Al-Ghazali tentang Kalam dan Tasawuf

Publish

28 February 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1365
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Al-Ghazali tentang Kalam dan Tasawuf

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Al-Ghazali (Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali) adalah seorang sarjana Muslim terkemuka, ahli hukum, filsuf, dan teolog yang hidup pada abad ke-11 dan ke-12 M. Dia dilahirkan pada 1058 di Persia (Iran sekarang) dan memainkan peran penting dalam membentuk pemikiran Islam selama periode pascaformatif.

Al-Ghazali memberikan kontribusi penting dalam berbagai bidang dalam ilmu-ilmu Islam, dan karya-karyanya memiliki dampak yang mendalam dan abadi. Pada kesempatan ini, saya mencoba melihat dua bidang saja yang menjadi minat beliau, yakni kalam (teologi) dan tasawuf (sufisme).

Pandangan Al-Ghazali tentang kalam berevolusi selama hidupnya. Al-Ghazali terlibat dalam perdebatan dan diskusi teologis, terutama dengan para pendukung aliran pemikiran Mu’tazilah. Perspektifnya tentang kalam secara luar biasa bisa dipahami melalui karya-karyanya, terutama Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf)  dan Ihya’ Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama).

Al-Ghazali mengkritik aspek-aspek tertentu dari ide-ide filosofis yang lazim pada masanya, terutama yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengkritik para filsuf atas pandangan mereka tentang sifat-sifat Allah, hukum kausalitas, dan keabadian alam semesta. Dia berpendapat bahwa beberapa ide filosofis ini bertentangan dengan prinsip dasar teologi Islam.

Al-Ghazali menekankan keterbatasan akal manusia dalam memahami masalah teologis tertentu. Sunggupuh mengakui pentingnya akal dalam beberapa hal, Al-Ghazali berpendapat bahwa akal saja tidak dapat memahami kedalaman kebenaran ilahi. Dia mengingatkan agar tidak hanya mengandalkan akal untuk memahami hal-hal di luar jangkauan pemahaman manusia, terutama ketika menyangkut masalah yang berkaitan dengan sifat Tuhan.

Terkait hubungan antara akal dan wahyu, Al-Ghazali sejatinya mendukung hubungan yang harmonis antara akal dan wahyu. Meskipun mengkritik filsuf, dia tidak menolak akal atau rasio secara langsung. Sebaliknya, Al-Ghazali pentingnya integrasi akal dengan wahyu, dan mengakui peran akal untuk memahami dunia fisik. Namun beliau tetap menekankan bahwa wahyu memberikan panduan utama tentang perkara iman.

Oleh karena itu, Al-Ghazali menyoroti pentingnya iman (îmân) dan kepastian pengalaman (yaqîn) dalam masalah kalam. Dia berpendapat bahwa pengetahuan sejati tentang Allah hanya dapat dicapai melalui pengalaman pribadi, intuisi rohani, dan hubungan yang tulus dengan Tuhan. Penekanan pada kepastian pengalaman ini selaras dengan keterlibatannya dengan tasawuf.

Dalam karyanya yang monumental Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali memasukkan bagian tentang kalam sebagai bagian dari pembahasan lebih luas tentang ilmu-ilmu Islam. Karya ini membahas topik -topik teologis dalam konteks bimbingan praktis untuk individu tentang masalah iman, etika, dan spiritualitas.

Singkatnya, pandangan Al-Ghazali tentang kalam mencerminkan perspektif yang sarat nuansa dan berkembang. Kendati dia amat kritis terhadap ide-ide filosofis tertentu, Al-Ghazali berusaha membangun pendekatan yang seimbang yang mengakui pentingnya akal dalam kerangka wahyu dalam Islam. Penekanannya pada kepastian pengalaman (yaqîn) dan integrasi akal dan iman telah memengaruhi diskusi selanjutnya dalam teologi Islam.

Sementara itu, pandangan Al-Ghazali tentang tasawuf mengalami transformasi yang signifikan selama hidupnya. Keterlibatannya dengan tasawuf sekali lagi dapat ditelusuri dalam magnum opus-nya Ihya` Ulumuddin. Evolusi pandangannya terhadap Tasawuf dapat diuraikan sebagai berikut:

Al-Ghazali awalnya skeptis terhadap beberapa praktik-praktik tasawuf. Dia mengkritik apa yang dilihatnya sebagai sikap berlebih-lebihan dan penyimpangan dari ajaran Islam ortodoks pada beberapa kelompok tasawuf tertentu. Dalam Tahafut al-Falasifah, sebetulnya dia juga memuat kritik terhadap beberapa ide-ide tasawuf di samping pemikiran filosofis.

Al-Ghazali mengalami krisis pribadi yang membawanya untuk mengevaluasi hidup dan pencariannya di bidang ilmu. Periode introspeksi dan pencarian spiritual ini akhirnya membawanya pada keterlibatan yang lebih mendalam dengan tasawuf. Dia mundur dari posisinya sebagai sarjana terkemuka dan mencari kehidupan yang lebih kontemplatif dan spiritual.

Dalam karyanya yang lebih terakhir, Ihya` Ulumuddin, Al-Ghazali menyertakan diskusi yang luas tentang tasawuf. Dia menekankan pentingnya praktik-praktik tasawuf dalam membersihkan jiwa dan membina hubungan pribadi yang dalam dengan Allah. Yang penting, dia berusaha mengintegrasikan tasawuf dengan prinsip-prinsip hukum Islam.

Al-Ghazali mengakui praktik-praktik tasawuf, seperti zikir, muhasabah dan disiplin rohani sebagai sarana untuk mencapai pemurnian spiritual. Dia mengintegrasikan praktik-praktik ini ke dalam kerangka perilaku etis dan kehidupan yang benar, menekankan penerapan praktik tasawuf secara praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Dia juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara dimensi zahir (luar, hukum) dan dimensi batin (dalam, spiritual) Islam. Dia berpendapat bahwa kedua aspek tersebut penting untuk pemahaman menyeluruh tentang iman dan untuk mencapai pemenuhan spiritual.

Al-Ghazali, dipengaruhi oleh pengalaman spiritualnya sendiri, menganjurkan pengetahuan langsung dan eksperimental tentang Allah (ma’rifah) melalui hubungan pribadi dan kontemplasi. Pemberian penekanan pada pengetahuan eksperimental ini sejalan dengan ajaran-ajaran tasawuf tertentu.

Secara ringkas, pandangan Al-Ghazali tentang tasawuf berkembang dari skeptisisme menuju perspektif yang lebih positif dan integratif. Dia memainkan peran penting dalam menjembatani kesenjangan antara ilmu pengetahuan Islam utama dan mistisisme tasawuf, menekankan kesesuaian praktik tasawuf dengan ajaran Islam ortodoks. Sintesisnya antara tasawuf dan fikih memiliki dampak yang berkelanjutan dalam pemahaman tentang mistisisme dalam tradisi Islam secara lebih luas.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Khazanah

Al-Hadits: Cahaya Petunjuk dari Relung Nabi Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Univers....

Suara Muhammadiyah

15 November 2024

Khazanah

Imam Abu Hanifah: Peneroka Ahlul Ra’yi Oleh: Donny Syofyan: Dosen Fakultas Ilmu Budaya Univer....

Suara Muhammadiyah

26 June 2024

Khazanah

Kitab-Kitab Hadits (Bagian ke-2) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas A....

Suara Muhammadiyah

15 December 2023

Khazanah

Pendidikan Inklusi Menurut Hadits Niki Alma Febriana Fauzi, Dosen Prodi Ilmu Hadits Fakultas Agama ....

Suara Muhammadiyah

29 October 2024

Khazanah

Wasiat KH Ahmad Dahlan: Muhammadiyah Harus Taklukkan Dunia! Oleh Mu’arif “Moehammadija....

Suara Muhammadiyah

22 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah