejalan kaki.

Na’uzubillah!


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Izza Rohman Ketua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah New South Wales Periode 2022-2024 P....

Suara Muhammadiyah

9 December 2023

Wawasan

Isra Miraj dan Rekonstruksi Perilaku Sosial Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Associate Professor Uni....

Suara Muhammadiyah

27 January 2025

Wawasan

Sebuah Alasan untuk Tetap Semangat Berkarya Oleh: Heriyanti, Kepala SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta, ....

Suara Muhammadiyah

22 May 2024

Wawasan

Rebranding StikesMu Tegal Berani Berubah Menjadi Universitas Refleksi Milad STIKes Muhammadiyah Teg....

Suara Muhammadiyah

12 September 2023

Wawasan

Memaknai Guru Hebat Indonesia Kuat Oleh: Wiguna Yuniarsih, Wakil Kepala SMK Muhammadiyah 1 Ciputat ....

Suara Muhammadiyah

28 November 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah