Ayat Al-Qur'an dan Injil: Bukan Perintah untuk Mengikuti Dogma Kristen

Publish

7 May 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
78
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Pernahkah Anda mendengar klaim bahwa Al-Qur'an justru memerintahkan umat Islam untuk mengikuti ajaran Injil, termasuk keyakinan akan Yesus sebagai Putra Allah, Tuhan, dan Juru selamat? Klaim ini sering muncul dalam diskusi lintas agama, terutama ketika merujuk pada Surah Al-Maidah ayat 47 yang berbunyi, "Dan hendaklah Ahli Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya.” Sekilas, ayat ini memang bisa menimbulkan pertanyaan dan bahkan dianggap sebagai kontradiksi dengan keyakinan Islam.

Namun, benarkah demikian? Mari kita telaah lebih dalam. Ayat ini, wa l-yahkum ahlu l-injîli bimâ anzala ‘llāhu fīhi, secara harfiah berarti "Dan hendaklah Ahli Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya." Kunci pemahamannya terletak pada frasa "apa yang diturunkan Allah di dalamnya." Apakah ini berarti seluruh isi Injil yang kita kenal sekarang? Ternyata, jawabannya tidak sesederhana itu.

Umat Islam memiliki pandangan yang berbeda mengenai Injil. Al-Qur'an sendiri menggunakan kata "Injil" dalam bentuk tunggal ahlu l-injîl, seolah merujuk pada satu kitab suci yang asli. Sementara itu, dalam tradisi Kristen, kita mengenal empat Injil yang berbeda. Dari perspektif Islam, sangat mungkin bahwa Injil yang ada saat ini mengandung wahyu Ilahi yang bercampur dengan tulisan-tulisan lain.

Keberadaan empat Injil yang berbeda semakin memperkuat pandangan ini. Jika Al-Qur'an memerintahkan untuk berhukum dengan Injil, lalu Injil mana yang dimaksud? Apakah merujuk pada satu pesan inti Injil, yang diyakini sebagian teman Kristen, meskipun terangkum dalam empat dokumen yang berbeda? Bahkan konsep "pesan Injil" itu sendiri memiliki beragam interpretasi di kalangan teolog.

Lantas, dengan keberadaan empat Injil yang berbeda, pertanyaan krusial muncul: jika Al-Qur'an menyerukan untuk berhukum dengan Injil, Injil mana yang secara spesifik dirujuk? Lebih jauh lagi, konsep "pesan Injil" itu sendiri bukanlah sesuatu yang tunggal dan tanpa interpretasi. Berbagai penafsir telah memberikan pemahaman yang berbeda-beda mengenai inti ajaran Injil. Bahkan dalam catatan sejarah, kita menemukan Rasul Paulus berbicara tentang "Injilku," yang menunjukkan adanya perbedaan pemahaman di kalangan pengikut Yesus pada masa awal.

Dari perspektif Al-Qur'an, gagasan tentang hanya satu Injil yang diturunkan menjadi landasan penting. Ayat tersebut kemudian memberikan arahan untuk berhukum "dengan apa yang diturunkan Allah di dalamnya," mengisyaratkan bahwa tidak semua yang tertulis dalam Injil saat ini dianggap sebagai wahyu murni.

Untuk memahami konteks perintah ini lebih jauh, kita perlu menilik latar belakang historisnya. Ayat-ayat sebelum dan sesudah ayat 47 Surah Al-Maidah mengisahkan tentang kaum Yahudi pada masa Nabi Muhammad ﷺ yang membawa perkara-perkara sengketa kepada beliau untuk diputuskan. Salah satu contoh yang disebutkan dalam riwayat adalah kasus perzinahan.

Menariknya, kisah serupa juga terdapat dalam Injil Yohanes, di mana seorang wanita yang berzina dibawa kepada Nabi Isa AS untuk dihakimi. Nabi Isa AS kala itu tidak langsung memberikan hukuman, melainkan mengembalikan keputusan kepada mereka yang menuduh.

Dalam konteks ini, Nabi Muhammad ﷺ juga diberikan pilihan oleh Allah: beliau dapat memutuskan perkara berdasarkan wahyu yang diterimanya (Al-Qur'an), atau mengembalikan keputusan kepada kaum Yahudi agar mereka berhukum dengan Taurat, kitab suci mereka yang diyakini mengandung hukum Allah.

