Masyarakat Global Memerlukan Visi Ulang Kemanusiaan
Oleh: Sudibyo Markus
Setelah tertunda selama empat tahun karena terhambat Covid-19 pada tahun 2020, IMM Djazman AlKindy Unversitas Ahmad Dahlan Yogyakarta berhasil menyelenggarakan Simposium Pemikiran Islam yang bertemakan “Memvisikan Ulang Kemanusiaan Universal” (Reenvisioning of Global Humanity) pada hari Senin 13 Mei 2024 yang lalu.
Simposium yang dipandu oleh Iman Sumarlan, Pembina IMM dan dosen Fakultas Komnikasi UAD tersebut, menjadikan buku karya Sudibyo Markus, Deklarator IMM (1964) berjudul “DUNIA BARAT DAN ISLAM, Visi Ulang Kemanusiaan Universal” (Edisi Kedua 2023) sebagai awal pembahasan, dilanjutkan dengan pembahas Prof. Amin Abdullah dan Dr. Ahmad Norma Permata PhD keduanya pengajar Di UIN Yogyakarta.
Mengapa Islam diperhadapkan dengan Barat.
Mengawali pembahasan bukunya dengan Perang Salib selama 2 abad di Eropa, dan Kerstening Politik pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, Sudibyo Markus menegaskan, bahwa dalam kedua kasus tersebut di atas, agama Kristen lebih banyak dimanfaatkan oleh Penguasa untuk mendukung kekuasaan mereka. Sehingga konflik dalam Perang Salib dan Kerstening Politik lebih banyak merupakan konflik dunia Islam dengan kepentingan penguasa atau pemerintah Barat, dibandingkan konflik antara Islam dengan Kristen, walaupun Gereja sangat diuntungkan dengan berbagai fasilitasi oleh penguasa Barat .
Penulis buku Dunia Barat dan Islam tersebut menegaskan, bahwa Perang Salib terutama merupakan balas dendam bangsa-bangsa Barat yang merasa dipermalukan (humiliated) oleh Islam ketika Islam masuk dan menguasai Portugis di Andalusia sejak awal abad ke-delapan hingga akhir abad ke lima belas. Walau Barat mengakui akan jasa Islam dalam membangun peradaban Barat yang tidur nyeyak sejak keruntuhan Romawi sejak abad ke empat hingga kelima belas, menjadi bangsa maju dan berkeadaban melalui proses renaissans dan reformasi.
Perang Salib yang dimaksudkan oleh Paus Urbanus II untuk membantu Kaisar Konstantinopel yang mulai kuwalahan menghadapi gangguan Turki Seljuk, sehingga bilamana pasukan Salib berhasil mengusir “perusuh-perusuh” Turki Seljuk tsb, diharapkan Geraja Orhodox yang berpusat di Konstantinopel akan bisa menyatu kembali dengan Vatikan. Ditegaskannya, bahwa Perang Salib sama sekali bukan satu perang Suci atau misi penginjilan, nyatanya ketika Pasukan Salib behasil merebut kota Jerusalem pada tahun 1097, penduduk Jerusalem yang berjumlah 70.000 jiwa itu dibantai habis oleh pasukan salib. Tanpa membedakan agama, usia dsb. Jerusalem selama tak kurang selama tiga bulan, anyir bau darah.
Demikian juga Kerstening Politik di Indonesia yang diperintahkan oleh Ratu Belanda (1900), misi Kristensasi atau minimal “londonisasi” di Nusantara, sebagaimana ditegaskan oleh Sbouck Hurgronye, lebih banyak dimaksudkan untuk semakin melanggengkan cengkeraman penjajajahan di bumi Nusantara.
Konsili Vatikan II, A Common Word dan Declaration on Human Fraternity
Prof. Amin Abdullah menguraikan bagaimana ketiga tunggak sejarah (milestones) berupa momentum historis bagi perbaikan hubungan antar umat beragama, sebagai sesama pengikut Nabi Ibrahim as. Pertama, Konsili Vatikan II (1962-1965) yang melahirkan momentum baru berupa pengakuan Gereja atas universalitas kemanusiaan dan penghormatan kepada semua agama non-Kristiani. Selama ini Gereja berpendapat, bahwa keselamatan hanya untuk mereka yang dibaptis.
Kedua, “A Common Word between Us and You” (ACW) berupa Surat Terbuka ke Paus Benediktus XVI yang ditandatangani oleh 308 ulama dan cendekiawan Muslim sedunia, yang dirintis oleh Pangeran Gahzi bin Muhamad atas perintah Raja Jordania, merupakan ajakan untuk membangun perdamaian dan mengakhiri segala bentuk bentuk purba-sangka dan permusuhan antara masyarakat Kristen dan Muslim atas dasar “Kalimat yang Sama” atau “A Common Word” yang diangkat dari Surah Ali Iman 3: 64.
Ternyata Surat Terbuka ACW tersebut diterima dengan tangan terbuka oleh Paus Benediktus XVI dan sema pimpinan Tertinggi Gereja sedunia.
Tidak puas dengan pernyataan-pernyataan sefihak dari Gereja dan umat Islam berupa Konsilik Vatikan II dan A Commn Word.
Ketiga, kalau Konsili Vatikan II dan “A Common Word between Us and You” merupakan Deklarasi dan pernyataan-pertanyaan sefihak dari masing-masing Gereja Katolik dan Umat islam dan miskinnya pelaksanaan dari kedua fihak, maka pada tanggal 4 Februari 2019, Grand Imam Al Azhar Sheikh Ahmad ElThayyib bersama Paus Fransiskus bertemu dan menyatakan satu Deklarasi bersama yang disebut Declaration on Human Fraternity atau Deklarasi Persaudaaan Kemanusiaan, yang menekankan pentingnya mewujudkan “cultural encounters” atau “perjumpaan budaya” antara kedua pihak, umat Islam dan Kristen.
Hadiah Nobel dan Zayed Award untuk Muhammadiyah
Sementara Dr. AhmadNorma Permata, PhD yang alumni Jerman itu menegaskan, bahwa sejak awal Islam sebagai “rahmatan lil alamin” atau “rahmat bagi seluruh alam” memberikan konsep-konsep teologi atau fiqh tentang kemanusiaan dan persaudaraan antar umat manusia. Sehingga gerakan Muhammadiyah yang disebut oleh Prof. Robert Hefner sebagai model gerakan kemanusiaan Islam terbaik di dunia tersebut, pernah diusulkan untuk mendapatkan Hadiah Nobel untuk Perdamaian.
Walau belum berhasil, tapi paling tidak gerakan Muhammadiyah semakin dikenal dan diakui di dunia Internasional. Akhirnya pengakuan atas kapasitas, posisi dan peran Muhammadiyah di ranah global tersebut diakui komunitas kemanusiaan internasional melalui Zayed Award for Human Fraternity yang diberikan kepada Muhammadiyah, bersama Nahdlatul Ulama di Abu Dhabi pada 4 Februari 2024 yang lalu. The Zayed Award yang merupakan Hadoiah Nobelnya dunia Islam, merupakan upaya pemerintah Uni Emirat Arab untuik mengabadikan semangat persaudaraan antar umat manusia, menyusul Deklarasi bersama antara Sheikh Ahmad ElThayyib bersama Paus Fransiskus pada tanggal 4 Februari 2019 tersebut.
Cultural Encounters penting, tapi tidak cukup.
Setelah melalui perjalanan panjang sejarah kemanusian yang diwarnai oleh berbagai konflik, alkhamdulillah telah timbul kesadaran baru di kalangan umat beragama sejak abad ke duapuluh berupa Konsili Vatikan II 1965), A Common Word between Us and You (2007) dan Deklarasi Persaudaraan Kemanusiaan (Abu Dhabi 2019).
Segenap komitmen-komitem tersebut di atas penting, tapi belum cukup. Bahkan komitmen untuk membangun cultural encounters atau “perjumpaan budaya” sebagaimana ditegaskandalam Deklarasi Persaudataan Kemanusiaan Abu Dhabi tersebut belum cukup untuk menjamin bahwa konflik atau minimal ketidak-serasian kehidupan antar umat beragama tidak terulang lagi.
Sudibo Markus menegaskan bahwa secara mendasar diperlukan semacam “Fiqh Kemanusiaan dan Hubungan antar Manusia” atau “The Theology of Humankind and Fratenity”, disertai berbagai “technical dan managerial know how” nya, selanjutnya juga bagaimana pengorganisasian semua cultural encounters tesebut bisa diwujudkan dan difungsikan lebih lanjut di aras global dan lokal.
Forum Komunikasi antar Umat Beragama (FKUB) di Indonesia, walau satu rintisan baik, tapi tetap belum berfungsi optimal, karenannya perlu dukungan basis yang lebih bersifat konseptual secara teologis dan operasionalisasinya.
Titip buku buat Prof. Robert Hefner di Boston University
Jam lima sore, tepat akan masuk Favehotel Kusumanegara Yogyakarta, tiba-tiba WA Prof. Amin Abdullah masuk. Pesan Prof. Amin “Sudah sampai Jogja. Jangan lupa bukunya”. Kebetulan Selasa 14 Mei esuknya, Prof. Amin Abdullah akan berangkat ke Amerika, dan ingin membawa buku-buku tulisan saya untuk diberikan kepada sejumlah sahabat beliau di Amerika, terutama Prof. Robert Hefner dari Universitas Boston yang dikenal luas di Muhammadiya, dan Imam Shamsi Ali, Imam Islamic Center di Washington dsb. Buku yang beliau maksud adalah 5 set buku2 Duna Barat dan Islam edisi bahasa Inggris dan bahasa Arab.