Memahami Fungsi Pakaian untuk Keluarga Harmonis (2)

Publish

24 November 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1018
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Trilogi Bagian Kedua: Suami istri Saling Menutupi Ketidaksempurnaan Pasangannya

Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag.

Selain berfungsi sebagai perhiasan yang diharapkan mampu menambah keanggunan pemakainya, Q.S. Al-A'rāf [7]: 26 juga menyatakan fungsi pakaian yang lebih penting dari sekedar menjadi perhiasan yaitu menutupi aurat [yuwārī sauātikum] dalam menjaga kehormatan pemakainya dari segala bentuk pelecehan. Karena anggota badan yang masuk dalam kategori aurat seharusnya merupakan wilayah pribadi yang sangat privat, sehingga tidak layak untuk dibiarkan terbuka menjadi tontonan publik.

Yang kemudian perlu dicermati adalah bahwa ayat ini [7:26] menyebutkan dua fungsi pakaian sekaligus. Pertama menutup aurat [yuwārī sauātikum] dan kedua sebagai perhiasan [rīsyan] yang secara tidak langsung ada sebuah pesan yang bisa ditangkap, yaitu bahwa dalam memilih pakaian tidak cukup hanya mempertimbangkan kualitas bahan,  keindahan tekstur kainnya dan trend modelnya tetapi juga harus memenuhi kriteria spiritualitas dengan tidak menampakkan aurat sesuai ketentuan agama, dan ini yang lebih penting.

Fenomena akhir zaman telah banyak merubah sudut pandang manusia tentang substansi pakaian, karena yang lebih diutamakan adalah bahan dan modelnya bukan ketertutupan auratnya sehingga banyak yang terlihat berpakaian modis dan mahal tetapi terkesan seperti telanjang karena hampir semua lekuk tubuhnya bisa dilihat akibat dari terbukanya mayoritas anggota badan dan tipisnya bahan. Ini yang kemudian diungkapkan oleh nabi sebagai fenomena tanda semakin dekatnya kiamat dengan terminologi 'āriyāt kāsiyāt dan kāsiyāt 'āriyāt: dikatakan telanjang tetapi kok sudah berpakaian, tetapi dikatakan berpakaian kok hampir semua permukaan tubuhnya tidak tertutup. 

Dalam konteks menciptakan hubungan suami istri yang harmonis juga harus menggunakan paradigma fungsi pakaian yang bukan hanya sebagai perhiasan tetapi juga harus memenuhi kriteria menutupi aurat. Artinya bahwa masing-masing dari suami dan istri juga harus mampu menutupi kekurangan dan keterbatasan pasangannya. Kekurangan, keterbatasan dan bahkan perilaku-perilaku yang terindikasi tidak baik harus menjadi rahasia bagi masing-masing suami istri dan jangan sampai terekspose keluar pintu rumah tangga. Hal Ini tidak bisa lepas dari prinsip hubungan sosial yang islami di mana ada keharusan bagi seseorang muslim untuk menutupi kekurangan dan aib sesama muslim lainnya, dan Allah akan mengapresiasinya dengan perlakuan yang sama di akhirat kelak, bahkan ditutupi dari siksa neraka. Maka dalam prinsip hubungan sesama pasangan suami istri yang cara menyatukan keduanya melalui proses perjanjian yang berat [mitsāqan ghalīdhān] maka harus lebih kuat lagi berupaya menutupi dan menyembunyikan kekurangan pasangannya. 

Kalau setiap pasangan memahami kewajiban dan hak suami istri dengan perspektif fungsi pakaian pada ayat di atas, maka sejatinya ia telah merawat karakter al-hāfidzīna furūjahum wa al-hāfidzāt yang disebutkan di dalam Q.S. al-Ahzab [33]: 35. Yaitu pasangan yang menjaga aurat dan mengendalikan syahwat kemaluannya supaya tidak menjadi penyebab orang lain melakukan dosa. Dan yang lebih spesifik lagi disebutkan di Q.S. al-Nisa [4]: 34 dengan ungkapan hāfidzāt li al-ghaybi bi mā hafidza Allāh. Dalam konteks ayat ini dapat ditegaskan bahwa istri yang sholehah adalah  wanita yang taat beragama dan mampu menjaga diri dan rumahnya ketika suami sedang bertugas di luar dengan tetap menjaga rumahnya sebagai wilayah yang sangat pribadi. Dalam kondisi semacam ini, istri yang sedang menjaga kehormatannya dapat mengembangkan prinsip: inna buyūtanā áurah (sesungguhnya rumahku auratku). 

Prinsipnya pasangan yang bisa memerankan dirinya menjadi pakaian dengan mengembangkan spirit  yuwārī sauātikum bagi pasangannya, sebenarnya telah memiliki kekuatan internal dalam mengendalikan potensi negatif yang  ditimbulkan oleh mulut dan kemaluannya. Logikanya seseorang yang tidak mampu mengendalikan lisannya akan sangat mudah untuk menyebarkan kekurangan saudaranya termasuk suami atau istrinya. Sedangkan seseorang yang tidak mampu mengendalikan syahwatnya, maka syahwatnya akan mengendalikan hidupnya dan menghilangkan rasa malunya  bahkan bangga mempertontonkan auratnya.

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah memberikan jaminan surga bagi yang benar-benar mampu mengendalikan lisan [mā bayna lihyayhi] dan kemaluannya [mā bayna fakhidzayhi].  Dalam konteks berkeluarga apabila suami istri mendambakan rumahnya menjadi surga di dunia, maka hendaklah masing-masing dari kedua pasangan mengendalikan lisannya dan kemaluannya.

Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag., Dewan Pakar Sahabat Misykat Indonesia, Mudir Pondok Modern Muhammadiyah Paciran


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Kekuasaan dalam Perspektif Demokrasi Oleh: Dr Masud HMN, Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. H....

Suara Muhammadiyah

15 May 2024

Wawasan

Pondasi Pendidikan Karakter Oleh: Dartim Ibnu Rushd, Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam UMS Pertam....

Suara Muhammadiyah

26 February 2024

Wawasan

Oleh: Mohammad Fakhrudin Warga Muhammadiyah Tinggal di Magelang Kota   JABATAN   Jaba....

Suara Muhammadiyah

27 February 2024

Wawasan

Dahlan dan Kennedy Oleh: Abdul Hafiz, Wakil Ketua PWM Bengkulu Kedua tokoh ini bisa dipastikan tid....

Suara Muhammadiyah

29 December 2023

Wawasan

Mengenal Syariah Lebih Dekat Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas H....

Suara Muhammadiyah

20 November 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah