In Memoriam Paus Francis dalam Refleksi Seorang Kader Muhammadiyah

Publish

27 April 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
78
Foto Istimewa

Foto Istimewa

In Memoriam Paus Francis dalam Refleksi Seorang Kader Muhammadiyah 

Oleh: Mansurni Abadi, Mantan Pengurus RPK IMM Malaysia

Pada hari kedua perayaan paskah (21/04), tepat pukul 9 pagi waktu Vatikan , Kardinal Kevin Farrell mengumumkan bahwa Paus Fransiskus—yang sehari sebelumnya membawa pesan Paskah penuh harapan dan dorongan untuk menghentikan segala bentuk peperangan dari Gaza sampai ke Myanmar itu —telah berpulang. Kini, prosesi pemakaman dan persiapan pemilihan Paus yang barumerupakan langkah berikutnya melalui konklaf di Kapel Sistina 

Memang tidak ada yang mengejutkan seputar berita kematian Paus dari sisi teologis, karena seyogyanya meninggal adalah kepastian yang tidak harus dikejutkan, sebagaimana penegasan dari frasa latin yang menjadi landasan stoic yaitu “momento mori”,  tapi dari sisi sosial berpulangnya Pope Francis , pemimpin bagi 1 milyar lebih umat katolik di seluruh dunia itu tetap meninggalkan duka kolektif. 

Apalagi delapan bulan sebelumnya, Paus pertama dari luar kawasan Eropa selama 1.300 tahun sejarah takhta suci itu sempat berkunjung ke Indonesia. Berbeda dari kedatangan pemimpin negara lainnya yang bernuansa politis, kunjungan Paus Francis lebih bermakna spiritual, mungkin selaras dengan tema perjalanannya yang memakai frasa “apostolik” yang dalam teologi nasrani bermakna penguatan keimanan. 

Masih lekat dalam ingatan saya kala itu ketika algoritma media sosial pun menampilkan cuplikan kegiatan Paus Fransiskus dan antusiasme beragam kalangan—semuanya diiringi lagu Angel dari grup Libera yang khas dengan suara tinggi. Kini, lagu yang sama kembali menggema, menemani momen berbagai cuplikan FYP (For your page) tentang in memoriam Paus Fransiscus. 

Meskipun Paus Francis berbeda secara teologis, rasa-rasanya kita perlu kembali menelaah warisan pemikiran yang dituliskan dan perbuatan yang diteladankan oleh Paus Francis apalagi di tengah riuhnya dunia yang kerap diwarnai oleh gesekan, fenomena yang dangkal, dan krisis multidimensional yang berkepanjangan hadirnya suara dari tokoh besar yang merajut harmoni yang progresif dan inklusif menjadi oase yang menyejukkan . 

 Sebagai kader Muhammadiyah, saya terinspirasi untuk menyampaikan sebuah “refleksi” singkat kepada Pope Francis, dari sisi ekologis vis-à-vis antroposentris berdasarkan laudoto si , keimanan vis-à-vis modernisme berdasar Lumen Fidei, dan perdamaian vis-à-vis konflik berkepanjangan Frateli tutti.

Hubungan harmonis Muhammadiyah dan komunitas katolik 

Dalam kunjungan pada bulan September tahun lepas (2024), Paus Fransiscus tidak hanya bertemu dengan umat katolik yang puncaknya adalah misa akbar di GBK, namun juga dengan para tokoh- tokoh penting, aktivis kemanusiaan, sampai anak-anak.

Muhammadiyah melalui press release di media resminya, Suara Muhammadiyah pada September 2024 mengapresiasi kedatangan Paus yang bernama asli Jorge Mario Bergoglio sebagai momentum untuk memperkuat perdamaian.

Apalagi hubungan Muhammadiyah dengan Vatikan dan umat Katolik di Indonesia khususnya tebilang cukup baik dan unik, dari yang baik dapat dilihat dari penerimaan terhadap kehadiran amal usaha Muhammadiyah di wilayah-wilayah Indonesia yang bermayoritaskan Nasrani. 

Di Nusa tenggara timur misalnya, universitas Muhammadiyah menjadi oase intelektual bagi generasi muda katolik dan Kristen. Eksistensi dan penerimaan oleh masyarakat NTT yang tergolong sebagai daerah tertinggal itu bahkan tercatat apik dalam karya berjudul “Salib terang dibawah sinar sang surya”, yang secara garis besar menerangkan sepak terjang yang positif dan inklusif Muhammadiyah. 

Dari sisi keunikan, karena kontribusi Muhammadiyah ditengah mayoritas non muslim timbullah rasa keterikatan terhadap Muhammadiyah dari kalangan non Muslim yang dalam konteks ini berasal dari penganut Nasrani.

 Mereka kemudian dengan sadar, tanpa paksaan, dan tetap berada pada keimanannya turut serta menjadi simpatisan Muhammadiyah yang kemudian dari sana terciptalah identitas kader baru yang disebut dengan Kristen-Muhammadiyah.

Istilah Kristen Muhammadiyah seringkali disalah artikan sebagai aliran keagamaan baru yang dianggap menyimpang oleh mereka yang belum membaca buku berjudul lengkap Kristen Muhammadiyah: Mengelola Pluralitas Agama dalam Pendidikan.

 Padahal istilah ini bukan merujuk pada campuran teologis apalagi penciptaan aliran baru di dalam persyarikatan yang kuat berpegang pada komitmen pemberatasan TBC (Tahayul, bidah, dan khurafat) melainkan merujuk pada kader-kader Muhammadiyah yang berasal dari pemeluk Nasrani yang secara pergerakan sosial mereka menjadi pendukung Muhammadiyah secara aktif maupun pasif. 

Bahkan eksistensi kader non Muslim di Muhammadiyah terutama pada level pendidikan semakin mendapat tempat selepas 5 bulan pasca kedatangan Paus Franciscus dengan diadakannya forum kepemimpinan lintas iman untuk para mahasiswa non Muslim yang berkuliah di perguruan tinggi Muhammadiyah di Denpasar,Bali pada januari (2025) yang digagas oleh DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. 

Dari sisi diplomasi,kunjungan tokoh Muhammadiyah ke Vatikan maupun sebaliknya juga sering terjadi apalagi dalam konteks penguatan kerjasama lintas iman. pada awal tahun 2024, ketua umum Muhammadiyah Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si bertemu langsung mendiang Paus Franciscus di Vatikan untuk penyerahan penghargaan Zayed Award 2024 dan pada bulan agustus di tahun yang sama giliran elemen pemuda Muhammadiyah bersama para tokoh pemuda dari organisasi keagamaan lainnya yang diundang ke Vatikan. 

Titik temu Laudato Si’ ke Islam Berkemajuan

Krisis lingkungan menjadi salah satu ancaman terbesar umat manusia di masa kini dan masa depan merupakan realitas yang tidak bisa kita abaikan. 

 Meskipun ada kemungkinan adanya planet lain yang menyerupai Bumi, sejauh ini belum ada titik terang akan ke Planet mana kita ketika planet yang hanya setitik digalaksi bimasakti ini semakin rusak. 

Jikapun dimasa depan pada akhirnya, manusia berhasil menemukan planet itu, tidak setiap orang memiliki prividlege untuk kabur aja dulu keluar planet.

Jadi satu-satunya cara untuk menghindarkan masa depan planet kita tanpa war tiket ke luar angkasa , kita hanya perlu bergerak sesegera mungkin untuk mengatasi krisis lingkungan yang terjadi disekitar kita. 

 Seyogyanya kita harus menempatkan permasalahan krisis lingkungan sebagai keutamaan yang harus ditangani disemua level termasuk dari level agama yang bagi masyarakat Indonesia masih dianggap amat penting. 

Tapi pertanyaannya kemudian harus dimulai dari mana ? dan harus dimulai dengan sikap yang beragama seperti apa ? Dalam karya teologisnya, Paus Franciscus memperkenalkan ensiklik Laudato Si’ (2015) yang secara garis besar menjelaskan keperluan untuk meintegrasikan secara transformatif antara doktrin tradisional agama dan respons etis kontemporer terhadap krisis ekologis. 

Praksis dari teologi lingkungan ala Paus Francis dalam karya ensiklik itu menekankan pada konsep ekologi integral, yang menyatukan antara pelestarian lingkungan dan keadilan sosial.

 Bagi Paus Franciscus, krisis ekologi bukanlah takdir ilahiah tetapi muncul dari mentalitas eksploitatif yang juga menyebabkan ketidakadilan sosial, sehingga dibutuhkan reformasi holistik yang mencakup pengelolaan lingkungan dan martabat manusia.

Alih-alih menyalahkan Tuhan ketika banjir dan kebakaran hutan terjadi, kita harus melakukan intropeksi diri secara kolektif apa saja sisi salahnya kita dalam mengelola alam dan dari sana kita perlu membangun komimen untuk menyelesaikan masalah itu lewat aksi- aksi nyata. 

Ensiklik Laudoto Si yang bisa kita baca secara gratis versi terjemahannya, menjadi cikal bakal lahirnya gerakan dengan nama yang sama diantara masyarakat Katolik dunia yang juga merangkul mereka yang non Katolik

Gerakan Laudoto si bukan hanya mengadvokasi dan menjalankan aksi-aksi pemulihan lingkungan namun juga menentang paradigma antroposentris yang menempatkan lingkungan dan seisinya sebagai objek bagi kepentingan manusia.

Kalau dicermati konsepsi ekologi integral yang diusung oleh Paus Fransiskus, sebenarnya memiliki irisan penting dengan pemikiran dan praksis lingkungan Muhammadiyah. 

Apalagi pascareformasi, Muhammadiyah telah aktif melakukan advokasi lingkungan melalui pendekatan keagamaan, pendidikan, dan aksi sosial. 

Keterlibatan ekologis Muhammadiyah, merupakan cerminan dari interaksi yang dinamis antara reformasi keagamaan, keadilan sosial, dan pengelolaan lingkungan yang hampir sama dengan Laudoto si.

Adanya fatwa Majelis Tarjih tentang perlindungan lingkungan merupakan cerminan konkret dari respons muhammadiyah dari sisi teologis terhadap krisis ekologi. Sementara dari sisi gerakan, kader Muhammadiyah menggagas eco-bhineka sebuah forum lintas iman yang berfokus pada pelestarian lingkungan dan juga kader Hijau Muhammadiyah yang menghimpun kader-kader muda Muhammadiyah yang tergabung pada ortom IMM, IPM, NA, dan PM

 Meskipun dakwah ekologis belum sepopuler dakwah dengan tema-tema lain, namun gerakan yang digagas oleh Muhammadiyah dan mendiang Pope francis dapat menjadi pemantik untuk menambah peran agama sebagai pendorong terjadinya upaya-upaya massif penyelamatan bumi dari kerusakan lebih lanjut. 

Caritas et Salam: Menyulam Damai di dunia yang masih terkoyak 

Kalau kita renungkan, dunia kontemporer masih jauh dari cita-cita pax vera—perdamaian sejati yang tak sekadar ketiadaan perang (absentia belli), melainkan kehadiran keadilan dan kasih dalam kehidupan umat manusia bahkan eksistensi perdamaian sendiri masih dilingkupi paradigma civis pacem para bellum ( jika ingin damai maka bersiaplah perang) yang kemudian menormalisasikan pandangan kita vs mereka sehingga dunia tampak kehilangan arah menuju tranquillitas ordinis, ketenangan yang lahir dari tatanan yang adil. 

Dari tragedi kemanusiaan di Gaza,misalnya kita dapat melihat contoh kecil dari ketidakadilan sistemik terjadi , yang sebenarnya juga terjadi pada banyak kasus serupa di berbagai belahan dunia, semua ini menjadi cerminan bahwa pax mundi—perdamaian dunia—masih menjadi kondisi yang belum tercapai dan hanya berhenti sebatas retorika. 

Dalam konteks inilah, refleksi teologi perdamaian menjadi sangat penting. agama yang seakan-akan dianggap biang keladi oleh sebagian pihak dangkal sebagai penyebab konflik, sebenarnya masih menjadi solusi yang efektif sebagai via pacis, jalan damai yang bukan hanya menyelesaikan namun juga membebaskan, memulihkan, dan memanusiakan. 

 Karya Paus Fransiskus, berjudul Fratelli Tutti, menawarkan visi perdamaian yang melampaui sekadar ketiadaan konflik, menekankan pentingnya budaya pertemuan yang inklusif dan proaktif melalui pengakuan atas martabat manusia sebagai fondasi solidaritas sosial-politi dan dialog lintas agama sebagai sarana utama membangun kepercayaan dan cinta transendental (Ervenkov & Vizina, 2021). 

Pandangan ini menemukan resonansi kuat dengan prinsip Islam Berkemajuan yang diusung Muhammadiyah, yang juga memandang perdamaian sebagai hasil dari penghargaan terhadap kemanusiaan universal, penguatan dialog, serta penyembuhan ketidakadilan lewat pendekatan yang humanistik sembari memperkuat keadilan sosial.

Lebih jauh, Fratelli Tutti menantang ideologi eksklusif dan populisme dengan mengedepankan cinta sosial dan persahabatan lintas batas identitas, Paus Fransiskus sepertinya membayangkan politik baru yang dibangun diatas solidaritas dan empati , bukan ketakutan dan kebencian apalagi citra.

 Perspektif ini sebenarnya sejalan dengan gagasan Muhammadiyah tentang Darul Ahdi wa Syahadah—konsep negara sebagai perjanjian dan kesaksian—yang mengutamakan kohesi sosial, perdamaian berbasis keadilan, serta solidaritas lintas identitas. Keduanya menawarkan kerangka etis-teologis yang serupa meskipun berbeda secara horizontal dimana tujuan akhirnya adalah membangun masyarakat inklusif sebagai jalan menuju perdamaian berkelanjutan di tengah tantangan global kontemporer.

Stay Religious but keep modern 

Kita tidak dapat menolak laju dari perubahan zaman dengan segala konsekuensinya yang baik maupun buruk. Yang hanya bisa kita lakukan adalah terus beradaptasi dengan tetap berpegang pada kebijaksanaan atau beradaptasi dengan cara ikut arus tanpa memikirkan konsekuensi. Saat ini memang ada krisis yang membuat hidup kita kian miskin, tetapi ini bukanlah krisis ekonomi, melainkan krisis nilai. Masyarakat memperdagangkan nilai-nilai kebebasan, penghargaan, solidaritas, martabat, dengan posisi di dalam surga modernitas. Agama sedikit demi sedikit mulai diketepikan sebagai pijakan moral dan etika mengarungi modernitas. Di satu sisi, agama juga difosilkan sebatas ritus tanpa makna. Seakan-akan ada pembentukan opini bahwa modernitas harus dibenturkan dengan agama. Dalam karyanya berjudul Lumen Fidei (Terang Iman), Paus Fransiskus menolak dikotomi yang memisahkan antara agama dan modernitas, yang baginya hanya akan membuat peradaban semakin rusak.

Ensiklik Lumen Fidei menawarkan perspektif teologis baru yang menegaskan kembali pentingnya iman di tengah dunia modern yang terus berubah, sekaligus merespons tantangan dari sekularisme dan relativisme. Secara garis besar, Paus Fransiskus berpendapat bahwa agama sebagai kekuatan hidup yang dinamis—bukan sekadar kumpulan aturan yang kaku—adalah agama yang di satu sisi mampu menjaga tradisi, sekaligus masih dapat berbicara kepada persoalan-persoalan masa kini. Dalam pandangan ini, iman dilihat sebagai pengalaman transformasi yang memberi daya bagi individu untuk menafsirkan kembali “spiritualitas” di tengah dunia modern yang penuh fragmentasi dan krisis makna.

Dalam konteks yang sama, Islam mengajarkan prinsip sholihun li kulli zaman wa makan (selaras di setiap zaman dan tempat) sebagai jawaban atas ketegangan antara tradisi dan modernitas. Nilai-nilai universal Islam tidak terkurung dalam ruang-waktu tertentu, melainkan menawarkan kerangka etika dinamis untuk merespons tantangan kekinian tanpa mengorbankan spiritualitas. Konsep ijtihad (penalaran kontekstual) dalam hukum Islam, misalnya, membuka ruang reinterpretasi teks suci sesuai perkembangan zaman, sambil berpegang pada prinsip keadilan (‘adl) dan kemaslahatan umum (maslahah). Ekonomi syariah yang menolak riba dan eksploitasi, misalnya, relevan sebagai kritik terhadap kapitalisme global yang rawan ketimpangan. Dengan demikian, menjadi sholihun di era modern bukan sekadar memelihara ritual, tetapi menjadikan agama sebagai pisau analisis untuk membongkar ketidakadilan struktural sekaligus merawat martabat kemanusiaan.

Krisis nilai di tengah modernitas—seperti individualisme ekstrem dan dehumanisasi teknologi—menuntut respons agama yang transformatif. Lebih visioner dari dari visi Paus Fransiskus, Islam sudah menekankan prinsip sholihun li kulli zaman wa makan dalam laku dan pikiran yang tidak terjebak dikotomi “tradisi versus modern”, melainkan membangun dialektika kreatif antara keduanya. 

Dalam dunia digital yang penuh distraksi, misalnya etika Islam tentang hifzh al-‘aql (menjaga akal) dan hifzh al-lisan (menjaga ucapan) menjadi benteng melawan misinformasi dan ujaran kebencian. Sementara itu, semangat ummah (komunitas global) yang inklusif bisa menjadi alternatif dari narasi nasionalisme sempit atau globalisasi yang mendegradasi identitas kultural. Seperti ditegaskan dalam Lumen Fidei, iman—baik dalam Kristen maupun Islam—adalah kekuatan hidup yang menyatukan spiritualitas dengan aksi nyata.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Jiwa Tak Terbelenggu  Oleh: Fathan Faris Saputro (MPID PDM Lamongan) Okky Madasari, seorang s....

Suara Muhammadiyah

19 July 2024

Wawasan

Menggali Potensi Wakaf Uang untuk Mewujudkan Keadilan Sosial  Oleh: Achmad Fauzi/Anggota BWI D....

Suara Muhammadiyah

15 April 2025

Wawasan

Surat ‘Eceng Gondok’ kepada Bung Hatta: Catatan Demokrasi dari Desa Oleh: Rizkul Hamkan....

Suara Muhammadiyah

19 December 2024

Wawasan

Masjid Gedhe Kauman dan Alumni Shabran Oleh: Mahli Zainuddin Tago Jogja, Jumat sore 8 September 20....

Suara Muhammadiyah

12 September 2023

Wawasan

Oleh: Dr. Nasrullah, M.Pd Tanggal 27 Rajab diperingati umat Islam sebagai hari Isra Miraj. Hari di ....

Suara Muhammadiyah

14 February 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah