Babi, Alkohol, dan Akal Sehat (Bagian 1)
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Hari ini, mari kita selami sebuah pertanyaan mendasar yang menjadi titik temu ajaran agama: mengapa Islam melarang konsumsi babi dan alkohol? Dalam Islam, larangan ini ditegaskan berulang kali dalam Al-Qur'an—terutama pada Surah Al-Baqarah, Al-Ma'idah, dan Al-An'am. Daging babi secara eksplisit disebutkan sebagai salah satu dari empat hal yang diharamkan.
Namun, yang menarik adalah perbandingannya dengan tradisi Yudaisme dan Kristen. Larangan makan babi sudah mengakar kuat dalam Yudaisme, ditetapkan dalam kitab-kitab suci Ibrani seperti Imamat dan Ulangan. Bahkan, dalam Kitab Yesaya juga terdapat dukungan untuk larangan-larangan ini.
Ketika Kekristenan awal berkembang, khususnya dalam Kisah Para Rasul, Konsili di Yerusalem membuat keputusan tentang makanan yang harus dihindari oleh orang-orang non-Yahudi (Gentile). Meskipun daftar larangan tersebut tidak secara spesifik mencantumkan babi, perlu dicatat bahwa hukum makanan (Kashrut) dalam Perjanjian Lama secara umum tetap dianggap berlaku. Tokoh-tokoh kunci seperti Rasul Paulus—yang menyatakan dirinya sebagai orang Farisi dan tidak bercela dalam hal menjalankan hukum—pastilah menjauhi konsumsi babi, sebagaimana yang dilakukan oleh murid-murid Yesus yang berlatar belakang Yahudi.
Hingga kini, banyak orang Kristen Yahudi dan, tentu saja, seluruh umat Yahudi (yang mengikuti Tanakh) masih berpegang teguh pada hukum makanan ini. Hal ini menciptakan kesamaan yang mencolok: Muslim dan Yahudi sama-sama mematuhi larangan terhadap daging babi, yang berakar pada kitab suci masing-masing, menunjukkan adanya benang merah historis dan teologis dalam praktik makanan.
Lalu, timbul pertanyaan kritis: mengapa babi dilarang sejak awal? Jawabannya kemungkinan besar berakar pada kombinasi faktor kesehatan dan psikologis, terutama jika dilihat dari konteks sejarah saat larangan itu pertama kali ditetapkan dalam Perjanjian Lama dan kemudian ditegaskan dalam Al-Qur'an.
Pertama, risiko kesehatan historis. Di masa lalu—jauh sebelum adanya teknologi pendinginan, proses pertanian modern, dan metode memasak bersuhu tinggi—babi membawa bahaya kesehatan yang unik dan signifikan. Babi dikenal sebagai hewan omnivora yang kerap memakan bangkai dan sampah. Perilaku ini membuat daging babi berpotensi tinggi membawa patogen dan zat berbahaya yang dapat ditularkan ke manusia, terutama tanpa sanitasi dan pengolahan yang memadai. Meskipun saat ini, kita dapat mengurangi bahaya ini melalui praktik modern, risiko tersebutlah yang secara historis kemungkinan menjadi alasan logis di balik larangan Ilahi.
Kedua, implikasi psikologis dan filosofis. Ada juga dimensi psikologis yang menarik. Pepatah kuno mengatakan 'Anda adalah apa yang Anda makan.' Dengan mengonsumsi hewan yang dikenal memakan sampah dan kotoran, mungkin ada kekhawatiran bahwa hal itu akan berdampak negatif pada persepsi diri atau spiritualitas seseorang. Larangan ini dapat dipandang sebagai cara untuk menjaga kebersihan batin dan fisik umat beriman secara holistik.
Lantas, bagaimana dengan era modern? Bagi seorang Muslim, meskipun bahaya kesehatan telah berkurang di zaman modern, larangan tetap berlaku sebagai ujian kepatuhan. Umat Islam memiliki begitu banyak pilihan makanan halal yang jelas diizinkan. Mereka tidak berada dalam situasi terdesak yang memaksa mereka untuk mempertimbangkan konsumsi daging babi, menjadikannya masalah kepatuhan agama daripada kebutuhan nutrisi.
Menariknya, meskipun Islam memberlakukan larangan yang ketat, syariat Islam menunjukkan pragmatisme yang mendalam dalam menghadapi kondisi ekstrem. Dalam prinsip hukum Islam, ada pengecualian yang jelas: jika seseorang dipaksa hingga berada di ambang kelaparan, maka diizinkan untuk mengonsumsi hal-hal yang umumnya haram. Al-Qur'an sendiri menyatakan (2:173) bahwa 'siapa pun yang terpaksa oleh keadaan, tidak ada dosa baginya,' asalkan konsumsi itu hanya dilakukan sebatas kebutuhan, tanpa berlebihan, dan tidak karena nafsu atau kesenangan. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah kitab instruksi yang sangat praktis, memberikan kelonggaran realistis untuk situasi hidup yang ekstrem.
Setelah membahas babi, mari kita beralih ke larangan alkohol. Perdebatan modern tentang konsumsi alkohol telah mengalami pergeseran dramatis. Awalnya, beberapa penelitian mengklaim bahwa konsumsi moderat, seperti segelas anggur merah per hari, mungkin memiliki manfaat kesehatan. Namun, penelitian yang lebih baru dan komprehensif telah menyimpulkan sebaliknya: tidak ada jumlah alkohol yang benar-benar aman.
Institusi kesehatan terkemuka, seperti Health Canada, kini menegaskan bahwa batas aman konsumsi alkohol praktis tidak ada. Sederhananya: semakin sedikit yang Anda konsumsi, semakin baik bagi Anda. Intinya adalah menjauhi alkohol menjadi pilihan yang lebih bijak dari sudut pandang kesehatan.
Selain isu kesehatan individu, ada pertimbangan praktis dan sosial yang melatari larangan ini. Pertama, risiko kecanduan. Apa yang dimulai sebagai 'sekali-sekali' dapat dengan cepat berubah menjadi kecanduan yang merusak. Banyak individu kesulitan untuk mengetahui kapan harus berhenti, menyebabkan penderitaan pribadi yang berkelanjutan. Kedua, kerusakan fisik: Konsumsi alkohol merupakan faktor risiko utama untuk berbagai masalah kesehatan serius, termasuk jenis kanker tertentu dan penyakit lainnya. Ketiga, ancaman janin. Bagi wanita hamil, minum alkohol tidak hanya membahayakan dirinya tetapi juga janin yang belum lahir, yang dapat mengakibatkan kondisi parah seperti fetal alcohol syndrome (sindrom alkohol janin).(hanan)