Ini mengindikasikan bahwa perintah untuk berhukum dengan Injil dalam ayat 47 mungkin memiliki kaitan erat dengan konteks interaksi Nabi ﷺ dengan Ahli Kitab pada masanya, dan bukan merupakan perintah universal bagi umat Islam untuk mengikuti dogma yang berkembang dalam tradisi Kristen setelahnya.

Dalam konteks interaksi dengan Ahlul Kitab, khususnya kaum Yahudi, Al-Qur'an menyoroti sebuah dinamika menarik. Keyakinan mereka bahwa Taurat mengandung hukum Allah menjadi poin penting. Namun, tindakan mereka membawa kasus-kasus perselisihan kepada Nabi Muhammad ﷺ justru menimbulkan pertanyaan.

Mengapa mereka mencari keputusan dari seseorang yang, dalam keyakinan mereka, bukanlah seorang nabi, padahal mereka memiliki kitab suci yang mereka banggakan berisi hukum ilahi? Tindakan ini mengindikasikan adanya inkonsistensi dalam keyakinan dan praktik mereka.

Di sisi lain, Al-Qur'an sendiri menunjukkan sikap hormat terhadap Taurat, mengakui adanya petunjuk dan cahaya di dalamnya, termasuk hukum Allah. Dalam situasi sosial yang kompleks saat itu, Al-Qur'an seolah memberikan solusi yang adil dan mengakomodasi keberagaman.

Ayat 47 Surah Al-Maidah kemudian tampil sebagai penegasan prinsip ini: setiap komunitas agama diberikan hak untuk memutuskan perkara berdasarkan kitab suci yang mereka yakini. Ahli Injil (umat Kristen) diperintahkan untuk berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dalam Injil, Ahli Taurat (umat Yahudi) dengan Taurat, dan Nabi Muhammad ﷺ dengan Al-Qur'an bagi umat Muslim.

Lebih lanjut, Al-Qur'an juga membuka ruang bagi komunitas lain untuk mencari keputusan dari Nabi ﷺ sebagai pemimpin. Namun, dalam hal ini, keputusannya akan didasarkan pada Al-Qur'an dan harus diterima oleh pihak yang meminta. Meskipun demikian, prinsip kebebasan beragama tetap dijunjung tinggi. Setiap komunitas bebas untuk kembali dan berhukum dengan hukum agama mereka sendiri, tanpa adanya paksaan untuk mengikuti ajaran Islam.

Dengan demikian, menafsirkan ayat 47 sebagai perintah bagi umat Islam untuk menerima dogma Kristen, seperti ketuhanan Yesus, adalah sebuah pemaksaan makna yang tidak sesuai dengan konteks dan semangat kebebasan beragama yang ditunjukkan dalam ayat tersebut.

Sebagai penutup dari telaah ayat ini, penting untuk kembali pada inti perintah wa l-yaḥkum, yang berarti "hendaklah mereka memutuskan perkara." Dalam konteks interaksi antar komunitas agama yang beragam, terutama dalam penyelesaian sengketa atau kasus hukum yang dibawa kepada seorang pemimpin atau hakim, fokus utama adalah pada penerapan hukum yang diyakini oleh masing-masing pihak dalam kitab suci mereka.

Dengan kata lain, ayat ini lebih menekankan pada mekanisme penyelesaian masalah secara adil sesuai dengan keyakinan agama masing-masing, dan tidak secara langsung membahas atau memerintahkan penerimaan doktrin teologis yang mendasar dan membedakan antar agama.

Jadi, inti dari ayat ini bukanlah ajakan untuk menyelaraskan teologi, melainkan panduan praktis dalam berinteraksi dan menyelesaikan permasalahan dalam masyarakat yang majemuk dengan menghormati hukum dan keyakinan setiap komunitas.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Refleksi Milad Muhammadiyah ke-112: Menggali Makna Kontribusi dan Tantangan Oleh: Kumara Adji Kusum....

Suara Muhammadiyah

17 November 2024

Wawasan

Anak Saleh (25) Oleh: Mohammad Fakhrudin "Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui pr....

Suara Muhammadiyah

9 January 2025

Wawasan

Umar Melarang Anaknya Dicalonkan Jadi Khalifah Oleh: Abdul Hafiz, Wakil Ketua PWM Bengkulu “....

Suara Muhammadiyah

13 February 2024

Wawasan

Ramadhan dan Normalisasi Polarisasi Politik Akhmad Khairudin, M.B.A., Majelis Ekonomi PCM Turi Pem....

Suara Muhammadiyah

19 February 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Surah Al-Fatihah bukanlah surah....

Suara Muhammadiyah

12 January 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah