Antara Kehendak Ilahi dan Pilihan Manusia: Tafsir Mendalam Surat Al-Anfal 24
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Tulisan ini membahas sebuah ayat Al-Qur'an yang juga sering disalahpahami, yaitu Surat Al-Anfal ayat 24. Ayat ini berbunyi: "Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah panggilan Allah dan Rasul apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa Allah membatasi antara seseorang dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan." Ayat ini sarat akan pelajaran, terutama pada frasa "Allah membatasi antara seseorang dan hatinya."
Frasa ini bisa diinterpretasikan dalam beberapa makna. Jika kita memahami hati sebagai organ fisik, maka jelaslah bahwa kita tidak memiliki kendali penuh atasnya. Detak jantung kita terjadi secara otomatis, di luar kendali kita. Ini menunjukkan bahwa Allah adalah penguasa mutlak atas sistem tubuh kita, bahkan bisa menghentikan detak jantung kapan saja, meskipun terkadang Dia memberikan pengetahuan kepada dokter untuk memulihkannya. Ini menegaskan bahwa Allah-lah yang memegang kendali penuh atas diri kita.
Namun, jika kita memahami hati sebagai "pikiran" atau "akal", seperti yang sering diungkapkan dalam Al-Qur'an, dan bahkan dalam bahasa sehari-hari ("patah hati" berarti depresi mental), maka maknanya menjadi lebih luas. Menurut Mujahid, murid Ibnu Abbas dan penafsir Al-Qur`an setelah Nabi Muhammad SAW, "hati" dalam ayat ini merujuk pada akal manusia.
Dalam konteks ini, saya ingin menyoroti bagaimana Allah membentuk atau membimbing pikiran manusia. Ayat lain dalam Al-Qur'an (Surat Al-Baqarah ayat 186) menyatakan bahwa jika seseorang bertakwa kepada Allah, Dia akan memberikan kriteria atau kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Ini berarti Allah dapat menginspirasi manusia menuju kebaikan dan membantu mereka menghindari kejahatan.
Beberapa ulama, seperti Al-Ghazali dan Ar-Razi, menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah mencegah orang beriman untuk jatuh dalam kekafiran, dan yang menakutkan, mencegah orang kafir untuk beriman.
Penafsiran kontroversial mengenai intervensi ilahi terhadap hati manusia ini berakar pada sebuah perdebatan teologis yang mendalam dan berkelanjutan dalam sejarah pemikiran Islam. Para ulama, cendekiawan, dan ahli teologi pada masa lalu bergulat dengan pertanyaan fundamental tentang konsep takdir (qadar) dan sejauh mana kebebasan berkehendak (ikhtiyar) manusia berlaku.
Dalam upaya untuk mengukuhkan kemahasempurnaan dan kekuasaan mutlak Allah (tauhid rububiyah), banyak di antara mereka cenderung menafsirkan setiap aspek keberadaan—termasuk pilihan dan keyakinan individu—sebagai sepenuhnya berada di bawah kendali ilahi. Pandangan ini bertujuan untuk menegaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, baik itu keimanan maupun kekafiran, adalah bagian dari ketetapan dan rencana Allah yang tak tergoyahkan. Akibatnya, ada kecenderungan untuk meminimalkan peran atau otonomi manusia dalam menentukan arah spiritual mereka sendiri, seolah-olah tindakan mereka sepenuhnya ditentukan oleh kehendak Tuhan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Lebih jauh, untuk mendukung pandangan ini, beberapa ulama bahkan mengutip dan menyebarkan riwayat-riwayat tertentu yang dikaitkan dengan Nabi Muhammad SAW. Riwayat-riwayat ini menggambarkan sebuah skenario di mana Allah telah menciptakan sebagian umat manusia secara khusus untuk tujuan surga dan sebagian lainnya untuk neraka, tanpa memandang amal perbuatan mereka di dunia.
Dalam riwayat ini, tersirat gagasan bahwa Allah secara aktif mencegah individu yang ditakdirkan untuk surga agar tidak terjerumus ke dalam kekafiran, memastikan bahwa mereka tetap berada di jalur keimanan. Sebaliknya, mereka yang telah ditetapkan untuk neraka konon dihalang-halangi oleh Allah untuk mencapai keimanan, sehingga mereka tetap berada dalam kekafiran yang telah ditentukan bagi mereka. Penafsiran semacam ini, tentu saja, menimbulkan implikasi etis dan keadilan yang kompleks, yang pada akhirnya memicu diskusi lebih lanjut di kalangan para pemikir Muslim modern.
Penafsiran seperti ini jelas keliru. Keadilan Allah tidak akan membiarkan-Nya mencegah seseorang untuk beriman, lalu menuntut mereka untuk beriman. Ini tidak sejalan dengan konsep keadilan ilahi.
Kita dapat memahami bahwa Allah memiliki kendali mutlak dan tertinggi, namun Dia juga memberi kita kemampuan terbatas untuk memilih. Dalam batasan-batasan ini, kita akan dimintai pertanggungjawaban atas bagaimana kita menggunakan kemampuan yang telah Dia berikan. Allah mengizinkan kita melakukan pilihan, bahkan kejahatan, dan kita bertanggung jawab atasnya, tetapi semua ini tetap berada dalam kendali-Nya yang lebih luas. Dengan demikian, tidak ada kebutuhan untuk merujuk pada penafsiran yang keliru yang menghilangkan kehendak bebas manusia.
Saya juga ingin memberikan penekanan pada aspek lain dari ayat ini yang sering terlewatkan: kedekatan Allah dengan orang-orang beriman. Ayat ini dapat diartikan bahwa Allah sangat dekat dengan hamba-Nya. Ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an juga menegaskan kedekatan ini, seperti Surat Al-Baqarah ayat 186 yang menyatakan, "Apabila mereka bertanya kepadamu tentang Aku, katakanlah Aku dekat," dan Surat Qaf ayat 16 yang mengatakan, "Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya."
Kedekatan Allah ini adalah interpretasi yang lebih tepat dan adil, daripada pandangan bahwa Dia mencegah orang untuk beriman lalu menuntut keimanan dari mereka.