Bahasa Indonesia di Era Digital: Antara Kreativitas dan Kelestarian

Publish

10 August 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
68
Istimewa

Istimewa

Bahasa Indonesia di Era Digital: Antara Kreativitas dan Kelestarian

Oleh: Dzar Al Banna, M.A., Koordinator MK Bahasa Indonesia Pusat Pengembangan Bahasa Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta

Di zaman sekarang, hidup kita hampir tidak lepas dari layar ponsel. Setiap hari, jutaan status, komentar, dan pesan singkat bertebaran di dunia maya. Dari Twitter (atau X, sebutan barunya) hingga TikTok, bahasa menjadi alat utama untuk menyampaikan ide, perasaan, dan bahkan identitas. Namun, pernahkah kita bertanya, sejauh mana arus deras digital ini memengaruhi cara kita berbahasa? Apakah bahasa Indonesia akan semakin kaya dan kreatif, atau justru terancam kehilangan bentuk bakunya?

Fenomena ini ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, perkembangan teknologi memberi ruang seluas-luasnya untuk bereksperimen dengan bahasa. Kita melihat anak muda menciptakan istilah baru seperti ‘mager’ (malas gerak), ‘bestie’ (sahabat), atau ‘healing’ (berlibur/melepas penat) yang dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru negeri. Kata-kata itu memberi warna baru dalam percakapan sehari-hari, membuat komunikasi terasa akrab dan tidak kaku. Di sisi lain, pembiasaan bahasa yang terlalu santai tanpa mengenal batas justru berisiko mengikis kemampuan kita menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Contohnya bisa kita lihat di ruang-ruang formal yang mulai terpengaruh gaya bahasa media sosial. Tidak jarang, surat resmi, makalah mahasiswa, atau bahkan presentasi akademik terisi kata-kata gaul atau campuran bahasa asing yang tidak perlu. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran batas antara bahasa formal dan informal. Padahal, setiap ragam bahasa memiliki konteks dan tempatnya masing-masing. Bayangkan jika dalam surat lamaran pekerjaan kita menulis, “Saya tertarik banget nih sama lowongan ini, bestie.” Bisa dipastikan peluang kita langsung tipis, walau isi niatnya tulus.

Namun, tidak adil rasanya jika perkembangan bahasa di media digital hanya dilihat dari sisi negatif. Kenyataannya, teknologi juga membuka peluang luar biasa untuk pelestarian bahasa Indonesia. Jika dulu kamus hanya tersedia dalam bentuk tebal dan berat, kini kita bisa mengakses Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) lewat gawai dalam hitungan detik. Platform pembelajaran daring seperti BahasaKita atau kanal YouTube edukasi bahasa memungkinkan siapa pun belajar ejaan, kosakata, dan keterampilan menulis tanpa terikat ruang dan waktu.

Lebih dari itu, media sosial sendiri dapat menjadi ladang subur bagi konten kreatif berbahasa Indonesia. Lihat saja bagaimana puisi pendek, cerpen mini, atau thread edukasi di Twitter mampu menarik ribuan pembaca. Banyak kreator konten yang dengan cerdas memadukan unsur humor, visual, dan fakta untuk menyampaikan materi kebahasaan yang dulunya terkesan “berat” menjadi sesuatu yang ringan dan menyenangkan. Artinya, bahasa Indonesia tetap bisa bersaing di tengah dominasi bahasa asing, asal dikemas dengan cara yang relevan dan menarik.

Menurut Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed. dalam kegiatan Konsolidasi Daerah Tentang Penguatan Bahasa Indonesia, Ahad (8/8) pentingnya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai bentuk kedisiplinan kolektif seluruh bangsa. Menurutnya, bahasa Indonesia bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga lambang jati diri dan kedaulatan bangsa. Mendikdasmen juga menegaskan bahwa penguatan budaya bangsa harus juga hadir di ruang-ruang digital. Kebiasaan berbahasa yang baik akan memperkuat jati diri dan daya saing nasional.

Tantangan yang kita hadapi sekarang bukanlah memilih antara bahasa gaul atau bahasa baku, melainkan bagaimana menempatkan keduanya pada konteks yang tepat. Bahasa gaul bisa menjadi jembatan kedekatan dalam komunikasi santai, sementara bahasa baku adalah penopang kredibilitas dalam situasi formal. Keduanya tidak harus saling meniadakan. Seperti pepatah, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” demikian pula “di mana situasi berada, di situ bahasa disesuaikan.”

Di dunia pendidikan, kesadaran ini menjadi semakin penting. Guru dan dosen tidak cukup hanya mengajarkan teori ejaan atau tata bahasa, tetapi juga membimbing mahasiswa untuk peka terhadap situasi komunikasi. Mengajarkan bahasa di era digital berarti mengajarkan literasi ganda: literasi bahasa dan literasi digital. Literasi bahasa membantu kita memilih kata yang tepat, sementara literasi digital mengajarkan etika berkomunikasi di ruang maya. Tanpa keduanya, bahasa kita bisa kehilangan arah di tengah kebisingan informasi.

Selain itu, peran keluarga juga tidak kalah penting. Orang tua yang membiasakan anak berbicara dan membaca dalam bahasa Indonesia sejak dini akan membantu membentuk rasa memiliki terhadap bahasa ini. Buku cerita anak, lagu daerah, atau percakapan sederhana di rumah dapat menjadi fondasi yang kuat sebelum anak mengenal bahasa lain di sekolah atau internet. Ketika dasar ini kokoh, anak akan lebih mudah menghargai bahasa Indonesia, meski di luar sana mereka dikelilingi bahasa asing dan slang global.

Tidak kalah penting adalah peran media. Stasiun televisi, radio, dan portal berita digital seharusnya menjadi teladan penggunaan bahasa yang baik. Memang, media hiburan sering kali memilih bahasa santai demi menarik penonton muda. Namun, di tengah tayangan hiburan, seharusnya tetap ada ruang untuk program berkualitas yang mempromosikan bahasa Indonesia yang tepat. Jika media mau memadukan nilai edukasi dalam kemasan populer, dampaknya akan jauh lebih luas daripada sekadar kampanye formal.

Akhirnya, menjaga kelestarian bahasa Indonesia di era digital bukan tugas segelintir ahli bahasa, melainkan tanggung jawab bersama. Kita, sebagai pengguna, memiliki kuasa untuk menentukan arah perkembangan bahasa melalui pilihan kata yang kita gunakan setiap hari. Di media sosial, kita bisa tetap kreatif tanpa harus meninggalkan kaidah. Di dunia kerja, kita bisa profesional tanpa harus kehilangan sentuhan pribadi. Semua kembali pada kesadaran bahwa bahasa adalah cermin pikiran dan kepribadian kita.

Era digital tidak seharusnya menjadi momok yang mengikis bahasa, tetapi justru menjadi lahan subur untuk membuatnya tumbuh menjadi lebih baik. Kreativitas dan kelestarian bukanlah dua hal yang berlawanan, melainkan pasangan yang saling melengkapi. Jika kita mampu menyeimbangkannya, bahasa Indonesia tidak hanya akan bertahan, tetapi juga berkembang menjadi bahasa yang modern, berdaya saing global, dan tetap setia pada akar budayanya.

Dengan begitu, setiap kali kita menulis status, mengirim pesan, atau membuat konten, kita sebenarnya sedang ikut menulis bab baru dalam sejarah bahasa Indonesia. Dan bukankah akan lebih indah jika bab itu ditulis dengan penuh cinta, kesadaran, dan kebanggaan?

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

SIAP TEMPUR Oleh: Joko Intarto ---------------Pengembangan platform penghimpunan wakaf uang dengan....

Suara Muhammadiyah

24 November 2023

Wawasan

Wanita sebagai Saksi: Perspektif Al-Qur'an Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universi....

Suara Muhammadiyah

14 August 2024

Wawasan

Muktamar IMM: Menyemai Pemimpin Masa Depan (Catatan Muktamar ke XX IMM di Palembang) Oleh:Abdul Gaf....

Suara Muhammadiyah

29 February 2024

Wawasan

IMM Bersatu Menuju Indonesia Berdaulat Oleh: Asman Budiman, Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan, ....

Suara Muhammadiyah

26 February 2024

Wawasan

Meningkatkan Kebermaknaan Silaturahim Oleh: Mohammad Fakhrudin Silaturahim pada setiap 'Idul Fitri....

Suara Muhammadiyah

19 April 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah